Bab 66 – Box Makanan
Bian
menemani Anna belanja bersama kedua anak-anaknya. Bian menikmati waktunya
bersama Anna dan kedua anaknya. Persetan darimana anak itu berasal, bagi Bian
selama Anna yang melahirkan itu juga terhitung sebagai anaknya. Bian
berkeliling supermarket seperti dulu lagi bersama Anna. mengambil barang-barang
yang dulu menjadi kesukaannya. Bian seperti sedang bernostalgia bersama Anna
kembali.
“Nanti mau
makan di luar apa masak?” tanya Bian sembari memberikan beberapa jajanan yang
di tunjuk Hana.
“Dirumah
aja, aku masih ada lauk kok. Tadi juga udah masak nasi kan. Sayang kalo gak
kemakan,” jawab Anna lalu memasukkan beberapa ciki lagi ketrolinya. “Ini
Vincent suka nih,” ucap Anna lalu berjinjit untuk mengambil beberapa cemilan
lagi.
“Aku mana?”
tanya Gio yang cemburu tidak di ambilkan kesukaannya.
“Kalo Kakak
Gio kan sukanya pisang, nanti lah disana,” jawab Anna yang membuat Gio
tersenyum senang. “Mama inget juga lah kesukaan Kakak.”
Bian
benar-benar tak sabar untuk segera memiliki Anna seutuhnya. Bian kembali
mendorong trolinya mengikuti langkah Anna. Anna memasukkan beberapa daging
kedalam keranjangnya.
“Banyaknya!”
seru Gio.
“Iya ini
kesukaan Papa Bian, biar gak kayak kambing,” jawab Anna sedikit menyindir Bian.
Bian
tertawa kecil mendengarnya.
“Mama tau
semuanya ya,” puji Gio lalu memasukkan pisang kesukaannya dan beberapa brokoli
yang jadi sayuran favoritnya lalu memilih wortel bersama-sama sebelum
menimbangnya.
“Es?” tawar
Bian pada Gio.
Gio
langsung menggeleng setelah melihat banyaknya belanjaannya. “Udah banyak
belanjanya.”
“Gapapa,
ada Papa. Mau apa ambil aja, Nak.” Bian memasukkan ice cream besar yang ada di
sana.
Gio tak
bisa menyembunyikan senyum senangnya ketika Bian membelikan ice cream. Hana
juga ikut senang. Bian jadi teringat pada Vincent, kalau saja ia tak berbuat
nakal pasti sekarang ia sedang bersenang-senang bersama Gio sekarang.
***
Bian
menikmati makan malam bersama Anna dengan hangat, tidak makan di meja makan
lagi seperti sebelumnya. Kali ini ia menikmati makannya di ruang tengah duduk
di karpet sembari menonton TV dan menyuapi Hana. Keluarga kecil yang sudah lama
Bian rindukan akhirnya bisa kembali ia dapatkan.
“Gak suka
Pa?” tanya Anna pada Bian yang terus memperhatikannya yang sedang mengurus
Hana.
“Eh? Kamu
tadi panggil aku apa?” kaget Bian yang merasa salah dengar karena Anna
memanggilnya Pa seperti anak-anak mereka.
“Papa,
Papanya Vincent,” jawab Anna memperjelas ucapannya lalu hendak mengambilkan
menu lain untuk Bian.
“Gak! Aku
suka!” tahan Bian sembari menggenggam tangan Anna. “Aku suka masakanmu,” ucap
Bian agar Anna tak perlu repot mengalah untuknya seperti dulu lagi.
Anna
kembali duduk menyelesaikan suapannya pada Hana sebelum ia makan untuk dirinya
sendiri bergantian dengan Bian. Bian juga langsung memposisikan diri sebagai
ayah untuk Hana dan Gio. Bian juga membantu mengurus beberapa pekerjaan rumah
seperti mengganti bolam lampu sampai membuang sampah ke bawah selayaknya suami
yang membantu istrinya di rumah.
