Bab 49 – Pembalasan
Eve menemui
Andi yang datang ke rumah Bian saat hampir tengah malam. Bian tak banyak
komplain karena ia juga tak begitu nyaman jika berdebat dengan Eve terus
menerus.
“Tuan,
Nyonya Eve…”
“Biarkan
saja, aku percaya pada istriku,” ucap Bian lalu masuk kedalam ruang kerjanya.
Eve kembali
dekat dengan Andi. Ini bukan hal baru bagi Bian. Dulu Eve juga lebih percaya
pada pengawalnya itu daripada dirinya. Sakit, Bian paham ini menyakitkan.
Ketika ia tak bisa bersama dengan pujaan hatinya lagi, Eve dengan mudahnya
bersama dengan Andi dan mengabaikannya.
Sarapan
pagi tadi juga Bian tak makan bersama Eve. Bian tak mengerti apa yang salah
pada dirinya kali ini. Bian tak pernah kasar pada Eve selama pernikahan ini,
Bian juga begitu patuh padanya. Kegarangannya hilang entah kemana, tapi rasanya
itu juga tak cukup untuk Eve yang selalu menuntut lebih pada Bian.
Bian pergi
keluar hari ini. Eve juga tak di rumah lagi entah pergi kemana ia juga tak
pernah pamit. Bian juga hanya bisa mengirim pesan menanyakan kapan Eve pulang.
Itupun juga tak pernah di balas. Bian merasa benar-benar kesepian.
“Bian?”
panggil Boni ragu melihat Bian membeli bunga.
“Oh, hai.”
Bian bingung harus berkata apa lagi.
“Kamu mau
beliin bunga buat Anna?” tanya Boni terus terang.
Bian diam
lalu menggeleng pelan. “Ini hari kematian Ayahku,” jawab Bian singkat.
Boni
mengangguk lalu tersenyum. “Kamu mau mampir kerumahku? Kita bisa bahas soal
investasi lagi atau hal lain?” tanya Boni yang dengan besar hati menawari Bian.
Bian
menaikkan sebelah alisnya lalu menggeleng pelan. “Aku belum ada waktu luang,
maaf ya. Kapan-kapan aku akan berkunjung,” ucap Bian singkat lalu pergi begitu
saja.
Boni
melongo kaget mendengar ucapan Bian yang menolak tawarannya untuk bertemu
dengan Anna. Boni benar-benar tak menyangka jika Bian menolak kesempatan emas
ini. Tapi terlepas dari itu semua Boni jadi menduga jika mungkin saja Bian
sudah benar-benar melupakan Anna dan memutuskan untuk fokus dengan keluarganya
bersama Eve.
Mereka
tampan dan cantik, pasangan yang sempurna. Lengkap dengan kekayaan yang rasanya
tak pernah habis. Kehidupannya benar-benar sempurna, lagipula apa yang Boni
harapkan. Rasanya sekedar merebut Anna saja tidak akan berpengaruh terlalu
signifikan. Mungkin juga kondisi fisik Bian yang memburuk karena masalah
kesehatannya juga benar. Seperti yang di sampaikan Eve.
Boni
menghela nafas lalu tersenyum. Benar dulu memutuskan untuk bersama Anna salah
satunya karena ingin selangkah lebih maju dalam membalas dendamnya pada Bian
karena terus di jadikan pesuruh. Tapi lama kelamaan kehidupannya jadi lebih
baik dan menyenangkan ketika ia bersama Anna. Rasa cintanya juga tumbuh dengan
begitu besar seiring bertambahnya waktu.
Apalagi
sekarang ada Gio El-baz, buah hatinya yang baru beberapa hari lalu lahir di
dunia. Boni dan Anna di sibukkan dengan kegiatannya sebagai orang tua baru.
Bergantian menjaga Gio dan menghujaninya dengan banyak kasih sayang. Terlalu
kekanak-kanakan rasanya jika masih harus terus bersaing seperti saat di SMA.
***
“Dapet
proyek?” tanya Jefri pada Artur dan Maxim setelah ia bertemu dengan Harold
Lawrance.
Artur dan
Maxim menghela nafas dengan kesal. Kalau reaksinya seperti ini sudah jelas
arahnya kemana.
“Gila loh
keluarganya Lawrance itu gak ada tau dirinya sedikitpun! Nyesel aku bantu
mereka dulu!” umpat Artur kesal.
“Iya loh! Abis
berapa kemarin keluargaku buat ngusung bapaknya Eve itu. Sekarang boro-boro
balas budi. Dia kasih jabatan mentri ke kabinet aja langsung di resufel terus.
Fuck lah!” saut Maxim tak kalah kesalnya dengan Artur dan Jefri.
“Bian
gimana ya?” tanya Jefri lagi yang merasa jika Bian sudah melupakan persahabatan
mereka sekarang.
“Ga tau,
apa kita kesana?” ajak Artur sepontan.
“Gak ah
males. Paling sama aja ama bininya…” seloroh Maxim.
