0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 25 – Putus

 Bab 25 – Putus-1

Bian masih terlihat begitu keras kepala ketika Melania memintanya meninggalkan Anna. Bian sama sekali tak terlihat mau melemahkan sedikitpun perinsipnya untuk menjaga Anna dan tetap bersamanya. Bahkan Bian sudah terang-terangan memberitau ibunya jika ia sudah menghamili Anna dan ingin bertanggung jawab sebagai suami dan ayah.

“Tuan Muda! Nona Anna di bawa ke rumah sakit!” ucap kepala pelayan dengan begitu terburu-buru hingga nekat menerobos ke ruang kerja Melania.

“Apa yang terjadi? Kenapa dengan Anna?!” tanya Bian panik lalu berjalan keluar.

“Hanya ada laporan jika apartemen banyak darah, Nona Anna di temukan terkapar lemas.”

Bian berdecak kesal dan langsung pergi. Melania yang semula ingin marah pada kepala pelayan yang begitu lancang menerobos ke ruangannya. Tapi mendengar ada hal buruk yang menimpa Anna ia jadi senang karena ia tak perlu repot-repot menyingkirkannya lagi sekarang.

***

Bian datang sangat terlambat. Sudah ada Erwin bersama Lidia dan Tania, bahkan Boni juga sudah ada disana duduk dengan cemas menunggu Anna yang langsung masuk kedalam ruang oprasi. Semua orang menatap Bian dengan penuh kebencian dan penghakiman atas apa yang Anna alami.

Lidia yang terlihat paling membenci Bian dan merasa apa yang di alami kakaknya dan perubahan sikap kakaknya selama ini karena ulah Bian. Hilang sudah citra Bian yang baik, manja, dan menyenangkan selama ini. Bahkan Erwin yang dulu merasa jika Bian bisa melindungi Anna dan kehilangan respect karena kedekatan Bian dengan Eve kini jadi membenci Bian.

“Udah gak usah kesini lagi. Gak usah deketin anakku lagi!” ucap Erwin memarahi Bian.

Bian diam menundukkan kepalanya penuh sesal.

“Mau apalagi sama Anna?! Tega-teganya bikin anakku jadi sengsara! Kamu ini punya otak apa enggak sampe segitu jahatnya sama Anna?!” bentak Erwin benar-benar emosi.

Tania mengelus punggung dan bahu suaminya. Agar Erwin tidak membuat keributan di rumah sakit.

“Lidia…”

“Gak usah manggil aku lagi, Kak Bian ternyata sekejam itu ke Kak Anna. Ternyata kamu yang bikin Kakakku ga bisa di hubungin, kamu nyekap Kak Anna selama ini! Kamu jahat banget!” ucap Lidia yang sudah berlinangan airmata. “Kalo sampe Kak Anna gak selamat, aku gak akan maafin kelakuanmu!”

Baca juga Epilog

Hilang sudah tempat kearoganan Bian, tak ada pemakluman lagi untuknya. Bian benar-benar hancur. Bahkan uangnya tak bisa memperbaiki kesalahannya kali ini juga. Semua sudah selesai, semua sudah hancur dan tak ada jalan untuk memperbaiki ini semua lagi.

Melania yang mendengar putranya dimarahi banyak orang tersenyum puas lalu memutuskan untuk pulang dan tidak jadi ikut campur kali ini. Karena merasa sudah jelas jika Bian tak bisa nekat lagi. Ia tak bisa memaksa restu dari ayah maupun adik Anna. Tak ada yang menguatkan perbuatan Bian lagi dan Melania siap mengatur bonekanya yang membangkang kembali. Persetan meskipun Melania sekarang tau jika Anna bukan anak orang sembarangan lagi. Melania tetap menginginkan Bian menjauh darinya dan kembali ia setir kembali.

