Anna
kembali terjebak di apartemen Bian. Jika sebelumnya Bian mengatakan
teman-temannya memiliki acara sendiri, itu bukan kebohongan. Tapi itu bukan
berarti Bian akan benar-benar fokus pada Anna dan mau berpacaran sebagaimana
semestinya. Bian sibuk bermain game hampir seharian dan Anna sama sekali tak di
ijinkan melakukan apapun selain memperhatikannya bermain game.
“Sayang
laper,” ucap Anna setelah terbangun dari tidurnya karena terlalu bosan melihat
game yang Bian mainkan.
“Oke kita
beli makan,” jawab Bian lalu mengambil ponselnya untuk membeli makanan
delivery.
Jujur saja
Anna lebih suka ketika melayani Bian diatas ranjang daripada menemaninya
bermain game yang begitu membosankan ini. Bukannya Anna mesum atau hiper sex,
tapi ia merasa Bian lebih mudah ia kendalikan dan jadi memiliki waktu untuk
dirinya sendiri ketika kebutuhan Bian terpenuhi. Ia juga jadi bisa banyak
meminta kebebasan pada Bian setelah mereka bercinta.
“Bian, kamu
gak bosen kayak gini terus?” tanya Anna setelah keluar dari kamar mandi untuk
cuci muka.
Bian
menggeleng dengan tampang polosnya lalu kembali menepuk sofa di sampingnya,
sebagai isyarat agar Anna duduk di sampingnya lagi.
“Kamu
kenapa sih bisa kayak gini?” tanya Anna ambigu, meskipun seharusnya Bian paham
apa maksudnya.
“Apanya yang
kayak gini?” tanya Bian ingin pertanyaan Anna lebih tegas kemana arahnya.
“Ya kayak
gini, labil… kadang kamu galak sampe aku takut, kadang baik banget, terus manja
kayak gini. Kamu kenapa bisa kayak gini?” Anna mempertegas pertanyaannya.
Bian
terdiam cukup lama sembari menatap langit-langit apartemennya lalu memejamkan
matanya dan menggeleng. “Aku juga ga tau. Kamu capek ya ngadepin aku?” Bian
malah membalikkan pertanyaan.
Anna
menghela nafas, ia ingin mengangguk dan berteriak pada Bian meluapkan segala
kekesalannya. Namun begitu ia menatap Bian yang tampak murung Anna hanya bisa
menggeleng lalu memeluk Bian.
“Aku cuma
sering sendirian aja, mungkin aku jadi bingung harus gimana buat jagain kamu
biar ada di sampingku terus.” Bian mulai jujur meskipun ia juga tidak yakin
dengan apa yang ia rasakan.
Bian belum
pernah merasa seterikat ini pada perempuan lain selain Anna. Mungkin memang
Anna bukan pacar pertamanya, tapi Anna adalah gadis pertama yang membuatnya
bisa segila dan seposesif ini. Bian tak pernah sekeras ini mengikat orang lain
untuk terus bersamanya, tapi ini bukan berarti orang-orang itu tak cukup baik
untuknya. Tapi Bian merasa Anna memperlakukannya dengan cara yang berbeda.
Anna tau
batasan dan bisa dengan tegas mengaturnya. Meskipun memang Anna harus
mengumpulkan keberanian yang banyak untuk itu. Tapi Anna tau kemana arah yang
ingin ia tuju, Anna gadis yang menarik. Ambisius, tegas, namun keibuan dan
tetap lemah lembut. Sulit mendefinisikan Anna. Selain itu Anna juga selalu
patuh pada Bian meskipun tetap saja ada sedikit perlawanan sebelum kepatuhannya
datang.
“Kamu kan
kaya, boong banget kalo kamu ngerasa sendirian. Pasti banyak yang mau sama
kamu,” ucap Anna yang ingat betapa banyak gadis yang mengantri untuk Bian.
“Iya tapi
mereka ada maunya,” jawab Bian lalu menghela nafasnya. “Kita nikah aja yuk!
Kamu belakangan ini banyak komplain,” putus Bian tiba-tiba yang bisa dengan
entengnya secara spontan mengajak menikah.
