Erwin
sampai di desa sesuai alamat milik Miranda. Ia juga sudah memastikan beberapa
kali ke berbagai instansi tempatnya menemukan alamat mantan istrinya itu. Namun
untuk yang kesekian kalinya ia akan selalu menemukan jika rumah yang di
tinggali mantan istrinya itu sudah kosong dan di sewakan kembali.
Erwin
tersenyum getir melihat sisa box hadiahnya yang terbakar di sekitar tempat
sampah di depan rumah. Ia menyesal sudah begitu buruk pada Miranda dan kedua
putrinya. Erwin tau posisinya dalam politik saat ini memang kurang baik dan
strategis. Jika ia ketahuan memiliki istri dan anak sebelum dengan
pernikahannya yang sekarang juga akan memperburuk kondisinya.
Tapi Erwin
sudah tidak mengejar jabatan lagi. Rumah tangganya bersama Tania begitu rumit,
terlebih Tania juga tak bisa memberi keturunan. Sudah beberapa tahun ini Erwin
terus mencari Miranda. Ia ingin bertemu anak-anaknya dan menebus kesalahannya,
tidak lebih dari itu.
“Sudah
pindah Pak, kemarin baru aja pindah. Anaknya si Anna kan juga sekarang sekolah
di kota. Mungkin ikut pindah ke kota juga,” ucap pemilik kontrakan yang mengira
Erwin datang untuk menyewa rumahnya.
“Oh ya?!”
kaget Erwin yang baru menerima kabar soal Anna.
“Iya, dapet
beasiswa Griffin Scholarship katanya. Dulu sempat syukuran, anak saya juga mau
masuk kesana tapi ga keterima,” jawab si pemilik kontrakan yang malah sekalian
curhat pada Erwin.
Erwin
meringis mendengarnya lalu mengangguk dan buru-buru pamit. Sekarang ia tau
kemana harus mencari anaknya. Erwin begitu senang mendapat kabar putri
sulungnya yang mendapat beasiswa. Pencariannya akan jauh lebih mudah sekarang.
Jika
Miranda tak mengganti namanya dan akte kelahiran kedua putrinya. Pasti ia akan
lebih mudah menemukan Anna sekarang.
***
“Anna!
Dicari Bian!” panggil Boni yang baru masuk kedalam kelas elit karena kekayaan
orang tuanya yang tiba-tiba meningkat.
“Iya
sebentar!” saut Anna lalu merapikan barang-barangnya.
“Lu tu bisa
agak cepet ga sih kalo di cari Bian?” tanya Boni yang muak selalu menunggu Anna
setiap Bian menyuruhnya memanggil Anna yang status ekonominya jauh di bawah
keluarganya.
Anna
menatap Boni bingung, Anna merasa sudah jauh lebih cepat dan sigap daripada
sebelumnya. Anna juga merasa tak berbuat salah apapun pada Boni hingga Boni
berhak berkata begitu ketus padanya.
“Lu tu
sengaja apa gimana sih? Lu tau gak tiap gue disuruh-suruh ama Bian manggilin
elu malunya bukan main. Elu sadar gak kalo lu cuma gembel yang dapet sedekah
dari keluarga Griffin? Lu makn hari makin ngelunjak!”
Anna hanya
bisa diam sambil memalingkan wajahnya begitu kaget dengan perkataan Boni yang
begitu menyinggungnya. Anna kembali duduk lalu mengambil ponselnya.
“Udah kamu
pergi aja, aku udah bilang sama Bian. Maaf bikin kamu malu, toh aku juga gak
nyuruh kamu buat nungguin aku.” Anna coba membela dirinya meskipun matanya
sudah berkaca-kaca.
“Lu sadar
gak, kalo lu keras kepala dan sok jual mahal imbasnya ke orang-orang yang
disuruh Bian! Kenapa sih lu nyebelin banget jadi cewek. Ga bisa liat kehidupan
orang lain tenang, udah miskin, keras kepala, gak tau diri. Di baikin dikit
pasti langsung ngelunjak, pantes kalo gak ada yang suka sama lo!” ketus Boni
sembari menempeleng kepala Anna.
Beberapa
orang di kelas Anna hanya melihat dan mendengarkan ucapan Boni dan seolah
mengamini apa yang ia katakan. Mereka juga benci pada Anna yang berasal dari
kelas bawah lalu langsung memotong arus dan mendekati Bian. Sementara mereka
yang dari keluarga terpandang tak bisa dekat dengan Bian, jangankan dekat
sebatas menyapa saja sulit rasanya.
“Kenapa?
Nangis lu?” Boni kembali memukul kepala Anna dengan buku paket yang ada di
sampingnya.
Anna
memegang kepalanya sembari menatap Boni dengan airmata yang sudah berlinangan.
