0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 24 – Pemakaman

Bab 24 – Pemakaman-1 

Bian datang ke rumah sakit bersama Anna. Anna langsung menangis histeris hingga pingsan begitu melihat Ibunya yang sudah terbujur kaku tak bernyawa di rumah sakit. Anna benar-benar sedih dan merasa sangat kehilangan. Anna benar-benar menyesal sudah melewatkan waktu-waktu terakhirnya bersama Ibunya.

Bian sendiri bingung dengan perasaannya dan bagaimana ia harus bersikap sekarang. Ia bingung harus ikut sedih, membiarkan Anna disini, atau memaksanya pulang lagi. Bian memang dekat dengan Miranda, Bian juga merasakan kehangatan dan kasih sayang yang besar dalam keluarga Anna. Tapi ia juga tidak mengerti apa artinya sedih dan kehilangan. Bian hanya mengerti cara memaksa dan mengekang.

Bian terus ada disisi Anna. Bukan karena ia ingin menenangkan Anna saja, tapi Bian tak ingin memberi kesempatan untuk Anna kabur. Sementara itu Erwin yang melihat banyaknya bekas kiss mark di tubuh Anna yang terlihat seperti bekas memar merasa khawatir pada putrinya yang di monopoli oleh Bian.

“Gapapa biar Anna sendirian,” ucap Erwin sembari menepuk bahu Bian agar ia keluar dari kamar Anna ketika sampai di rumah duka.

“Enggak, aku mau nemenin Anna,” tolak Bian yang tak mau kehilangan Anna.

Bian benar-benar bergelut dengan hatinya sendiri sekarang. Ia tak mengerti kenapa Anna bisa sesedih ini. Apa mungkin semua orang miskin akan begini jika di tinggalkan keluarganya mati, Bian tidak mengerti. Ayahnya dulu juga dekat dengannya, Bian juga menyayanginya, tapi ia tak menangis sehisteris Anna dan Lidia.

Erwin menghela nafas dengan berat. Ia sudah benar-benar kehilangan rasa hormat pada Bian, bahkan cenderung benci padanya. Erwin ingin menjauhkan Bian dari Anna, terlebih setelah beredarnya kabar tentang kedekatan Bian dengan Eve yang semakin santer beredar. Selain itu melihat Anna yang semakin kurus dan sering membolos dalam waktu yang lama membuat Erwin semakin tidak menyukai Bian.

“Turut berduka Om,” ucap Boni yang datang sendiri menemui Erwin. Bekas luka di wajahnya masih tersisa meskipun kondisinya sudah jauh lebih baik.

“Makasih,” ucap Erwin lalu mempersilahkan Boni untuk masuk dan berdoa di dekat peti mati Miranda.

Lidia menatap Boni yang terlihat lebih berandalan dari pada Bian karena bekas lukanya. Tapi Boni terlihat jauh lebih ramah dan sepertinya jauh lebih baik dari Bian. Karena Boni datang sebagai teman biasa dan bukan sebagai kekasih Anna seperti Bian.

“Kamu yang kuat ya,” ucap Boni lalu merangkul Lidia sembari mengusap bahunya.

Bian menatap Boni dengan tajam di kejauhan, tak berselang lama Anna keluar. Tubuhnya kurus berbalut gaun berwarna hitam. Bian terus di sampingnya, sementara Boni jadi merasa iba pada Anna. Boni jadi semakin paham kenapa dulu Anna selalu menunda dan terkesan berusaha menghindari Bian tiap kali ia memanggilnya.

Anna langsung duduk bersama Lidia disamping ibunya yang sudah berisitirahat dengan tenang.

Baca juga Epilog

“Ibu, maaf Anna gak bisa nemenin Ibu. Anna jahat sama Ibu, Anna minta maaf, kita bahkan gak punya foto bareng buat yang terakhir,” Anna benar-benar menyesal, airmatanya juga terus mengalir.

Boni ingin mendekat pada Anna dan menguatkannya, tapi ia tak mau bermasalah kembali dengan Bian di tempat duka. Boni mengalah dan memilih menunggu di luar sendirian. Erwin melihat Boni lalu melihat Bian, ia menyadari ada hubungan rumit yang lebih dari sekedar cinta monyet saat SMA yang ada di antara mereka.

***

Bian melihat banyak pesan dari sekertaris ibunya dan asistennya yang mengirimi Bian berpuluh-puluh pesan. Bian langsung paham jika kini ia benar-benar ada dalam masalah besar. Bian ingin membawa Anna kembali ke apartemennya tapi bahkan Miranda belum di makamkan. Bian benar-benar merasa serba salah dan takut jika Anna ia tinggalkan disana Anna akan pergi meninggalkannya. Atau malah Boni akan mengambil kesempatan itu untuk mendekati Anna dan menjadi pahlawan kesiangan.

Bian tak mau memberikan sedikitpun kesempatan untuk orang lain mendekati kekasihnya. Bian tak mau kehilangan Anna. Tidak untuk segalanya, atau untuk siapapun. Bahkan setelah ucapan Erwin saat pertemuannya dulu di pesta, Bian juga merasa jika Erwin akan mengganggu hubungannya dan layak untuk di singkirkan dengan segala cara.

Bian menemani Anna ke pemakaman, berjalan bersama di belakangnya sementara Erwin merangkul kedua putrinya. Anna kembali menangis histeris lagi sampai ia kembali pingsan karena kondisinya yang tidak fit dan sedang sangat lemah, di tambah belakangan ini intensitas sexnya dengan Bian terbilang jauh lebih tinggi daripada sebelum kehamilannya.

