Karena
kesalahannya mengabaikan Bian, mau tidak mau Anna harus pergi ke apartemen
Bian. Tidak untuk bercinta lagi. Bian ada kegiatan rutin yang harus ia jalani,
seperti kelas tambahan dan masih banyak kegiatan kelas atas lainnya. Termasuk
ikut latihan sebelum pertandingan basket terakhirnya sebelum lulus SMA.
Tugas Anna
simpel sebenarnya. Bian hanya memintanya tetap tinggal di apartemennya sampai
Bian kelar dengan segala urusannya. Bian juga tidak menuntut Anna untuk
mengerjakan pekerjaan rumah. Anna juga di ijinkan mengerjakan tugasnya dan
belajar dengan nyaman disana.
Tapi
sayangnya Anna juga punya kehidupan sendiri. Anna juga manusia biasa yang
merindukan keluarganya dan karena Bian, akhir pekannya jadi tak pernah bisa
berkumpul dengan ibu dan adiknya lagi. Meskipun memang sebagai gantinya Anna
bisa mentransfer beberapa uang dengan nominal yang cukup untuk kehidupan di
desa. Tapi tetap saja Anna rindu pada keluarganya.
“Bian udah
makan belum?” sambut Anna yang tengah memasak brokoli yang ia tumis dengan bumbu
seadanya.
“Sengaja
ya?” ketus Bian begitu melihat masakan Anna.
Anna tau
Bian tidak suka sayur jadi ia sengaja membuat brokoli yang di tumis meskipun ia
tetap memasukkan daging giling dan sosis kesukaan Bian juga.
“Kamu kan
jarang makan sayur, Bi. Lagian segitunya banget kamu benci sayur,” ucap Anna
lembut lalu menuangkan tumisan buatannya ke atas nasi yang sudah ia siapkan.
Bian
mendengus kesal lalu melepas kaosnya dan masuk ke kamar mandi untuk membasuh
tubuhnya setelah seharian beraktivitas. Anna menghela nafas, selalu saja
begini. Tak berapa lama Bian keluar dari kamar mandi sementara Anna sudah
menaburkan sedikit bubuk cabe dan berencana menikmati makan malamnya sendiri.
“Na, ish!”
Bian kembali uring-uringan dan ketus pada Anna yang menikmati makan malamnya
sendiri sambil membaca ulang materi hari ini dari tablet milik Bian.
“Iya Bian?”
saut Anna lembut seperti biasanya yang selalu sabar menghadapi Bian.
“Kamu
kenapa makan sendiri? Senaja ya mau ngebunuh aku biar aku mati kelaparan?”
tanya Bian yang begitu hiperbola meskipun ia dari awal tidak menyukai masakan
Anna dan sedang sibuk dengan ponselnya sendiri.
Anna
mendekat sembari membawa piring makanannya dan pindah duduk disamping Bian lalu
memyuapinya dengan telaten dan sabar sepeti biasanya. “Bian, Sayang. Besok aku
pulang sebentar boleh ya? Adekku ulang tahun,” Anna coba membujuk Bian sambil
menyuapinya.
Bian
mengerutkan keningnya dan langsung menggeleng. Tertutup sudah celah untuk
membujuk Tuan Muda Bian Griffin ini.
“Kan cuma
sekali setahun, aku juga udah lama gak pulang. Lagian hari Minggu kalo disini
sama kamu juga gak pernah ngapa-ngapain. Cuma liatin kamu latihan main basket
doang, kalo gak main PS,” komplen Anna lalu memakan suapan terakhir yang selalu
jadi kesukaan Bian.
Bian
melotot melihat suapan terakhir di piring di lahap Anna. “Kamu nemenin aku itu
kan kegiatan penting juga, daripada kamu pulang terus ngurus rumah, capek.
Mending nemenin aku.”
“Ya tapi
kamu ngediemin aku tiap aku temenin. Kamu diemin terus sampe kamu inget kalo ada
aku disana. Baru kamu dateng buat minta minum, handuk, lanjut main lagi. Bosen
tau ga kayak gitu,” Anna mendengus lalu berjalan ke wastafel dapur untuk
mencuci piring dan mengambilkan minuman untuk Bian.
