BLANTERORBITv102

Bab 02 – Kado Ulang Tahun

Rabu, 06 September 2023

Karena kesalahannya mengabaikan Bian, mau tidak mau Anna harus pergi ke apartemen Bian. Tidak untuk bercinta lagi. Bian ada kegiatan rutin yang harus ia jalani, seperti kelas tambahan dan masih banyak kegiatan kelas atas lainnya. Termasuk ikut latihan sebelum pertandingan basket terakhirnya sebelum lulus SMA.

Tugas Anna simpel sebenarnya. Bian hanya memintanya tetap tinggal di apartemennya sampai Bian kelar dengan segala urusannya. Bian juga tidak menuntut Anna untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Anna juga di ijinkan mengerjakan tugasnya dan belajar dengan nyaman disana.

Tapi sayangnya Anna juga punya kehidupan sendiri. Anna juga manusia biasa yang merindukan keluarganya dan karena Bian, akhir pekannya jadi tak pernah bisa berkumpul dengan ibu dan adiknya lagi. Meskipun memang sebagai gantinya Anna bisa mentransfer beberapa uang dengan nominal yang cukup untuk kehidupan di desa. Tapi tetap saja Anna rindu pada keluarganya.

“Bian udah makan belum?” sambut Anna yang tengah memasak brokoli yang ia tumis dengan bumbu seadanya.

“Sengaja ya?” ketus Bian begitu melihat masakan Anna.

Anna tau Bian tidak suka sayur jadi ia sengaja membuat brokoli yang di tumis meskipun ia tetap memasukkan daging giling dan sosis kesukaan Bian juga.

“Kamu kan jarang makan sayur, Bi. Lagian segitunya banget kamu benci sayur,” ucap Anna lembut lalu menuangkan tumisan buatannya ke atas nasi yang sudah ia siapkan.

Bian mendengus kesal lalu melepas kaosnya dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh tubuhnya setelah seharian beraktivitas. Anna menghela nafas, selalu saja begini. Tak berapa lama Bian keluar dari kamar mandi sementara Anna sudah menaburkan sedikit bubuk cabe dan berencana menikmati makan malamnya sendiri.

“Na, ish!” Bian kembali uring-uringan dan ketus pada Anna yang menikmati makan malamnya sendiri sambil membaca ulang materi hari ini dari tablet milik Bian.

“Iya Bian?” saut Anna lembut seperti biasanya yang selalu sabar menghadapi Bian.

“Kamu kenapa makan sendiri? Senaja ya mau ngebunuh aku biar aku mati kelaparan?” tanya Bian yang begitu hiperbola meskipun ia dari awal tidak menyukai masakan Anna dan sedang sibuk dengan ponselnya sendiri.

Anna mendekat sembari membawa piring makanannya dan pindah duduk disamping Bian lalu memyuapinya dengan telaten dan sabar sepeti biasanya. “Bian, Sayang. Besok aku pulang sebentar boleh ya? Adekku ulang tahun,” Anna coba membujuk Bian sambil menyuapinya.

Bian mengerutkan keningnya dan langsung menggeleng. Tertutup sudah celah untuk membujuk Tuan Muda Bian Griffin ini.

“Kan cuma sekali setahun, aku juga udah lama gak pulang. Lagian hari Minggu kalo disini sama kamu juga gak pernah ngapa-ngapain. Cuma liatin kamu latihan main basket doang, kalo gak main PS,” komplen Anna lalu memakan suapan terakhir yang selalu jadi kesukaan Bian.

Bian melotot melihat suapan terakhir di piring di lahap Anna. “Kamu nemenin aku itu kan kegiatan penting juga, daripada kamu pulang terus ngurus rumah, capek. Mending nemenin aku.”

“Ya tapi kamu ngediemin aku tiap aku temenin. Kamu diemin terus sampe kamu inget kalo ada aku disana. Baru kamu dateng buat minta minum, handuk, lanjut main lagi. Bosen tau ga kayak gitu,” Anna mendengus lalu berjalan ke wastafel dapur untuk mencuci piring dan mengambilkan minuman untuk Bian.

