0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 30 – Move On 🔞🔐

Beli Karya

 

Bab 30 – Move On 🔞🔐-1

Anna hanya mengalami dislokasi bahu ringan, meskipun ia tetap perlu menjalani rawat inap semalam. Lidia menemaninya bersama Devi, sementara Erwin dan Tania harus pergi dinas keluar negeri selama seminggu kedepan. Boni belum sempat bercerita soal Anna, ia sudah harus segera bertanding.

Boni bertanding dengan penuh emosi. Seluruh kebenciannya pada Bian ia luapkan pada pertandingan hari ini. Ia benar-benar menguasai lapangan dan menjadi bintang. Tapi sayangnya sekeras apapun Boni bertanding, secemerlang apapun ia bersinar, dihati kecilnya ia tetap merasa hanya mengikuti bayangan Bian. Ia hanya mencoba untuk menjadi Bian di era yang sudah berlalu.

Apa yang kulakukan, apa yang membanggakan dari ini semua? Seperti menjadi pemenang di antara para pecundang, batin Boni yang tetap tak merasa bangga. Boni tetap ingin mengalahkan Bian daripada menjadi bintang lapangan seperti sekarang.

Mengalahkan Bian di lapangan, membuatnya di permalukan di depan publik, mempecundanginya. Tapi nyatanya meskipun kini Bian sudah tidak menjadi sorotan dan kembali masuk dalam kehidupannya yang tertutup dan sangat privat, Boni tetap berada di strata sosial yang berbeda. Hanya Anna satu-satunya kemenangan mutlaknya atas Bian.

“Sayang…” panggil Boni yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk Anna.

Anna sudah bangun setelah tangannya mendapat penanganan. Lidia menyuapi Anna tersenyum lega melihat Boni yang datang.

“Aku bawa Mc.D,” ucap Boni sambil menunjukkan bawaannya untuk Anna dan Lidia.

Devi menepuk bahu Lidia mengajaknya keluar membiarkan Boni berdua dengan Anna.

“Aku takut…” lirih Anna dengan mata yang berkaca-kaca memandangi Boni.

Boni memeluk Anna dengan hati-hati. “Semua baik-baik saja, aku bakal jagain kamu.”

Anna mengangguk lalu Boni menyeka airmata Anna.

“Nginep di rumahku sementara mau?” tawar Boni. “K-kamu bisa tidur di kamar tamu kok,” ucap Boni langsung mencabut tawarannya dengan gugup agar ia tak di nilai sama seperti Bian yang posesif.

Anna mengangguk. “Maaf ngerepotin kamu terus,” lirih Anna yang benar-benar merasa senang dan sungkan karena terus bergantung pada Boni.

Boni tersenyum sumringah. “Gapapa, kamu ini sungkan mulu. Padahal kita bentar lagi tunangan.”

Anna ikut tersenyum mendengar ucapan Boni yang begitu mengerti dirinya. Boni lembut dan penyayang, mungkin efek dari keluarganya yang jauh lebih harmonis daripada Bian. Orang tua Boni juga sangat suportif padanya, beda dengan Bian yang selalu di atur dan di dekte dengan sangat keras.

“Tadi di pertandingan rasanya sepi, gak ada kamu. Rasanya kayak aku di kucilkan.” Boni menghela nafas lalu membukakan bungkus makanan yang ia bawakan untuk Anna.

Anna menggenggam tangan Boni. “Maaf ya…”

Boni menatap Anna bingung lalu mengecup bibirnya sekilas. Anna langsung bersemu begitu pula dengan Boni.

“I-itu konpensasinya ya! S-si-siapa suruh ga nyemangatin aku!” ucap Boni gugup.

Anna mengangguk sambil berusaha menyembunyikan senyumannya karena kecupan Boni barusan. Anna perlahan mengelus dadanya yang berdebar-debar. Sudah lama ia tak merasakan perasaan seindah ini.

Boni menghela nafas. “Gapapa, kita kan rencananya ga gini. Musibah, semoga Bian gak ganggu kita lagi,” ucap Boni serius lalu tersenyum berusaha menguatkan dirinya.

Anna mengangguk lalu menatap Boni. “Bian selalu gitu, nekat, egois, sekeras apapun aku coba ngerubah dia dulu tetep gak bisa. Aku gak ngerti kenapa dia kayak gitu.”

“Jangan di pikirin lagi, aku jadi cemburu…” ucap Boni jujur sambil cemberut.

Baca juga Epilog

Anna mengangguk. “Tapi buat ngehindarin orang senekat Bian susah, dia ga takut apa-apa,” ucap Anna memperingatkan Boni.

Boni mengangguk, ia juga paham bagaimana kegilaan Bian. Boni perlahan mengelus bekas jahitan di kepalanya yang pernah di hajar Bian. Bian segila dan senekat itu jika sudah menyangkut soal Anna.