“Kamu
kenapa sih Na egois banget, gak pernah ada waktu buat aku…” Bian mulai memasang
wajah memelasnya kembali.
Anna
menghela nafas. Ia tak mau terhasut Bian lagi, Anna tak mau menanggapi ucapan
Bian ia bisa semakin tidak enak hati dan Bian bisa membuatnya di selimuti
segala rasa bersalah setelahnya.
“Gak egois,
pokoknya minggu besok aku mau pulang!” tegas Anna yang berusaha tegas agar ia
bisa sedikit bebas dari Bian.
Bian
menatapnya dengan memelas lalu bangun mengambil jaket dan kunci mobilnya.
“Yaudah iya, boleh pulang…” Bian tiba-tiba mengalah.
Bila
menghadapi Bian dengan emosi yang meledak-ledak bukan pilihan yang baik, maka
menghadapi Bian yang tiba-tiba baik dan mau mengalah juga bukan pilihan yang
tepat.
“Kamu
jangan marah-marah ya, aku takut kamu marahin mulu,” lirih Bian lalu memeluk
Anna dari belakang dan mengecup bahunya dengan lembut.
Anna
memutar matanya. Seharian ini dan baru tadi Bian berhenti ketus padanya.
Bisa-bisanya Bian yang baru mendengar sedikit gertakan dari Anna mengatakan
jika Anna marah-marah dan membuatnya takut yang benar saja. Bahkan tadi di
sekolah karena emosi Bian yang labil dan mendadak cemburu buta pada laporan
makalahnya Anna jadi terpaksa memuaskan Bian di basecamp, sekarang malah
Bian yang bertingkah layaknya korban.
“Tapi aku
ikut beliin kado buat Lidia ya,” pinta Bian sambil mengeratkan pelukannya.
Anna
menghela nafas lalu membalik tubuhnya agar bisa menatap wajah Bian mencoba
melihat sandiwara dan kebohongan Bian yang mungkin terpancar dari matanya yang
indah dengan sorot yang terus mengintimidasinya itu.
“Nanti
waktu kita nikahkan Lidia jadi adekku juga, aku pengen kasih dia kado juga.
Biar dia tau calon kakak iparnya ini juga sayang sama dia. Boleh ya…” pinta
Bian lagi yang semakin terlihat memelas dan penuh kesungguhan.
Anna
mengangguk lalu menangkup wajah Bian dengan kedua tangannya. Kalau Bian terus
begini rasanya Anna akan selalu jatuh hati padanya. Pada pria lembut dan
penyayang juga penuh tanggung jawab sepertinya. Pria yang begitu Anna dambakan
dan selalu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi. Namun sayang Bian yang seperti
ini jarang sekali muncul di hadapannya.
Bian
tersenyum lalu menunggu Anna bersiap, hanya ganti baju dan sedikit memakai
pelembab bibir saja. Anna begitu buru-buru bersiap sebelum Bian berubah pikiran
kembali.
“Pacarku
cantik sekali,” puji Bian yang memandangi Anna yang baru keluar dari kamarnya.
Yap! Dari
kamar Bian, Bian akan selalu menyandra Anna dan selalu memaksanya untuk tidur
sekamar. Entah saat Anna bisa ia gauli atau saat Anna sedang datang bulan.
Pokoknya Bian ingin selalu ada Anna disampingnya meskipun ia tak terlalu
memerlukannya.
Anna
tersenyum lalu menggenggam tangan Bian yang menggandengnya ke mobil. Sepanjang
jalan tak pernah ada deep talk layaknya pasangan. Bian mendiamkannya
seperti biasanya. Kadang Anna heran sendiri apa yang menyebabkan Bian begitu
membutuhkannya padahal ia juga tidak terlalu di butuhkan oleh Bian dan
cenderung sering tak dianggap. Tapi bian selalu saja kekeh memaksanya untuk
tetap menemaninya dan selalu bersama layaknya Upin & Ipin.