“Kamu kenapa sih Na egois banget, gak pernah ada waktu buat aku…” Bian mulai memasang wajah memelasnya kembali.

Anna menghela nafas. Ia tak mau terhasut Bian lagi, Anna tak mau menanggapi ucapan Bian ia bisa semakin tidak enak hati dan Bian bisa membuatnya di selimuti segala rasa bersalah setelahnya.

“Gak egois, pokoknya minggu besok aku mau pulang!” tegas Anna yang berusaha tegas agar ia bisa sedikit bebas dari Bian.

Bian menatapnya dengan memelas lalu bangun mengambil jaket dan kunci mobilnya. “Yaudah iya, boleh pulang…” Bian tiba-tiba mengalah.

Bila menghadapi Bian dengan emosi yang meledak-ledak bukan pilihan yang baik, maka menghadapi Bian yang tiba-tiba baik dan mau mengalah juga bukan pilihan yang tepat.

“Kamu jangan marah-marah ya, aku takut kamu marahin mulu,” lirih Bian lalu memeluk Anna dari belakang dan mengecup bahunya dengan lembut.

Anna memutar matanya. Seharian ini dan baru tadi Bian berhenti ketus padanya. Bisa-bisanya Bian yang baru mendengar sedikit gertakan dari Anna mengatakan jika Anna marah-marah dan membuatnya takut yang benar saja. Bahkan tadi di sekolah karena emosi Bian yang labil dan mendadak cemburu buta pada laporan makalahnya Anna jadi terpaksa memuaskan Bian di basecamp, sekarang malah Bian yang bertingkah layaknya korban.

“Tapi aku ikut beliin kado buat Lidia ya,” pinta Bian sambil mengeratkan pelukannya.

Anna menghela nafas lalu membalik tubuhnya agar bisa menatap wajah Bian mencoba melihat sandiwara dan kebohongan Bian yang mungkin terpancar dari matanya yang indah dengan sorot yang terus mengintimidasinya itu.

“Nanti waktu kita nikahkan Lidia jadi adekku juga, aku pengen kasih dia kado juga. Biar dia tau calon kakak iparnya ini juga sayang sama dia. Boleh ya…” pinta Bian lagi yang semakin terlihat memelas dan penuh kesungguhan.

Anna mengangguk lalu menangkup wajah Bian dengan kedua tangannya. Kalau Bian terus begini rasanya Anna akan selalu jatuh hati padanya. Pada pria lembut dan penyayang juga penuh tanggung jawab sepertinya. Pria yang begitu Anna dambakan dan selalu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi. Namun sayang Bian yang seperti ini jarang sekali muncul di hadapannya.

Bian tersenyum lalu menunggu Anna bersiap, hanya ganti baju dan sedikit memakai pelembab bibir saja. Anna begitu buru-buru bersiap sebelum Bian berubah pikiran kembali.

“Pacarku cantik sekali,” puji Bian yang memandangi Anna yang baru keluar dari kamarnya.

Yap! Dari kamar Bian, Bian akan selalu menyandra Anna dan selalu memaksanya untuk tidur sekamar. Entah saat Anna bisa ia gauli atau saat Anna sedang datang bulan. Pokoknya Bian ingin selalu ada Anna disampingnya meskipun ia tak terlalu memerlukannya.

Anna tersenyum lalu menggenggam tangan Bian yang menggandengnya ke mobil. Sepanjang jalan tak pernah ada deep talk layaknya pasangan. Bian mendiamkannya seperti biasanya. Kadang Anna heran sendiri apa yang menyebabkan Bian begitu membutuhkannya padahal ia juga tidak terlalu di butuhkan oleh Bian dan cenderung sering tak dianggap. Tapi bian selalu saja kekeh memaksanya untuk tetap menemaninya dan selalu bersama layaknya Upin & Ipin.