***

Hampir lebih dari 24 jam menunggu hingga Anna selesai menjalani kuretase dan menunggunya siuman. Bian tetap nekat menunggu disana dengan tebal muka. Bian masih merasa menjadi yang paling berhak atas Anna dan ia merasa jadi satu-satunya orang yang memiliki Anna. Bahkan ketika dokter memberikan janin dan hasil kuretase yang sudah dimasukkan kedalam toples, Bian juga merebutnya terlebih dahulu sebelum Erwin dan Lidia.

Bian menangis dalam diam dan begitu keras kepala. Erwin juga sudah lelah menghadapi tingkah Bian yang begitu kekanakan. Boni juga memutuskan untuk pulang karena merasa tak pantas larut dalam masalah keluarga Anna.

“Anna…” panggil Bian begitu Anna sadar.

Anna mengerjapkan matanya. Airmatanya langsung berlinangan begitu melihat Bian dan toples bening yang berisi darah dan entah apa lagi di dalamnya. Anna tau janinnya sudah hilang bersamaan dengan hilangnya perasaan Anna pada Bian yang menariknya pada mimpinya dalam meraih cita-cita dan menyadarkannya dimana posisinya seharusnya.

“Bian, aku mau kita putus. Aku gak bisa sama kamu lagi,” ucap Anna dengan tenang dan pandangan matanya yang begitu serius menatap mata Bian.

“Enggak! Aku ga mau, kamu bilang gini karena lagi terguncang aja, Na. Kamu lagi sedih, aku juga sedih. Tapi kita bisa perbaiki ini. Kita bisa mulai dari awal lagi…”

Anna menggeleng, Anna tidak mau mendengar bujuk rayu Bian lagi. Mungkin memang benar ia sedang terguncang dan sedih, tapi disisi lain Anna juga tak mau membuat Bian melawan ibunya dan memaksakan hubungannya yang tidak mendapat restu. Anna ingin hidup apa adanya, sebagaimana mestinya saja tanpa perlu melawan atau bermusuhan dengan siapapun.

Anna ingin hidup dengan tenang. Anna merindukan kehidupannya yang lama, dimana hanya belajar dan membantu ibunya berjualan yang menjadi masalahnya. Tanpa ada kekhawatiran soal identitasnya yang akan di ketahui publik, tanpa ketakutan pada keluarga Bian, dan terus terkurung atas rasa posesif Bian yang perlahan menjadi obsesi padanya. Anna ingin hidup dengan tenang bersama Lidia sembari menata hidupnya kembali bersama ayahnya dan mungkin juga mulai mencoba menerima istri baru ayahnya.

Baca juga Bab 74 – Hamil

Anna menekan tobol bel untuk memanggil perawat. “Udah cukup Bi, aku gak bisa sama kamu lagi. Udah ya, kita sampai disini aja,” putus Anna sebelum akhirnya seorang perawat datang dan langsung meminta Bian untuk pergi.

Dengan berat hati dan airmatanya yang masih berlinangan tak terima dengan keputusan Anna, Bian melangkah pergi. Ia berencana memakamkan janin calon anaknya bersama Anna di rumahnya, lalu saat Anna sudah sehat nanti ia akan kembali merayu Anna.

“Yaudah kalo kamu mau ngabisin waktu sama keluargamu dulu gapapa, aku pulang. Nanti kalo kamu udah sehat aku kesini lagi, ya Sayang,” ucap Bian sembari mengecup kening Anna.

Anna menggeleng, ia benar-benar tak mau menambah masalah lagi dan merasa berpisah sudah menjadi jalan terbaik yang bisa ia tempuh sekarang.

***

Bian memakamkan calon buah hatinya di taman belakang, tepat di dekat pohon bunga mawar terbesar yang ada di sana. Bian benar-benar sedih, menyesal, marah, dan kecewa pada dirinya sendiri yang sudah gagal menjaga Anna. Bahkan dengan segala yang ia mampu, ia juga tak bisa menjaga calon anaknya sendiri dengan benar.

