Bab 22 – Cemburu
“Anna
perempuan lain? Apa kamu yang merusak kebahagiaanku bersama Anna?” pertanyaan Bian masih terngiang di
telinga Eve seolah Bian baru saja mengucapkannya tiap kali Eve teringat
perkataan itu. Eve ingin melepas Bian, tapi disisi lain ada keluarganya yang
begitu bergantung padanya untuk memperlancar kerjasama dengan keluarga Griffin.
Eve tidak bisa mundur, tapi nekat maju juga akan membuatnya terluka.
Eve hanya
ingin pernikahannya kelak baik-baik saja dan berjalan dengan harmonis
sebagaimana mestinya. Eve membayangkan dirinya bersama Bian duduk bersama di
taman menemani anak-anaknya kelak. Menemani Bian bepergian, menemani
anak-anaknya, menjalani kehidupan rumah tangga yang penuh kehangatan dan
kemesraan. Tapi semuanya terasa begitu berat begitu memulainya saja sudah di
awali dengan Bian yang sudah memiliki pasangan.
“Ma, kalo
Kak Bian gak bisa cinta aku. Aku harus apa?” tanya Eve meminta saran dari Lifi,
ibu sambungnya itu.
Lifi
tersenyum mendengar pertanyaan Eve dan wajah murungnya. “Kalo gitu Eve harus lebih
aktif deketin Kak Bian, bikin nyaman, jangan ngelawan terus, harus banyak
ngalah. Cowok itu perlu dikasih makan egonya,” ucap Lifi menasehati putrinya
dengan lembut sembari memeluknya.
“Apa Mama
dulu juga gitu?” tanya Eve.
Lifi
langsung mengangguk. “Iya dong, kadang Mama pakek baju sexy juga biar Papamu
makin cinta,” ucap Lifi yang membuat Eve mulai tersenyum. “Kamu mau belanja
baju sexy juga? Buat godain Kak Bian nanti waktu udah nikah?” ajak Lifi dengan
senyum sumringahnya.
Eve
menundukkan pandangannya berusaha menutupi pipinya yang mulai bersemu lalu
mengangguk dengan malu-malu.
“Kalo Mama
liat Kak Bian tu bukan tipe cowok yang bisa inisiatif duluan, pendiem,
tipe-tipe cowok yang cool, jaim-jaim gitu ya?” tebak Lifi.
Eve
mengangguk agar mamanya tidak curiga saja.
“Nah, kalo
gitu harus kamu yang mulai duluan,” ucap Lifi bersemangat membantu kelancaran
kehidupan percintaan Eve.
Eve
menghela nafas lalu mengangguk. Ia memutuskan untuk mulai mencoba saran ibu
sambungnya dan mulai untuk mengesampingkan egonya dan mengalah untuk Bian.
Sembari memikirkan cara untuk bicara empat mata dengan Anna nantinya.
***
“Boni udah
bikinin aku catatan ama tugas kemarin, seneng banget aku kebantu sama dia,”
ucap Anna sembari duduk di bangkunya.
Bian
mengerutkan keningnya. Ia tak merasa menyuruh Boni untuk melakukan itu pada
Anna. Bian jadi merasa sedikit cemburu, karena Anna memuji Boni terang-terangan
di depan wajahnya. Bian ingin marah, tapi ia menahan dirinya dan coba melihat
ke sisi yang lain. Seperti Anna yang tidak perlu stres karena ketinggalan
pelajaran.
“Nanti kalo
gak enak badan ke UKS aja, nanti aku temenin,” ucap Bian lalu pergi dari kelas
Anna.
Bian
langsung mencari Boni. Kemarahannya benar-benar tak bisa ia tahan sekarang.
Memang di hadapan Anna ia bisa tenang dan masih bisa berkata dengan lembut
seolah tak masalah dengan apa yang Boni lakukan. Tapi Bian tetap Bian, ia tetap
posesif dan obsesif pada Anna. Apalagi Anna sudah jelas miliknya.
Bian
langsung menghantam kepala Boni ke meja sembari memeganginya dengan tangannya
tanpa membuang waktu begitu melihatnya membuang waktu. “Apa maksudnya?” tanya
Bian sembari mencengkram kepala Boni.
“A-ap-apa?”
tanya Boni gugup.
“Catatan di
laci Anna,” ucap Bian singkat.
“Om Erwin
yang minta!” ucap Boni sedikit berteriak.
Bian
langsung melepaskan cengkraman tangannya dari kepala Boni. “Om Erwin? Ayahnya
Anna?” tanya Bian kaget.