“Hus!
Ngawur kamu! Aku belum mau nikah! Masih banyak mimpi yang belum aku raih, Bi.”
Anna menepuk punggung Bian.
Bian
tersenyum lalu melepas pelukannya dari Anna. Bian tau mimpi Anna, meskipun itu
hanya sebatas mimpi sepele baginya yang sudah terlahir sebagai seorang pewaris
perusahaan Griffin group. Namun mendengar cita-cita dan mimpi indah Anna tetap
membuatnya senang, meskipun tak sedikitpun ia ingin mengabulkan apalagi
membiarkan Anna mengabulkannya sendiri. Bian hanya suka melihat wajah Anna yang
ceria dan penuh semangat saja.
“Aku masih
pengen kerja, nabung, bikin rumah buat Ibu sama adekku.”
“Aku beliin
deh, kamu gak usah nabung, gak usah kerja. Udah jadi istriku aja, tinggal
ngangkang muasin aku, nemenin aku, suapin aku…”
“Bukannya
biasanya udah gitu?!” sela Anna kesal.
“Nah iya!
Itu udah latihan, tinggal praktek fullnya biar bisa hamil. Jadi kamu bisa fokus
ngurus anak-anak kita sama ngurus aku doang,” ucap Bian memutuskan seenaknya.
“Nyebelin
kamu ih!” komplain Anna.
Bian
menghela nafas lalu mengambil ponselnya dan kling! Anna mendapat transferan
mendadak dari Bian.
“Bi, ngapain
transfer aku?” tanya Anna bingung dan heran dengan kekasihnya yang akan selalu
mengerjakan sesuatu semaunya sendiri.
“Uang
jajanmu dari aku, biar kamu gak kepikiran kerja lagi. Bisa-bisanya kamu mikir
kerja sama nabung, padahal aku udah mikir mau punya anak berapa sama namanya
siapa.”
“Ya siapa
suruh kamu mikir gituan? Kan belum tentu kamu nikahnya sama aku juga.”
“Ya tapi
aku maunya nikah sama kamu. Kalo kamu nikah sama yang lain aku bakar cowokmu!”
Anna
menghela nafas dan hanya bisa geleng-geleng kepala saja. “Kamu ni suka banget
ngawur ya, Bi.”
Bian
tertawa melihat Anna yang frustasi menghadapinya. Bian selalu suka dengan
segala perubahan ekspresi Anna. Meskipun sebenarnya apapun yang Anna lakukan
selalu membuat Bian jatuh hati.
***
Melania
Griffin, ibu Bian sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dari seluruh
perusahaan Griffin dan Griffin group. Wanita bertangan besi dan hati sedingin
es yang begitu tegas dan lincah dalam berbisnis setelah menggantikan mendiang
suaminya Pitter Griffin. Wanita tangguh yang akan menghalalkan segala cara
untuk memperkuat bisnisnya dan wanita ia tengah mempersiapkan Bian untuk
menggantikannya kelak.
Tentunya
untuk hal yang ia inginkan itu begitu sejalan dengan apa yang ia lakukan
sekarang. Mendekati putri tunggal dari calon kandidat kuat calon presiden
selanjutnya yang akan ia sokong demi melindungi segala yang ia miliki. Sedikit
pengorbanan untuk mendapat keuntungan maksimal akan ia lakukan meskipun Bian
yang jadi taruhannya kali ini.
“Ah benar,
aku juga tidak terburu-buru dalam menjodohkan Bian dengan Eve. Bian masih SMA,
Eve juga masih perlu menyelesaikan pendidikannya juga.” Harold begitu gugup
membahas perjodohan putrinya kali ini.
Harold tak
ingin mengorbankan putrinya untuk memenuhi hasrat politiknya yang begitu haus
akan jabatan. Tapi tak dapat Harold pungkiri juga jika menikahkan Eve dengan Bian
juga bukan pilihan yang buruk. Jabatannya hanya bertahan 5-10 tahun,
kekayaannya juga tidak akan bisa melampaui kekayaan milik keluarga Griffin.