Begitu
sampai di mall Bian dan Anna langsung menuju gerai yang menjual pernak-pernik
dan kado. Bian memilihkan sekotak Barbie yang sudah lengkap dengan beberapa
pakaian dan sepatunya juga aksesoris lainnya. Sementara Anna tak membeli apapun
bukan karena Anna tak mau membelikan kado untuk adiknya tapi karena Bian.
“Kita jadi
satu aja ya Sayang kadonya. Biar kayak pasangan-pasangan lainnya.”
Entah apa
yang ada di kepala Bian tapi ia selalu memposisikan dirinya selayaknya pasangan
pasutri baru setiap kali mereka keluar berdua begini. Bian juga akan selalu
memperlakukan Anna selayaknya tuan putri setiap kali Anna sudah mau pergi jauh
darinya.
“Sayang,
maaf ya aku belum bisa jadi pasangan ideal buat kamu…”
“Bi, aku
cuma pergi sehari. Minggu pagi sampe sore doang. Malemnya udah balik ke
asrama.” Potong Anna sebelum ia terlena dan tak kuat meninggalkan Bian seperti
kebiasaannya yang mudah luluh pada Bian yang menyuguhkan kesedihannya.
“Aku pasti
bakal kangen banget sama kamu, aku sendirian terus. Jarang ada yang bisa
perhatian dan mau khususin waktunya buat aku kayak kamu. Kalo gak ada Anna aku
ga tau harus sama siapa lagi,” ucap Bian lalu mengecup punggung tangan Anna.
Anna
menghela nafasnya lalu mengelus pipi Bian dengan lembut. “Bi…kan masih ada
temen-temenmu, kamu juga biasanya main sama gengmu kan kalo hari Minggu,” ucap
Anna lembut agar ia tak merasa bersalah.
Bian
tersenyum lalu mengangguk. “Besok Bobi ada acara keluarga, jadi kita gak
kumpul. Kalo gak lengkap kumpulnya gak jadi. Tapi kamu gak usah khawatir. Aku
bakal cari kesibukan.”
Anna
menghela nafas dengan berat lalu tiba-tiba ia mendapat telfon dari Ibunya.
“Siapa?”
tanya Bian kepo.
“Ibu,”
jawab Anna.
Bian
langsung menepi. Ia bisa saja menyetir sambil mendengarkan pembicaraan Anna
tapi ia bukan tipe orang yang mudah membagi fokusnya. Jadi Bian lebih memilih
untuk menguping pembicaraan Anna daripada fokus ke jalan.
“Besok Ibu
mau pindah, kontrakannya udah habis. Perlu suasana baru juga. Kamu pulang
minggu depan aja, kita rayain ultahnya Linda minggu depan aja ya. Sekalian
masak-masak buat perayaan pindah rumah,” ucap Miranda mengabari Anna.
“A-ah gitu.
Oke, Bu. Aku sama Bian juga udah beli kado sebenernya. Yaudah gapapa aku simpen
dulu.”
Bian
tersenyum sumringah mendengar pembicaraan Anna dan ibunya yang gagal pulang.
“Kan apa!
Dibilangin gak usah pergi ngeyel sih!” Bian sudah kembali ke setelan pabriknya
kembali.
***
Miranda
buru-buru membakar kartu ucapan dan kado pemberian mantan suaminya, Erwin
Seymour. Seorang pejabat publik yang disegani dan disayangi rakyatnya namun
membuat Miranda dan kedua putrinya menderita.
“Kalau kamu
sayang anak-anakmu, harusnya dari awal tidak meninggalkan mereka!” kesal
Miranda sembari menyeka airmatanya melihat kado pemberian Erwin yang habis
dilahap sang jago merah.
Setelah ia
berhasil memusnahkan kado pemberian mantan suaminya itu, ia langsung melangkah
kedalam rumah dan langsung mengepak barang-barangnya bersiap pindah kembali. Ia
akan benar-benar memenuhi janji yang sudah ia buat dan akan benar-benar menjauh
sejauh yang ia bisa agar Erwin tak lagi menemukannya.
“Dasar bajingan sialan!” geramnya sembari berusaha menabahkan hatinya.
0 comments