Boni
mengangkat kepalanya lalu memutarnya perlahan karena lehernya langsung terasa
ngilu setelah Bian menyerangnya.
“Ya siapa
lagi?!” sinis Boni kesal.
“Kok bisa?”
tanya Bian penuh selidik.
“Keluargaku
kerja sama sama keluarga Seymour. Semua orang sudah tau,” jawab Boni santai.
Bian
terdiam ia merasa Boni mulai melangkah mendahuluinya sekarang. “Lo bakal tetep
jadi pesuruh! Tetep jadi lalat di tumpukan sampah!” maki Bian tiba-tiba.
“Iya, lalu
untuk apa seorang Tuan Muda sepertimu memaki lalat di tumpukan sampah?” balas
Boni lalu tersenyum simpul.
Bian
langsung menghajar Boni dengan sekuat tenaga, meluapkan kemarahannya atas
ucapan Boni yang begitu sombong menantangnya. Semua orang langsung mencoba
memisahkan Bian yang ingin menghajar Boni yang tidak membalas sebelum
kondisinya mengenaskan.
“Gak usah
coba-coba caper ke Anna! Gue hajar sampe bener-bener abis lo!” teriak Bian
penuh emosi.
***
Anna
berlari ke kelas Boni begitu mendengar kabar jika Bian mengamuk. Boni sudah di
bawa ke UKS sementara Bian sudah pergi ke kelasnya. Anna kembali berlari ke
UKS, melihak kondisi Boni terlebih dahulu sebelum mengecek kondisi Bian.
Betapa
terkejutnya Anna melihat wajah Boni yang memar-memar karena Bian. Anna tak
habis pikir dengan apa yang Bian lakukan pada Boni, padahal Anna pikir apa yang
Boni lakukan sudah sangat baik dan membantunya.
“Boni…”
lirih Anna memanggil Boni.
“Aku gapapa
Na, gak usah khawatir. Kamu balik ke kelas aja ato ketemu Bian sana,” ucap Boni
enggan mendapat belas kasihan dari Anna.
“Aku kira
kamu gini di suruh Bian,” ucap Anna pelan.
“Gak,
Ayahmu yang minta tolong ke aku,” jelas Boni.
“Ayah? Kamu
kenal ayahku?” tanya Anna kaget.
Boni ikut
kaget tak menyangka dengan reaksi Anna yang sama kagetnya seperti Bian.
“K-keluargaku ada kerja sama dengan keluargamu, ku kira kamu tau,” jawab Boni
gugup.
Anna
mengangguk pelan. “Maafin Bian ya, aku bakal kasih tau dia buat gak gini lagi,”
ucap Anna lalu pergi mencari Bian ke kelasnya.
Boni
mencoba menahan Bian namun tepat saat ia melihat Bian yang masih menggebu-gebu
di kelasnya Anna mengurungkan niatnya. Bian menatap Anna namun Anna perlahan
menjauh dari Bian, Anna seketika teringat jika Bian yang membuatnya jadi
begini. Bian memaksanya menerima perasaannya, Bian juga yang memanipulasi
hatinya.
Tangan Anna
perlahan mengelus perutnya. Anna ingin kuliah, ingin meraih cita-citanya untuk
kehidupan yang mandiri dan memberikan kehidupan yang indah untuk ibu dan
adiknya. Anna menoleh ke samping ia melihat pantulan dirinya di cermin. Melihat
banyaknya bekas kiss mark yang Bian berikan padanya, melihat tubuhnya
yang kurus kini juga berbadan dua.
Anna
mengerjapkan matanya. Ia merasa lupa siapa dirinya, lupa akan mimpinya hingga
bertahan di sekolah ini. Anna sudah terlalu terlena dengan cinta dan Bian
dengan segala roller coaster dalam kehidupannya.
“Anna!”
panggil Bian yang langsung berlari menghampirinya.
Anna
menjauh beberapa langkah dari Bian. Ia benar-benar bingung harus bagaimana
sekarang, setelah ia sempat luluh dan merasa Bian adalah tempatnya berlabuh.
Sekarang setelah ia melihat keganasan Bian pada Boni, Anna merasa tak
sedikitpun ada yang berubah pada Bian.
“Sayang…”
lirih Bian.
Anna
menggeleng. “Kamu jahat sekali…” lirih Anna dengan suara gemetar.
“Na, aku
bisa jelasin…”
Anna
menggeleng lalu perlahan mundur dari Bian yang mendekatinya.