Namun belum reda kesedihan Bian, Melania muncul dan langusng memerintahkan petugas keamanannya untuk membawa Bian masuk kedalam mobil. Melania langsung membawa Bian ke Swis agar Bian tak bisa menemui Anna lagi. Bian terus melawan dan berteriak namun pada akhirnya ia hanya bisa menangis dan untuk pertama kalinya Bian merasakan artinya kehilangan yang sesungguhnya.

Bian menyentuh pipinya yang di basahi airmatanya sendiri yang tak bisa berhenti mengalir. Bian terdiam bingung lalu menatap pantulan wajahnya di kaca pesawat. Ini memang bukan tangisan pertama Bian, tapi ini yang paling membuatnya merasa sakit. Bian tiba-tiba diam, lalu menyentuh dadanya. Ini sangat menyesakkan.

Biasanya Bian menangis dan mengiba pada Anna, tapi itu karena ia tau Anna lemah pada pengibaannya dan tangisannya. Anna tak bisa melihatnya sedih dan Bian selalu memanfaatkan itu. Bian mengelus dadanya dengan perlahan. Ia merasa ada yang kosong dan hilang dari dirinya.

Bian menatap kedua tangannya lalu meraba tubuhnya sendiri. Melania menatapnya bingung. Bian juga bingung. Bian tak merasa ada yang hilang pada dirinya, tubuhnya sehat dan organnya juga masih lengkap. Tapi Bian merasa ada yang hilang darinya.

“Ibu, apa yang hilang dariku?” tanya Bian pada Melania dengan suara bergetar.

Melania menaikkan sebelah alisnya. Ia tak paham pada apa yang Bian tanyakan. Melania sendiri juga bukan seorang yang pandai mentoleransi perasaan. Kehidupannya terlalu keras dan berat untuk sekedar merasakan rasanya dan mendengarkan hatinya.

“Aku merasa kosong, aku merasa ada yang hilang dariku. Apa yang hilang? Aku kenapa?” Bian begitu bertanya-tanya sekarang.

Tak selang lama setelah itu Bian tertawa pelan. “Ini yang di rasakan Anna, yang dirasakan Lidia, yang dirasakan orang-orang miskin itu…”

“Kamu sudah tidak rasional lagi, itu tidak baik.” Komentar Melania yang juga tak bisa memahami perasaan orang lain seperti Bian.

Bian kembali diam, ia menyentuh dadanya pelan. Mungkin ibunya benar, ia sudah terlalu banyak menggunakan perasaannya dan lupa menggunakan otaknya.

“Janin itu bahkan masih setengah embrio. Ini mirip seperti haid yang terlambat, anggap saja begitu dan berhentilah menangis. Jadilah Griffin yang benar!” tegas Melania.

Bian diam lalu perlahan menundukkan kepalanya. Ia teringat betapa bahagianya ia dan Anna, betapa hangatnya perasaannya ketika bersama Anna. Semua terasa menyenangkan dan nyaman. Mimpi-mimpi itu, perasaan itu, kenyamanan yang selalu ia rindukan…semua harus ia terima jika semua itu harus pergi dan lepas dari genggamannya. Bian harus masuk kedalam penjara lain, penjara keras milik ibunya yang dingin dalam kehampaan lagi.

Bian tersenyum simpul. Mengingat penjara, ia jadi teringat pada Anna yang ia penjarakan dan malah Bian yang masuk dalam penjara yang ia buat sendiri. Penjara yang indah yang membuatnya harus tetap setia dan terus menjaga perasaan Anna agar tetap mencintainya dan nyaman dengannya.

You’re my beautiful prison and I want always go back to you, Anna.

Mungkin secara fisik memang Bian bebas, namun di hatinya ia terpenjara dengan sendirinya pada Anna. Seolah ada rantai yang mengikat lehernya dan jeruji besi yang mengelilinginya. Hati Bian sepenuhnya milik Anna dan rasanya akan terus begitu.

74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share