Bian memang kasar dan sering ketus padanya. Tapi bahkan Bian tak pernah
memukulnya dan sengaja mempermalukannya begini.
“Sorry,
kepalamu keras banget ku kira gak kerasa!” ucap Boni lalu keluar dari kelas
Anna. “Bian!” kaget Boni yang melihat Bian datang sendiri untuk mencari Anna.
Boni sudah
langsung keringat dingin khawatir jika apa yang ia lakukan tadi pada Anna
terlebih semua orang juga melihat apa yang ia lakukan. Boni begitu merasa
menyesal sekarang, padahal ia hanya perlu menunggu Anna sebentar dan tak perlu
marah hingga meluapkan segala kekesalannya. Toh jika Boni pikir kembali
meskipun Anna menyebalkan tapi ia juga tak cukup kuat untuk melawan Bian hingga
mau jadi pesuruhnya.
“Kamu
kenapa?” tanya Bian yang melihat Anna berlinangan airmata dengan khawatir dan
emosi yang sudah langsung tersulut.
Semua orang
langsung hening begitu Bian bertanya pada Anna. Semua deg-degan menunggu
jawaban Anna yang punya kesempatan emas untuk menghancurkan Boni.
“Perutku
masih sakit, Bi. Keram lagi,” jawab Anna menutupi apa yang Boni lakukan sembari
menggenggam tangan Bian menariknya untuk duduk bersamanya.
“Ish! Kamu
sih disuruh minum obat ngeyel!” omel Bian yang mengkhawatirkan Anna.
Anna
mengangguk lalu memejamkan matanya sebelum ia jatuh pingsan karena kepalanya
yang terasa begitu pusing setelah Boni memukulnya dengan keras barusan.
***
Boni
benar-benar di hantui rasa bersalah dan rasa takut atas pembalasan Bian. Entah
apa yang akan Bian lakukan nantinya jika tau Boni memukul dan memaki Anna.
Belum lagi ia hanya seorang OKB yang masuk kedalam sekolah elit ini.
Boni
melihat di kejauhan masih banyak orang yang mengerubungi UKS. Mungkin memang
Anna tidak melapor pada Bian, tapi ia juga tak bisa memastikan kalau tak ada
penjilat lain yang akan melapor pada Bian. Jefri teman satu geng Bian
menatapnya dengan senyum yang sudah tersungging di sudut bibirnya. Jefri sudah
tau jika Boni adalah tersangka utama saat ini.
Tapi Bian
masih belum melakukan pergerakan apapun. Bahkan setelah Anna siuman sekalipun,
masih belum ada tanda-tanda jika Bian akan menghajarnya atau hal lain yang
lebih mengerikan. Bian masih diam dan anteng-anteng saja menemani Anna hingga
bel masuk berbunyi.
Boni
seketika di jauhi teman-temannya. Tak ada yang mau berurusan dan terkena
masalah dengan Bian jika dekat-dekat dengan Boni. Mereka memang ingin dekat
dengan Bian dan masuk kedalam lingkaran pertemanannya tapi tidak dengan
memanfaatkan kejadian ini yang mungkin malah membawa dampak buruk.
“Ijin ke
toilet, Pak!” ucap Boni mencari kesempatan untuk pergi ke UKS menemui Anna.
Anna masih
terbaring lemah lalu menatap Boni yang membuka tirai di UKS.
“Kamu gak
usah khawatir Boni, aku gak bakal ngaduin kamu ke Bian. Aku juga udah bilang ke
Bian buat gak suruh kamu buat manggilin aku. Aku janji Bian gak bakal ganggu
kamu lagi, maaf ya ngerepotin kamu,” lirih Anna lalu memalingkan wajahnya.
Boni
terdiam begitu kaget dengan apa yang Anna katakan. Anna bisa saja
mengadukannya, Anna juga bisa memanfaatkan posisinya yang begitu strategis
untuk menghancurkan hidup orang lain. Tapi Anna memilih tidak.
“Kenapa?”
hanya kata-kata itu yang bisa meluncur dari mulut Boni.
“Bentar
lagi kita lulus, kamu pengen banget jadi atlet basket. Aku gak mau perjalananmu
sia-sia cuma karena aku.”
Boni merasa
begitu tertampar dengan jawaban Anna. Anna jauh lebih baik daripada yang ia
kira. Ia benar-benar tak menyangka Anna memilih untuk melindunginya disaat
banyak orang yang ingin menjatuhkannya sejatuh-jatuhnya.
“Maaf…”
“Sana balik
ke kelas,” usir Anna yang tak mau berlama-lama bersama Boni lalu meringkuk
sambil memegangi selimutnya.
Boni berjalan keluar dari UKS menuju kelasnya. Ia merasa begitu malu sekarang. Anna bahkan masih memikirkan nasipnya disaat banyak orang berharap ia akan hancur dan terpuruk.
0 comments