“Kalo ada
Vin pasti senang, bisa bareng-bareng gini ya…” ucap Gio yang sudah kembali
memikirkan Vincent.
Bian
terdiam mendengar ucapan Gio. Ia jadi benar-benar merindukan putranya itu. Bian
jadi khawatir pada Vincent setelah bertemu dengan Eve nantinya.
***
Vincent
menangis mencari neneknya. Melania sedang rapat tepat ketika Vincent berlari
mencarinya. Vincent tak banyak bicara dan hanya memeluk kaki neneknya saja
sambil menangis. Beruntung ia datang tepat ketika rapat usai. Kepala pelayan
mengambilkan kursi untuk Vincent, Melania mendudukkannya di kursinya lalu
menunggu sampai Vincent cukup tenang untuk bicara dengannya.
“Kenapa?”
tanya Melania dengan tenang.
“Aku tadi
ketempat Kakak Gio, terus Papa bilang kalo mau menikah sama Mama Anna. Aku
sedih, aku kasian sama Mamaku terus aku marah. Aku dorong Mama Anna. Papa marah
terus aku di bawa ke rumah Mamaku.” Melania mengangkat alisnya mendengar
penjelasan Vincent.
“Terus?”
“Aku ke
rumah Mamaku, tapi aku di usir. Mama benci wajahku. Mama menyesal lahirin aku,
aku sedih!” tangis Vincent kembali pecah.
Melania
menghela nafasnya dengan berat. Ia bahkan tak pernah berkata sebegitu kejamnya
pada Bian. Bagaimana bisa Eve berkata seperti itu pada cucunya.
“Papa
kemana?” tanya Melania.
Vincent
menggeleng. “Papa pergi habis antar aku, Papa juga marah sama aku sekarang!”
tangis Vincent dengan nafas tersengal.
Melania
memeluk cucunya setelah melihat Vincent kesulitan bernafas karena menangis
sambil berbicara. Bahkan Melania yang begitu dingin dan jarang menggunakan
perasaannya kini mulai mampu sedikit bersimpati dan menaruh rasa iba untuk
cucunya.
“Vin!”
terdengar suara Bian yang baru pulang mencari anaknya.
“Papa!”
seru Vincent yang berlari menuju papanya sambil menangis.
Bian
langsung mendekapnya dan menggendongnya. “Nih tadi Mama Anna bikinin masakan
kesukaanmu,” ucap Bian menunjukkan box makanan yang ia bawa dari apartemen
Anna.
Vincent
mengangguk sambil menangis. Ia jadi merasa semakin bersalah dan seperti menjadi
penjahat karena sudah begitu kasar pada Anna, sementara Anna masih
memikirkannya dan ingat makanan kesukaannya. Vincent jadi semakin menyesal
ketika membuka box makanannya yang benar-benar berisi makanan kesukaannya. Anna
yang sudah ia bentak dan ia dorong masih mengingatnya begitu berbeda dengan
mamanya.
“Besok kamu
minta maaf sama Mama Anna,” ucap Bian sembari menemani Vincent yang dari tadi
memandangi makanan pembarian Anna.
Vincent
mengangguk lalu terlihat murung dan penuh penyesalan. “Pa, kenapa Mama tidak
sayang aku?” tanya Vincent sedih.
“Mama Anna
sayang kamu, tuh tetep di bikinin makanan kesukaanmu. Tidak marah,” ucap Bian.
“Bukan,
Mamaku maksudnya.”
Bian
menghela nafas lalu tersenyum, Bian hanya mengelus kepala Vincent lalu beranjak
dari duduknya. “Kita gak bisa maksa gimana sikap orang lain, kalo Mamamu kayak
gitu yasudah gak usah di paksa buat sayang. Kan ada Mama Anna yang baik, sama
Mama Anna aja.”
“Tapi dia
bukan Mamaku,” bantah Vincent tapi Bian sudah enggan menanggapinya lagi.