Bab 59 – Rumah Gio
Anna dan
Boni kembali sibuk menyiapkan persiapan kelahiran anak keduanya. Gio juga
sangat semangat ikut menyiapkan perlengkapan bayi untuk adiknya. Gio tidak
sabar untuk segera melihat adiknya di dunia. Gio juga sengaja tak membuka
beberapa mainan barunya atau merawat mainan-maianannya dan kembali
memasukkannya kedalam kemasan setelah mencobanya agar bisa ia tunjukkan dan
mainkan bersama adiknya kelak.
Gio juga
beberapa kali mengajak Vincent untuk main ke rumahnya meskipun Vincent kerap
menolak karena sudah terlanjur di jemput dan pengasuhnya juga tak
mengijinkannya pergi setelah pulang sekolah. Padahal Gio sudah tak sabar ingin
menunjukkan mainannya pada Vincent dan ingin menunjukkan persiapannya menyambut
kelahiran adiknya.
“Aku pengen
main tapi kata Bibi tidak boleh,” ucap Vincent sedih.
“Yah
kenapa?” tanya Gio kecewa.
“Kan harus
pulang terus cuci tangan sama makan siang dulu, jadi tidak boleh pergi.”
“Nanti kalo
main di rumahku bisa makan siang juga kok, Mamaku pintar memasak, sedap kok
masakannya. Aku suka.”
Vincent
menghela nafas lalu menggeleng dengan murung. Vincent benar-benar ingin pergi
ke rumah Gio. Vincent juga penasaran pada kamar baru milik adiknya Gio, mainan
baru yang Gio ceritakan, juga makan siang bersama Gio. Pasti akan lebih seru
dari pada langsung pulang dan sendirian belajar membaca di rumah.
“Kamu di
jam bisa telfon Papa tidak?” tanya Gio yang teringat pesan papanya untuk
menelfon ke rumah lewat jamnya kalau ada sesuatu.
Vincent
langsung duduk di pinggir taman bersama Gio mencoba menghubungi papanya. “Halo
Papa?” ucap Vincent.
“Ada apa?”
saut Bian dari ujung sana.
“Wah bisa
ada wajah juga!” seru Gio heboh.
“Iya jamnya
ini dari oma, keren!” saut Vincent yang malah teralihkan.
“Adek ada
apa telfon Papa? Papa lagi kerja ini,” ucap Bian sebelum putranya kembali
teralihkan.
“Nanti aku
mau main ke rumah Kakak Gio boleh tidak?” tanya Vincent.
“Iya! Nanti
di rumahku bisa cuci tangan sama makan juga! Mamaku masaknya sedap!” sahut Gio
agar Vincent di izinkan.
“Iya boleh,
nanti Papa bilang sama Bibi suruh temenin,” ucap Bian mengijinkan dan tanpa
basa basi lagi Vincent langsung mematikan telfonnya.
Vincent dan
Gio sudah begitu ceria dan heboh bersorak senang karena mendapat ijin untuk
bermain bersama. Gio langsung menelfon mamanya dari jamnya dan memberitau kalau
ia akan mengajak Vincent main ke rumah yang jelas langsung di sambut dengan
hangat.
“Ayo kita
nanti main Power Ranger lagi!” ajak Gio sembari mengganti tampilan jamnya.
“Disini
tidak bisa,” ucap Vincent yang mengikuti apa yang Gio lakukan.
“Oh iya!
Kenapa gak pakek yang sama kayak punyaku saja?” tanya Gio sembari ikut melihat
jam tangan milik Vincent.
“Yang di
kasih Mama itu rusak, tidak bisa di pakek lagi,” jawab Vincent sedikit murung.
“Yah,
yaudah tidak papa nanti di rumahku kita minta tolong Papaku buat benerin,
Papaku bisa benerin kok,” ucap Gio santai lalu lanjut bermain Power Ranger lagi
dengan ceria bersama Vincent.
***
Jam pulang
sekolah akhirnya datang. Vincent dan Gio sudah tampak ceria berjalan bersama
membicarakan apa yang akan mereka lakukan di rumah nanti. Anna sudah datang
menjemput dan langsung menyambut Gio yang baru keluar dengan pelukannya yang
hangat. Vincent memperhatikan Anna yang memeluk Gio dengan hangat, Mamanya tak
pernah seperti itu padanya.