“Ye! Jangan
gitu. Mungkin aja kita bisa manfaatin Bian sekarang,” ucap Jefri dengan
semangat lalu bangkit dari duduknya.
“Gas kita?”
tanya Maxim ragu cenderung enggan menemui Bian.
“Gas lah!”
saut Artur yang mau ikut bersama Jefri.
Akhirnya
semua berangkat menemui Bian ke rumahnya. Sengaja pula teman-teman satu geng
Bian itu tak mengabari sebelumnya untuk memberi kejutan. Beruntung penjaga dan
pelayan di rumah Bian sudah mengenali mereka bertiga, ditambah dengan kondisi
Bian jadi semua mengira jika mereka datang untuk membantu pemulihan Bian lagi.
“Tuan ada
di ruangannya tunggu sebentar,” ucap asisten Bian menahan teman gengnya.
Tak
berselang lama asisten Bian mengijinkan teman gengnya masuk. Bian tersenyum
ceria menyambut kedatangan teman-temannya. Jefri, Artur, dan Maxim terkejut
melihat kondisi Bian yang begitu mengenaskan.
Tak ada
yang berani bersuara. Semua menaruh banyak kecurigaan pada Eve dan keluarganya.
Bian terlihat sangat buruk, di bandingkan saat masih bersama Anna. Bian memang
jadi begitu garang, arogan, dan pemarah yang begitu sumbu pendek. Tapi Bian
masih terlihat sehat dan ceria meskipun ia begitu gengsi menunjukkan sisi
terangnya itu.
“Aku
gapapa, jangan kaget gitu dong,” ucap Bian lalu merapikan foto-foto Anna yang
ada di mejanya lalu memasukkannya kedalam laci kembali.
Jefri dan
yang lain saling pandang. Sepertinya mereka sudah meremehkan perasaan Bian dan
Anna saat di SMA dulu. Ternyata hubungan itu lebih dari sekedar cinta monyet
atau pacaran main-main seperti yang biasa mereka lakukan. Bian begitu serius
pada hubungannya.
“Aku rehab,
aku juga olah raga. Semuanya bakal pulih,” ucap Bian lagi karena teman-temannya
masih diam saja.
“Sepenting
itu ya Anna ternyata?” lirih Jefri yang cukup terdengar di telinga Bian.
Bian
terdiam lalu tersenyum dan mengangguk. “Tapi sudah masalalu, Anna sudah bahagia
sekarang,” ucap Bian lalu menghela nafas dengan berat.
Bian
berjalan keluar, di ikuti teman-temannya. Bian mengajak mereka ke lantai 2
tempatnya bermain biliard seperti biasanya.
“Apa yang
membawa kalian kemari? Apa proyeknya sudah selesai?” tanya Bian membuka
pembicaraan.
“Gak ada
proyek, mertuamu gak ngasih apa-apa. Rugi besar,” cerocos Maxim yang langsung
memanfaatkan kesempatannya.
Bian
mengerutkan keningnya.
“Aku gak
ngerti dia gak paham politik balas budi atau apa,” ucap Artur tak mau kalah.
Bian
menatap teman-temannya tak percaya dengan apa yang mereka katakan.
“Dia bahkan
gak jadiin perusahaanku buat jadi vendornya,” Jefri ikut menimpali.
“Seriously?”
tanya Bian kaget dan tak percaya.
Maxim
langsung menunjukkan bukti chating di ponselnya juga beberapa berkas yang ia
simpan.
“Ini salah,
harusnya tidak begini,” ucap Bian marah.
Asisten
Bian langsung mendekat dan memberikan ponselnya pada Bian. Bian langsung
menelfon Eve berharap Eve dapat membereskan semuanya tanpa perlu ia sendiri
yang turun tangan. Namun tak ada jawaban dari Eve. Bian langsung menelfon
mertuanya yang tak langsung di jawab. Hingga akhirnya Bian menelfon Ibunya.
“Ah seperti
itu cara bermainnya…” saut Melania mendengar kabar dari Bian. “Aku akan
kembali,” putus Melania bak Dewi Fortuna bagi teman-teman Bian.
***
“Posisinya
Pak Erwin ini bagus sekali, kalo taun depan maju capres kemungkinan menangnya
banyak,” ucap Tomi, tangan kanan Erwin yang begitu memperhatikan arah politik
selama Erwin sibuk dengan tugas negaranya.
“Begitu
ya…apa mungkin ada yang mau sama saya? Saya kan bukan orang partai,” ucap Erwin
yang sudah menolak 3 partai besar sebelumnya.
“Nanti saya
urus arah politiknya seperti apa, tapi masuk survei tertinggi itu sulit loh
Pak. Apa lagi sejak Anna sama Lidia aktiv di sosmed juga. Orang-orang jadi
semakin mengenal Bapak,” ucap Tomi meyakinkan Erwin kesekian kalinya.
Erwin
tersenyum lalu mengangguk. “Ngikut aja bagusnya gimana,” ucapnya sembari
menanda tangani persetujuan salah satu anak perusahaan keluarga Griffin untuk
menjadi vendor pembuatan seragam pasukan militer.