“Anna, kalo kita menikah lebih cepat kamu mau tidak?” tanya Boni.

Anna terdiam kaget dengan pertanyaan Boni yang mengajaknya menikah lebih awal.

“A-aku akan bicara dengan Ayahmu juga, aku sudah memikirkan ini. Aku bisa membicarakan ini dengan keluargaku juga.”

Anna mengangguk pelan. “Aku menunggu jawaban Ayahku setelah kamu meminta ijin.”

Boni langsung mengangguk dengan cepat. Jelas ia tak mau membuang waktu dan menyia-nyiakan kesempatan sebelum Anna dan keluarganya berubah pikiran. Selain itu Boni juga merasa sedih melihat Anna yang terus di bayangi rasa takut atas Bian yang terus mengejarnya.

“Maaf, harusnya aku melindungi kamu. Bukannya ngumpet kayak pengecut,” ucap Boni menyesal.

***

Bian diam termenung di rumahnya. Sudah berjam-jam ia diam di kamar setelah sebelumnya ia berdiam di taman memandangi janin calon buah hatinya yang ia kubur di taman belakang. Bian merasa bersalah, benar-benar bersalah. Ia hanya ingin mencintai Anna dan membawa Anna kembali padanya. Bian tak memiliki maksud buruk dan ingin menyakiti Anna, tidak sedikitpun. Tapi sepertinya ucapan Ayah Anna ada benarnya juga, Bian harus belajar untuk merelakan Anna bahagia dengan yang lain.

“Kak Bian…” panggil Eve yang mendapat kabar jika Bian mengamuk.

“Eve…” lirih Bian lalu melebarkan tangannya meminta pelukan dari Eve untuk pertama kalinya.

Eve langsung mendekat pada Bian untuk memeluknya. Bian langsung memeluk erat tubuh Eve sambil menangis. Untuk pertama kalinya ia menangis dalam pelukan Eve dan untuk kali pertama Eve melihat Bian serapuh ini.

Eve tak tau apa yang sudah di alami Bian, ia juga tak mau mencari tau sesuatu yang mungkin akan membuatnya sakit hati. Eve juga terlalu bahagia dan berbunga-bunga hingga langsung tutup mata dan tutup telinga karena Bian yang akhirnya kembali kepelukannya. Mungkin benar, ia tak perlu terlalu posesif untuk Bian. Bian suka kebebasan, harusnya ia menyadari itu. Toh pada akhirnya Bian juga kembali lagi padanya tanpa perlu di minta.

“Eve…” lirih Bian sebelum melumat bibir Eve dengan kasar.

Eve membelalakkan matanya. Ini ciuman pertamanya, Eve memang senang ia memberikan ciuman pertamanya pada Bian. Tapi ia tak mau ciuman yang kasar dan penuh nafsu seperti ini. Eve langsing mendorong Bian dan sedikit menjauh darinya.

“Apa? Kenapa kamu menolakku?!” geram Bian kesal.

“Ak-aku…aku hanya…”

“Bagaimana bisa kamu menolak calon suamimu sendiri dan kamu masih berharap bisa menikah denganku?!”

Baca juga Bab 74 – Hamil

Eve kembali mendekat lalu Bian langsung menariknya untuk duduk di pangkuannya sembari kembali mencumbu bibir Eve.

“Tolong aku Eve, hapuskan ingatanku soal Anna…” lirih Bian yang kembali terdengar rapuh dan manja.

Eve menatap Bian, ada kesungguhan yang terpancar di mata Bian yang berkaca-kaca dan terlihat sendu. Eve mengangguk lalu Bian membalik posisinya hingga ia ada di bawah dan Bian dengan mudah menindihnya sembari menggenggam tangannya Bian kembali melumat bibir Eve. Eve ingin melawan, tapi airmata Bian ikut membasahi pipinya. Eve hanya bisa pasrah dengan apa yang Bian lakukan.

Eve sedikit takut, tapi ia juga tau Bian yang sedang seperti ini akan memudahkannya untuk menyingkirkan seluruh masalalu Bian. Eve hanya perlu membuat Bian tergila-gila padanya, itu saja. Lalu ia dan Bian akan menikah dan memiliki kehidupan yang harmonis selamanya, pikir Eve.

“Kak Bian…” lirih Eve yang melihat Bian melepaskan pakaiannya sendiri satu persatu sebelum mulai menelanjangi Eve dan mematikan lampu kamarnya.

Bian masuk dalam fantasi dan halusinasinya sendiri soal Anna yang ia luapkan pada Eve, sementara Eve mempersiapkan dirinya yang untuk pertama kalinya juga bercinta dengan Bian. Eve mempersilahkan Bian mengambil ciuman pertamanya juga keperawanannya. 

“Kak Bianhhh…” desah Eve ketika Bian memberi tanda kepemilikannya di leher dan bahunya sebelum melahap payudaranya.