Bian menggendong Anna kembali ke rumah, Lidia ikut menemaninya. Badan Anna benar-benar panas setelah pingsan dan sudah hampir dua hari tidak makan. Tania yang datang kesana juga ikut khawatir dan merawatnya meskipun ia belum pernah bicara atau berkenalan langsung dengan Anna maupun Lidia.

Begitu Anna terlihat mulai sedikit sadar Bian langsung membawa Anna masuk kedalam mobilnya. Tanpa pamit dan tanpa mengatakan apapun. Bian tak mau menunggu Anna sadar dan membuatnya melawan atau paling tidak jadi tertahan oleh Erwin dan Lidia lalu mendapat pengaruh dari mereka. Bian tidak mau mengambil resiko.

“Bi…Aku mau sama Lidia,” lirih Anna yang melihat dirinya sudah ada di dalam mobil.

“Enggak, kita udah mau sampe,” tolak Bian singkat.

Anna kembali menangis. Ia benar-benar marah pada Bian tapi tubuhnya terlalu lemas dan ia juga sudah terlalu frustasi atas segala tekanan yang Bian lakukan padanya. Anna benar-benar tidak kuat lagi dengan Bian.

Baca juga Bab 74 – Hamil

Bian menggendong Anna ke kamar. Bian masih tak memberikan kartu akses pada Anna, lalu langsung menidurkannya dan membuatkan susu untuk Anna. Anna masih menangis ia merasa benar-benar tersiksa bersama Bian.

“Bi…aku gak mau kayak gini. Gara-gara kamu aku ga bisa sama Ibu, aku gak bisa nemenin Ibu bahkan sampe Ibu meninggal, aku juga ga bisa nemenin Lidia, gak bisa sama Ayah juga. Kamu kenapa jahat gini sih? Kenapa kamu jadi kayak monster gini?!” tangis Anna meluapkan amarahnya.

Bian hanya diam. Ia ingin menampar Anna sekarang, tapi Bian teringat ada si kecil yang harus dijaga. Jadi Bian memilih pergi meninggalkan Anna sendirian. Bian langsung pergi menemui Ibunya sebelum semuanya akan semakin rumit. Selama Anna patuh padanya dan mau tetap diam di rumah ia akan baik-baik saja, hanya itu yang ada dalam pikiran Bian.

Anna coba mengejar Bian dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya. Namun baru beberapa langkah ia jauh dari tempat tidurnya perutnya sudah mengalami kram yang sangat hebat hingga ia tak kuat untuk bangun. Darah mulai mengucur keluar dari sela-sela kakinya hingga membasahi lantai. Anna menyentuh kakinya dan melihat banyaknya darah yang sudah mengalir disana. Tubuhnya yang sudah lemas semakin melemah.

Detik itu, Anna menyadari jika janinnya sudah tidak ada di rahimnya lagi. Anna menyadari si kecil yang ia jaga dan ia cintai sudah pergi meninggalkannya. Anna kembali menangis begitu sedih kehilangan Ibu dan janinnya di waktu yang hampir bersamaan.

Anna berusaha mencari bantuan. Telfon di apartemennya sudah tidak terhubung ketika ia mencoba menelfon bagian keamanan atau pengelola. Anna mulai di landa kepanikan, perutnya juga semakin sakit dan darah yang mengalir juga semakin banyak. Namun tiba-tiba suara ponselnya terdengar, ponselnya terjatuh di bawah sofa.

Ada nomer tak di kenal yang menghubunginya. Anna tak sempat membaca pesan yang masuk dan mencari tau siapa yang menghubunginya. Hampir tak ada nomor yang Anna simpan lagi selain Bian dan keluarganya. Jadi jelas jika ada yang menghubunginya ini nomor orang yang pasti Anna kenal.

Anna langsung menelfon nomer tak di kenal itu tanpa pikir panjang. Nomor itu tak menjawab Anna, Anna langsung menelfon Bian dan sama tak mendapat jawaban. Satu dua kali panggilan pada Bian dan Anna sama sekali tak mendapat jawaban. Hingga akhirnya nomor tak di kenal itu menelfon Anna kembali.

“Halo Anna ada apa?” terdengar suara Boni yang mengangkatnya.

“B-Boni…” panggil Anna dengan suara gemetar.

“Iya? Ada apa?” saut Boni sedikit ragu dan enggan berlama-lama berbincang dengan Anna di telfon.

“Tolong aku! Aku di apartemen Bian, aku gak bisa bangun…” ucap Anna lalu menangis antara lega dan menahan sakit juga sedihnya.

“K-kamu kenapa?” tanya Boni panik.

“Aku gak tau, tapi aku berdarah banyak sekali. Tolong aku! Tolong aku!” tangis Anna yang terdengar benar-benar serius meminta pertolongan.

“Tunggu! Jangan panik, aku kesana sekarang!” seru Boni dengan panik lalu mematikan telfonnya.

Anna menangis sendirian di dalam apartemen mewah milik Bian. Darahnya berceceran di lantai bajunya juga sudah kotor berlumur darah. Tak berselang lama Boni datang bersama petugas keamanan dan pihak pengelola apartemen yang meragukannya.

“Anna!” panggil Boni tapi Anna sudah terlalu lemah untuk menjawabnya.

Pengelola apartemen langsung memanggil ambulance sementara petugas keamanan langsung mengabari keluarga Griffin yang terdata sebagai pemilik apartemen.


74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share