Eve bisa
memiliki kehidupan yang indah dan terjamin bersama Bian, belum lagi nanti saat
Eve bisa melahirkan keturunan keluarga Griffin. Pasti posisinya akan semakin
kuat potensi untuk menguasai kekayaan keluarga Griffin juga pasti akan semakin
terbuka.
“Aku tidak
datang untuk memberikan banyak pilihan,” ucap Melania lalu menyunggingkan
senyumnya. “Elektabilitasmu juga bisa bergeser sewaktu-waktu, ku harap itu
tidak membuatku kecewa,” lanjut Melania lalu mengaduk teh dalam cangkirnya.
“Ak…”
“Bian
adalah pemegang tongkat estafet selanjutanya. Disini Bianku memiliki kesempatan
untuk memilih dan menolak atau menghancurkan sesuatu. Dia begitu mirip denganku
sampai aku merinding di buatnya,” ucap Melania lalu kembali tersenyum sembari
mengelus bahunya sendiri.
Harold langsung
menundukkan kepalanya. “Baik Nyonya. Saya berjanji semuanya akan berjalan
sebagaimana yang sudah kita rencanakan,” ucap Harold yang sudah menerima banyak
posisi politik karena kedekatannya dan tawaran kerja sama yang ia lakukan
dengan keluarga Griffin.
Melania
bangkit dari duduknya sembari memandang rendah Harold yang sudah membuatnya
kesal dengan mencoba jual mahal soal putrinya. Terlebih karena Eve yang mulai
sibuk dan jadi sorotan sebagai aktivis pemerhati lingkungan dan kemanusiaan.
Melania begitu kesal dengan cara Harold yang memandang Eve terlalu tinggi dan
menganggap Bian tak sebanding dengannya.
Melania
melangkah pergi kembali dengan kesibukan bisnisnya untuk mengatur segala hal
terlebih sebentar lagi musim politik dan ia perlu banyak mengeluarkan modal
untuk memiliki pion-pion untuk melindungi bisnisnya. Melania menatap tabletnya,
melihat laporan terkait kedekatan Wiliam dan segala progresnya yang selalu
baik.
“Sepertinya
gadis ini cukup bagus sebagai teman baru Bian,” gumam Melania yang melihat
kedekatan Wiliam bersama Anna yang sedang belajar bersama di perpustakaan juga
di kantin yang sedang menikmati sayuran. “Bian menemukan mainan baru, biarkan
saja dia bermain-main sebentar.”
***
Bian
memandangi Anna yang sedang membereskan meja makan setelah mereka selesai makan
siang. Anna terlihat begitu sexy dan menggoda kali ini. Kaos putihnya yang tak
sengaja ketumpahan soda membuat Anna terpaksa ganti baju dengan daster
rumahannya. Ini hanya daster pendek biasa meskipun memang ia akui ketika ia mengenakannya,
ia terlihat jauh lebih sexy dan menggoda.
“Kamu
sengaja ya pakek baju sexy gitu?” tanya Bian yang begitu mudah terpancing.
“Enggak,
bajuku tinggal ini,” jawab Anna singkat lalu mencuci tangannya.
“Halah
ngaku aja!”
“Ngaku
gimana, Bi? Orang aku lagi mens kok, buat apa coba sengaja pakek ginian?”
Bian
mengusap wajahnya dengan kesal. Ia sudah merindukan himpitan penuh kenikmatan
dari surga milik Anna. Anna yang paham apa keinginan Wiliam langsung tertawa
terbahak-bahak.
“Kok mens
segala sih! Aku kan pengen kamu!” kesal Bian.
Anna makin
terbahak-bahak, namun tak selang lama ia terdiam dan mendesir kesakitan karena
kram perut.
“Sukurin!”
ketus Bian namun tetap menolong Anna dan menggendongnya ke kamar.
“Makasih,
Sayang…” lirih Anna lalu meringkuk kesakitan sambil memegangi perutnya.
“Kamu kalo
mens kesakitan mulu, aku kasian. Besok aku hamilin aja ya biar ga sakit gini…”
“Bian!”
0 comments