Eve pernah beberapa kali mencoba masturbasi, pernah juga memainkan payudaranya sendiri. Tapi ia merasa begitu kaget dengan sensasi yang begitu berbeda ketika Bian langsung yang menjamah tubuhnya. Geli, basah, hangat, lembut, semua bercampur jadi satu ketika Bian menghisap putingnya dengan lembut.

“Akhh…”

Bian secara intens menghisap payudara Eve secara bergantian. Bian juga mulai menggesekkan kejantanannya pada kewanitaan Eve yang sudah tak tertutup sehelai benang pun. Eve mengerang dan sedikit menggelinjang, Bian bergerak seolah sangat memahami bagian-bagian sensitive milik Eve dan cara untuk memuaskannya.

“Ahh…shhh…Kakhhh…” desah Eve tak karuan begitu kelabakan menghadapi Bian yang membuatnya melayang.

Bian kembali melumat bibir Eve dengan lembut lalu memasukkan lidahnya dan mulai beradu di dalam mulut Eve. Sebelum akhirnya Bian memberi kesempatan agar Eve bisa bernafas dan ia kembali melahap payudara Eve lagi dengan lebih kasar hingga Eve merasa jika putingnya mau membengkak karena Bian.

Eve mendesah dan mengerang tak karuan karena Bian, klitorisnya yang terus bergesekan dengan kejantanan Bian juga membuatnya semakin tak karuan. Sampai akhirnya Bian mengarahkan kejantanannya memasuki lubang kenikmatan Eve.

“Argh!” erang Bian yang merasakan nikmatnya himpitan sempit dari lubang Eve yang masih sangat ketat.

“Kak Bian! Sakit! Ahhh! Aw!” jerit Eve merasakan perih, gatal, dan nikmat disaat yang bersamaan seiring dengan masuknya kejantanan besar milik Bian kedalam lubangnya.

“Tahan Sayang, nikmati ini…kita akan sering melakukannya,” bisik Bian yang membuat Eve melayang dan kembali memaksakan dirinya untuk menikmati kejantanan perkasa milik Bian.

Benar saja detik berikutnya Eve sudah mendesah dan mengerang dengan erotis menikmati gerakan Bian yang begitu bringas menggaulinya.

***

Eve membuka matanya perlahan ia menatap sekeliling dengan alis bertaut. Eve ingat betul apa yang sudah ia lalui bersama Bian barusan. Tapi ia tak melihat Bian di sampingnya, sampai ia menggeser tubuhnya dan mendapati Bian sedang memeluknya dan masih menghisap payudaranya selayaknya bayi yang sedang tidur.

“Eve…” rengek Bian manja karena Eve bergeser dan payudaranya lepas dari mulutnya. Bian membuka matanya dengan alis yang bertaut. “Jangan pergi…” rengeknya lagi.

Eve bersemu mendengar ucapan Bian dan perubahan sikapnya secara 180 ini. Bian kembali melahap payudaranya sembari menatap Eve dari bawah lalu kembali memandangi dada Eve yang jauh lebih kecil daripada milik Anna. Bian kembali memejamkan matanya, kejantanannya sudah tegang kembali menggesek pahanya.

Eve perlahan mengelus pipi Bian yang tirus. Eve senang Bian sekarang ada di pelukannya dan sudah begitu terbuka padanya.

“Eve kamu jangan ngekang aku, aku sudah di kekang Ibuku. Aku tidak mau di kekang pasanganku juga. Aku juga manusia, aku ingin sedikit bebas, kenapa semua orang ingin mencencangku? Aku ini salah apa?” ucap Bian menyampaikan perasaannya yang terdengar begitu rapuh.

Bian memeluk pinggang Eve lalu membenamkan wajahnya di dadanya.

“Aku cuma takut Kak Bian pergi dari aku…” lirih Eve jujur.

“Pergi kemana? Kamu gak bisa percaya sama aku, gimana kita bisa menikah kalo saling curiga terus-terusan?” Bian mengecup bibir Eve lalu bangun untuk mengecup keningnya.

Eve menghela nafas lalu mengangguk, Bian ada benarnya juga. Semua orang punya masalalu dan Eve tak berhak menghakimi Bian begitu dalam. Eve jadi malu sendiri dengan sikapnya yang begitu ke kanak-kanakan.

“Sakit?” tanya Bian lalu memeluk Eve.

Eve mengangguk pelan. “Masih sedikit perih…”

“Apa foreplaynya kurang?” tanya Bian lembut lalu mengelus punggung Eve sebentar dan mengambilkan pil yang ada di lacinya. “Kita belum pengen punya anak sekarang kan?”

Eve mengangguk lalu menerima pil dari Bian dan meminumnya.

“Jangan terlalu banyak curiga, terus di tuduh dan kebingungan untuk membuktikan sesuatu itu tidak enak. Aku merasa sangat tidak nyaman.”

Eve mengangguk, ia mulai bisa memahami Bian sekarang.

74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share