“Sini kakak
Vincent,” ucap Anna lalu memeluk Vincent juga menciuminya seperti saat bersama
Gio juga. “Yuk naik!” ajak Anna yang mempersilahkan Vincent dan pengasuhnya
naik juga memastikan putranya sudah duduk manis di dalam.
“Tadi Mama
bikin tumis brokoli kesukaan Kakak Gio, sama beli kentang goreng juga,” ucap
Anna sambil menyetir pulang.
“Wuhuu!”
seru Gio senang.
“Aku tapi
tidak suka sayur,” ucap Vincent.
“Kakak
Vincent sukanya apa?” tanya Anna lembut.
“Sayur itu
enak, nanti kita jadi kuat kayak Power Ranger beneran!” ucap Gio memberitau
Vincent.
“Sayur juga
suka,” jawab Vincent yang begitu mudah di pengaruhi Gio.
Anna
tertawa mendengar Vincent yang begitu mudah berubah pikiran. Rumah keluarga
El-baz tak sebesar rumah milik keluarga Griffin. Meskipun sudah tinggal di
perumahan elit rasanya tetap tak semewah dan sebanding dengan yang biasanya
Vincent lihat di rumahnya.
Gio
langsung mengajak Vincent untuk cuci tangan dan cuci kaki begitu masuk. Gio
juga langsung berlari ke kamar calon adiknya menunjukkannya pada Vincent sebelum
akhirnya ia menunjukkan mainan-mainan yang ia simpan untuk bermain bersama
dengan adiknya nanti. Vincent senang bisa bermain di rumah Gio, kamar Gio
sempit. Setidaknya ukurannya separuh dari ukuran kamar Vincent. Tapi ia merasa
sangat bahagia di kamar Gio.
Setelah
puas menunjukkan ini dan itu Gio mengajak Vincent ke meja makan menunggu
mamanya mengambilkan makan siang sembari makan potongan buah-buahan. Vincent
tidak suka buah tapi melihat Gio makan dan begitu lahap ia jadi ikut mau makan
buah-buahannya.
“Kalo kita
makan buah nanti tidak sembelit,” ucap Gio memberi tau Vincent.
Vincent
mengangguk lalu menikmati buahnya. Setelah itu Anna menyiapkan makan siang
dengan porsi yang sama untuk Vincent dan Gio. Vincent berusaha menyingkirkan
brokoli yang ada di piringnya. Sementara Gio sudah beberapa kali minta di
tambah lagi sayurnya.
“Kakak
Vincent kenapa? Tidak suka ya?” tanya Anna lembut.
Vincent
mengangguk dengan alis berkerut, biasanya ia akan langsung pergi kalau tidak
cocok dengan menu yang di sajikan. Tapi kali ini ia tak bisa begitu karena Gio
menikmati makan siangnya dan Vincent ingin terus bersama Gio.
Anna
tertawa kecil melihat reaksi Vincent. “Mirip banget sama Papamu,” celetuk Anna.
“Di coba sedikit dulu, nanti kalo gak suka di singkirin gapapa,” ucap Anna.
Akhirnya
dengan berat hati Vincent mencobanya. Gio memperhatikannya dengan wajah
berbinar penuh harap.
“Gimana?
Sedap kan?” tanya Gio begitu Vincent selesai mengunyah dan langsung
mengacungkan jempolnya.
Vincent
akhirnya mau menikmati makanannya. Sayuran tidak terasa buruk saat dimakan
bersama Gio. Entah karena makan bersama Gio atau karena Anna yang memasaknya.
Pengasuh Vincent sampai kaget sendiri melihat Vincent yang mau makan sayur dan
buah. Bahkan tak terlihat pilih-pilih makanan sama sekali saat bersama Gio.
Tak
berselang lama Boni pulang. Gio langsung menyambutnya dengan ceria seperti
biasanya begitu pula dengan Anna. Suasana di rumah benar-benar hangat dan
Vincent hanya bisa diam memperhatikan dari ruang makan. Rumahnya tak pernah
sehangat dan seceria ini.
Vincent
mengedarkan pandangannya, tidak ada pelayan disini. Rumahnya juga biasa-biasa
saja. Vincent tau ia jauh lebih kaya dari pada Gio. Tapi kenapa ia merasa
kosong dan sedih saat melihat keluarga Gio berkumpul. Apa yang salah dengannya?
“Papa, bisa
benerin jam tangan Vin tidak?” tanya Gio sembari menunjuk Vincent.