“Boni hasut
kamu ya? Dia bilang apa soal aku ke kamu?” tanya Bian sembari menarik tangan
Anna.
Anna
menggeleng. “Kamu kenapa pukulin dia? Kenapa kamu kasar ke semua orang?!” tanya
Anna kesal dan merasa lelah dengan Bian.
“Jadi dia
ngadu ke kamu?!” bentak Bian pada Anna.
Anna terpojok
dan terintimidasi oleh Bian.
“Jadi kamu
lebih percaya Lalat itu daripada pacarmu sendiri?!” bentak Bian semakin emosi.
Anna mulai
ketakutan dan menangis karena Bian. Bian langsung menghela nafasnya lalu
memeluk Anna dengan erat.
“Maaf
Sayang, aku gak maksud marahin kamu…” Bian langsung mendekap Anna sembari
mengelus punggungnya dengan lembut.
Anna
semakin menangis ketika Bian yang marah tiba-tiba melembut dan memeluknya
dengan erat. Perasaannya benar-benar dibuat campur aduk sekarang. Antara marah,
takut, kecewa, sedih, semua bercampur jadi satu.
“Maaf…maaf…maaf
Sayang…aku janji gak gini lagi,” ucap Bian yang terdengar begitu takut
kehilangan Anna.
“Aku gak
kenal kamu lagi sekarang Bi,” ucap Anna di sela tangisnya yang sudah mulai
reda.
“Ck!” Bian
berdecak kesal mendengar ucapan Anna. “Kamu gini karena emosimu lagi gak
setabil aja, kamu cuma lagi marah ke aku. Kamu mau lanjut kelas? Apa mau
pulang? Kita bisa pergi jalan-jalan kayak kemarin, kamu seneng kan jalan-jalan
kayak kemarin,” ucap Bian yang coba mengalihkan perhatian Anna.
“Aku mau
pulang, mau nemenin Ibu,” ucap Anna.
Bian
langsung menggeleng. “Kalo kita gak selesaiin masalah kita, kalo kamu pilih
kabur. Kapan kita dewasanya?” bujuk Bian yang melarang Anna pulang karena
enggan melihat kekasihnya itu kabur darinya. “Bentar lagi kita ada anak,
harusnya kita bisa lebih tenang hadapin ini,” bisik Bian lalu menggandeng Anna
ke basecampnya.
“Bi aku
capek sama kamu,” ucap Anna begitu masuk kedalam basecamp.
Bian
langsung duduk lalu menarik Anna keatas pangkuannya. “Ini bawaan hormon karena
kamu hamil, anakku emang agak sensitif. Gapapa, tapi kamu gak boleh bilang gitu
ya. Kan kamu yang minta buat hamil, buat sama-sama aku terus. Kenapa sih cuma
karena aku marah dikit kamu pasti gini?” Bian mulai berkaca-kaca sedih dengan
permintaan Anna yang begitu membuatnya frustasi.
Anna
memeluk Bian sembari menangis, keduanya sama-sama menangis dalam
kefrustasiannya masing-masing. Bian benar-benar hancur mendengar Anna yang
tengah mengandung calon buah hatinya sudah lelah dengannya, belum lagi saat
terakhir kali ia bertemu dengan Erwin ia juga langsung menunjukkan ketidak
setujuannya atas hubungannya dengan Anna. Padahal Bian tau jika selama ini
Erwin juga tidak cukup baik untuk anak istrinya.
“Jangan
minta putus, aku gak bisa pisah sama kamu. Aku mau perjuangin kamu, perjuangin
anak kita biar dia gak harus hidup susah kayak kamu yang kehilangan ayahmu. Aku
mau ada buat anak-anak kita, tolong Na… kamu boleh minta apa aja, tapi kalo
putus. Pisah dari kamu, aku gak bisa,” ucap Bian memohon pada Anna.
Anna hanya
diam dalam tangisnya. “Bi, kamu ini sebenernya siapa sih. Kenapa rasanya
semakin hari aku semakin gak kenal kamu,” ucap Anna.
“Aku cowok
yang kamu sayangi, kamu cintai, papanya anak di kandunganmu,” jawab Bian dengan
cepat lalu melumat bibir Anna.
***
Arthur
mundur perlahan setelah mendengar ucapan Bian yang memohon pada Anna untuk
mempertahankan hubungannya. Sekarang ia tau alasan kenapa Bian tidak mau
mendekati Eve dan jauh lebih lembut pada Anna. Arthur benar-benar tak menyangka
jika Bian dan Anna menjalin hubungan yang lebih serius dan intim daripada yang
ia kira.