0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 52 – Susah makan

Beli Karya

Bab 52 – Susah makan-1

Anna begitu semangat membuat menu makanan pendamping ASI untuk putranya. Anna suka memasak dan suami juga mertuanya begitu mensuport hal tersebut. Segala peralatan memasak di beli khusus untuk Anna, segala bahan masakan juga. Sampai-sampai dapur yang biasa di gunakan oleh Devi kini tergusur oleh Anna. Tapi Devi juga senang karena ia jadi punya banyak waktu bersama Anna untuk mencoba banyak resep.

“Ama!” seru Gio sambil geleng-geleng kepala menyingkirkan makanannya.

Anna langsung cemberut melihat Gio yang selalu menolak makanannya.

“Amama!” seru Gio lagi sambil menunjuk pisang yang hendak di makan Papanya.

“Mau pisang?” tawar Boni yang langsung di sambut tawa ceria dan tepukan tangan oleh Gio.

“Kalah deh masakan Mama sama pisang,” ucap Anna lalu mengecup pipi putranya dengan gemas. “Si Ganteng sukanya cuma pisang sama nenen.”

“Biskuit mau gak?” tanya Devi ikut menawari makanan pada cucu pertamanya.

“Ama!” jerit Gio yang sudah tidak sabar untuk memegang pisangnya yang di kupaskan Papanya.

“Udah deh juragan pisang ini nanti gedenya,” ucap Devi yang pasrah dengan pilihan cucunya.

Gio benar-benar suka pisang, tak hanya pisang sebenarnya tapi segala jenis buah-buahan Gio suka. Tapi dari semua jenis buah memang pisang adalah juaranya. Gio juga selalu tersenyum ceria dan menggerakkan kakinya ketika makan atau menggoyang-goyangkan tangannya sebagai apresiasi atas kecintaannya pada pisang.

“Enak?” tanya Boni yang langsung di jawab dengan gelengan dengan penuh senyum oleh Gio.

Devi tertawa melihat jawaban Gio yang tidak singkron itu. Tapi terlepas dari itu Devi senang cucunya tidak susah makan, meskipun makannya juga hanya itu-itu saja. Pencernaan Gio juga sangat lancar hanya perlu kurang dari satu jam setelah makan Gio sudah pup, lalu lanjut nenen dan tidur siang.

***

Baca juga Epilog

Eve terlihat kesal harus menemani Vincent yang susah makan. Ia terpaksa harus berpura-pura menjadi ibu yang baik untuk putranya agar Bian tak mengusirnya. Kabar soal perselingkuhannya juga masih jadi berita yang begitu panas. Eve juga tak berani muncul ke publik dan Bian yang memutuskan untuk tidak memberinya fasilitas lagi. Bahkan uang belanja bulananpun tidak. Kalau bukan karena investasinya di perusahaan game milik Boni, mungkin Eve saat ini juga tak memiliki uang sepeserpun.

Vincent lapar, ia juga mengantuk. Tapi Vincent enggan membuka mulutnya karena Eve menyuapinya dengan begitu kasar dan terus membentaknya. Vincent juga terus memeluk pengasuhnya atau kepala pelayan. Makanpun tak pernah mau bersama Eve.

Ini sebenarnya tak masalah karena Eve bisa punya banyak waktu luang. Tapi Bian akan marah jika tau Eve tak bisa mengurus anaknya dengan benar. Kadang memang ketika emosi Eve setabil ia bisa mengurus Vincent dengan baik. Vincent juga menyayangi Eve, hanya saja emosinya kerap tak setabil dan Vincent yang mudah sakit juga takut padanya.

“Hai jagoan Papa,” sapa Bian begitu pulang kerja dan langsung menghampiri putranya.

“Papa!” seru Vincent yang berlari menghampiri Bian sambil menangis tersedu-sedu.

Vincent selalu menangis ketika melihat Papanya pulang. Setelah itu Vincent akan mengikuti Bian kemanapun atau terus meminta untuk di gendong. Vincent juga tak keberatan menunggu Bian di depan kamar mandi jika Bian mandi atau sedang buang air. Vincent ingin terus bersama Papanya.

“Udah makan belum Nak?” tanya Bian sembari menggendong putranya yang terasa lebih kurus setiap harinya. “Vin, kalo Papa lagi kerja harus tetep makan ya. Kalo gak makan nanti sakit terus Papa sedih,” ucap Bian menasehati putranya dengan sabar.

Bian juga mau memakai gendongan bayi setiap kali di rumah dan Vincent tampak lemas atau sakit. Bian ini mengajari putranya itu dengan keras dan tegas agar jadi pria yang tangguh. Tapi Vincent terlalu kecil dan Eve tak dapat di andalkan. Bian juga tak mau melukai hati Vincent seperti Eve. Ia tak mau putranya jadi anak kecil yang terluka seperti dirinya dulu.