“Di benerin
gimana?” tanya Boni sambil menggendong putranya ke ruang makan.
“Biar ada
Power Rangernya juga kayak punyaku,” jawab Gio lalu duduk kembali di bangkunya.
Vincent
mendorong piringnya yang sudah hampir habis. Selera makannya hilang. Ia iri
pada keluarga Gio yang begitu hangat, ia juga anak-anak seperti Gio, ia juga
berusaha keras menjadi anak baik. Tapi kenapa keluarganya berbeda? Vincent
merasa dunia tidak adil padanya.
Sepanjang
hari yang ia habiskan di rumah Gio terasa begitu berbeda dengan yang ada di
rumahnya. Anna yang memasakkan makanan sendiri untuknya dan mencium serta
memperingatkannya jika makanannya masih panas terasa penuh kasih sayang. Begitu
berbeda dengan Eve yang galak, dingin, dan cuek padanya.
Gio juga
meminjami bajunya agar mereka bisa lebih leluasa bermain. Sampai Vincent
ketiduran di kamar Gio, tentu Gio juga ketiduran disana sambil menonton Power
Ranger. Anna mengambilkan kain pantai tipis untuk menyelimuti keduanya sebelum
menutup pintu kamar Gio.
Pengasuh
Vincent benar-benar tak menyangka jika Vincent dapat berprogres begitu pesat
ketika bersama Gio. Tidak memilih makanan, mau bergantian, berbicara dengan
jelas dan bercerita, emosi yang lebih setabil, bahkan tak menangis dan murung.
Pengasuhnya sama sekali tak menyangka jika Vincent selama ini bisa begitu mudah
di tangani.
Hingga sore
menjelang, Bian datang menjemput putranya langsung ke kediaman Anna. Vincent
sedang mandi berendam bersama Gio di awasi pengasuhnya. Membuat gelembung dan
busa dari sabun yang memang Anna sediakan untuk bermain. Setelah itu Anna
kembali menyiapkan cemilan untuk Gio dan Vincent. Puding coklat dan buah yang
di nikmati setelah mandi.
Bian duduk
di ruang tengah bersama Boni mengawasi di kejauhan sampai Vincent selesai
makan. Anna juga menyajikan puding buatannya. Sebelum ia kembali repot dengan
Gio yang harus di bantu berpakaian.
“Besok main
lagi boleh tidak?” tanya Gio pada Anna.
“Boleh
dong,” jawab Anna.
“Kalo aku
main ke tempat adek Vin?” tanya Gio lagi.
Anna
menatap Bian.
“Boleh
dong,” jawab Bian lalu menggendong Vincent setelah berpamitan pulang.
Bian senang
hubungannya dan Anna bisa membaik sejak anak-anak mereka menjadi sahabat. Bian
juga senang bisa menikmati masakan Anna lagi meskipun hanya puding biasa.
“Pa, tadi
Mamanya Kak Gio bilang kalo aku mirip Papa,” lapor Vincent.
“Oh ya?”
Vincent
mengangguk. “Aku gak suka sayur kayak Papa,” jawab Vincent yang membuat Bian
tersenyum.
Itu
penyesalan Papa, harusnya dulu Papa rajin makan sayur,batin Bian.
“Sayur yang
bikin Mamanya Kak Gio itu beda gitu loh, enak. Aku suka, Mamanya Kak Gio baik.
Kayaknya sayang aku juga.”
Bian
mengangkat kedua alisnya dengan antusias.
“Aku tadi
di peluk, di sayang-sayang. Baik, kita bisa beli Mamanya Kak Gio tidak?”
Bian
tertawa mendengar pertanyaan putranya. Jujur Bian juga ingin melakukannya jika
itu bisa ia lakukan. Tapi Anna bukan orang yang bisa di beli dan di dapatkan
dengan mudah.
“Hari ini
kamu nangis gak?” tanya Bian mengalihkan pembicaraan.
“Tidak! Kan
ada Kakakku, aku senang disana.”
Bian
mengangguk, ia juga ingin menghabiskan waktu lebih lama bersama Anna. Ia begitu
senang mendapat banyak vidio dari pengasuh Vincent yang mengabadikan momen
interaksi Anna dan putra semata wayangnya itu. Rasanya seperti mimpi melihat
Vincent ceria dan makan dengan lahap, juga melihat Anna yang mencurahkan kasih
sayang untuk anak-anaknya.