Begitu sampai di mall Bian dan Anna langsung menuju gerai yang menjual pernak-pernik dan kado. Bian memilihkan sekotak Barbie yang sudah lengkap dengan beberapa pakaian dan sepatunya juga aksesoris lainnya. Sementara Anna tak membeli apapun bukan karena Anna tak mau membelikan kado untuk adiknya tapi karena Bian.

“Kita jadi satu aja ya Sayang kadonya. Biar kayak pasangan-pasangan lainnya.”

Entah apa yang ada di kepala Bian tapi ia selalu memposisikan dirinya selayaknya pasangan pasutri baru setiap kali mereka keluar berdua begini. Bian juga akan selalu memperlakukan Anna selayaknya tuan putri setiap kali Anna sudah mau pergi jauh darinya.

“Sayang, maaf ya aku belum bisa jadi pasangan ideal buat kamu…”

“Bi, aku cuma pergi sehari. Minggu pagi sampe sore doang. Malemnya udah balik ke asrama.” Potong Anna sebelum ia terlena dan tak kuat meninggalkan Bian seperti kebiasaannya yang mudah luluh pada Bian yang menyuguhkan kesedihannya.

“Aku pasti bakal kangen banget sama kamu, aku sendirian terus. Jarang ada yang bisa perhatian dan mau khususin waktunya buat aku kayak kamu. Kalo gak ada Anna aku ga tau harus sama siapa lagi,” ucap Bian lalu mengecup punggung tangan Anna.

Anna menghela nafasnya lalu mengelus pipi Bian dengan lembut. “Bi…kan masih ada temen-temenmu, kamu juga biasanya main sama gengmu kan kalo hari Minggu,” ucap Anna lembut agar ia tak merasa bersalah.

Bian tersenyum lalu mengangguk. “Besok Bobi ada acara keluarga, jadi kita gak kumpul. Kalo gak lengkap kumpulnya gak jadi. Tapi kamu gak usah khawatir. Aku bakal cari kesibukan.”

Anna menghela nafas dengan berat lalu tiba-tiba ia mendapat telfon dari Ibunya.

“Siapa?” tanya Bian kepo.

“Ibu,” jawab Anna.

Bian langsung menepi. Ia bisa saja menyetir sambil mendengarkan pembicaraan Anna tapi ia bukan tipe orang yang mudah membagi fokusnya. Jadi Bian lebih memilih untuk menguping pembicaraan Anna daripada fokus ke jalan.

“Besok Ibu mau pindah, kontrakannya udah habis. Perlu suasana baru juga. Kamu pulang minggu depan aja, kita rayain ultahnya Linda minggu depan aja ya. Sekalian masak-masak buat perayaan pindah rumah,” ucap Miranda mengabari Anna.

“A-ah gitu. Oke, Bu. Aku sama Bian juga udah beli kado sebenernya. Yaudah gapapa aku simpen dulu.”

Bian tersenyum sumringah mendengar pembicaraan Anna dan ibunya yang gagal pulang.

“Kan apa! Dibilangin gak usah pergi ngeyel sih!” Bian sudah kembali ke setelan pabriknya kembali.

***

Miranda buru-buru membakar kartu ucapan dan kado pemberian mantan suaminya, Erwin Seymour. Seorang pejabat publik yang disegani dan disayangi rakyatnya namun membuat Miranda dan kedua putrinya menderita.

“Kalau kamu sayang anak-anakmu, harusnya dari awal tidak meninggalkan mereka!” kesal Miranda sembari menyeka airmatanya melihat kado pemberian Erwin yang habis dilahap sang jago merah.

Setelah ia berhasil memusnahkan kado pemberian mantan suaminya itu, ia langsung melangkah kedalam rumah dan langsung mengepak barang-barangnya bersiap pindah kembali. Ia akan benar-benar memenuhi janji yang sudah ia buat dan akan benar-benar menjauh sejauh yang ia bisa agar Erwin tak lagi menemukannya.

“Dasar bajingan sialan!” geramnya sembari berusaha menabahkan hatinya. 




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.