“Papa, akan,” ucap Vincen sembari menganggukkan kepalanya.

Bian tersenyum lalu mendekap putranya. Bian tak tau apakah putranya paham atau tidak. Bian juga sudah tak masalah apakah Vincent bisa tangguh seperti dirinya. Bian hanya ingin putranya sehat dan tumbuh dengan baik.

Baca juga Bab 74 – Hamil

“Papa sayang Vin, jadi Vin gak boleh nangis terus kalo di rumah.”

Vincent menggeleng lalu memalingkan wajahnya dari Bian. Bian mengambil dot susu milik Vincent lalu memberikan pada putranya sembari berjalan ke taman belakang. Vincent juga suka pergi kesana. Taman belakang terasa menyenangkan dan selalu jadi tempat untuk menenangkan diri bagi Bian dan Vincent.

Bian membayangkan betapa bahagianya ia jika bisa menjadi suami Anna. Vincent pasti terurus seperti Gio yang selalu di urus sendiri oleh Anna. Anna yang keibuan dan penuh tanggung jawab atas buah hatinya. Bian ikut senang melihat tumbuh kembang Gio yang sehat dan pemberani, sedikit berbeda jika di banding dengan putranya yang cengeng. Tapi Bian juga menyayanginya.

“Kamu memar terus,” ucap Bian memandangi punggung putranya. “Kalo Papa gak sama Mama lagi kamu nanti sedih enggak ya.”

“Ama ukul!” ucap Vincent lalu matanya berkaca-kaca.

Bian mengelus punggung Vincent. “Nanti di obatin ya,” ucap Bian sembari menepuk-nepuk pantat Vincent dengan lembut.

Vincent mengangguk sembari memeluk Bian dengan lebih erat. Bian sedih Vincent tak bisa dekat dengan Eve. Ini usia dimana anaknya harusnya lebih dekat dengan ibunya. Tapi Vincent tak bisa mendapatkan itu semua. Bian kurang ahli untuk mengurus anak dan bersikap sebagai ibu juga ayah di saat bersamaan ketika istrinya masih hidup bukan hal yang mudah.

“Ilan-ilan,” ucap Vincent yang meminta Bian lebih lembut ketika mengoleskan salep memar padanya.

Bian mengangguk lalu meniup memar putranya. Dulu Bian ingat jika ia juga melalui waktu yang berat dan sulit. Tapi ia tak pernah melalui hal seburuk yang Vincent alami. Melania memang keras, tapi ia tetap memperlakukan Bian dengan baik jika memiliki waktu luang. Melania tetap berusaha memasak untuk Bian meskipun rasanya tak karuan. Melania juga pernah beberapa kali menemani Bian tidur meskipun setelah itu Melania jarang di rumah.

“Diluar sana banyak orang yang ingin melihat Ibu sedih, melihat kita jatuh dan miskin. Ibu tidak mau membuat orang-orang jahat itu senang dan merasa menang. Ibu tidak punya banyak waktu untukmu. Jadilah kuat, itu akan sangat membuat Ibu bangga padamu,” kata-kata yang terus Melania tanamkan pada Bian setiap kali ia berkesempatan untuk bicara dengan putranya.

***

Eve menunggu Felix seorang dokter sepesialis jantung yang pernah dekat dengannya. Eve terlihat bahagia setelah sekian lama ia terus mendekam di rumah sekarang ia memiliki teman yang mau bermain dengannya tanpa peduli pada kasusnya. Felix tampak ceria sama seperti Eve ia juga datang membawa bingkisan permen Yupi kesukaan Eve.

“Aku melihat beritamu dimana-mana, apa semua baik-baik saja?” tanya Felix yang mengkhawatirkan Eve.

Eve tersenyum lalu mengangguk pelan.

“Aku mengkhawatirkanmu. Kamu masih cantik seperti dulu.”

Eve yang sudah lama tak mendapat pujian dari Bian dan pertanyaan sederhana terkait keadaannya. Ini hal biasa tapi Eve merasa ini adalah sesuatu yang sangat menggetarkan hatinya. Bahkan hanya dengan kalimat sederhana itu saja Eve sudah merasa lebih di cintai oleh Felix daripada Bian dan Vincent.

“A-aku gak merasa secantik itu, suamiku gak pernah muji aku.”

“Suamimu seleranya jelek sampe bidadari kayak kamu gini dicuekin.”

Eve semakin melambung jauh mendengar pujian dari Felix dan segala perlakuannya yang begitu baik dan mesra. Sebenarnya apa yang Felix lakukan adalah sebuah maner biasa, tapi Eve yang selalu haus kasih sayang. Sementara Felix sendiri sebenarnya hanya ingin sedikit menghibur Eve dan berteman kembali dengannya itu saja.

74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share