Bab 31 – Dunia Bian
Setelah
pergulatan yang begitu panas dengan segala kemanjaan Bian, sejak saat itu Eve
resmi masuk kedalam dunia Bian. Dimana ia hanya boleh memprioritaskan Bian
diatas segalanya. Benar-benar hanya Bian dan Bian saja. Bian mulai menarik Eve
secara perlahan dalam kekangannya. Bukan karena Bian ingin menggantikan posisi
Eve dengan Anna saja, tapi Bian ingin Eve tidak mengekangnya seperti cara
Ibunya yang begitu keras memperlakukannya.
Bian masuk
ke kamarnya kembali tepat setelah Eve selesai mandi. Ia membawakan sup ayam
untuk Eve. Eve terlihat sedikit tertati,
sepertinya ia masih kesakitan dan Bian memakluminya. Meskipun jujur saja ia
tetap menginginkan Anna.
“K-Kak
Bian…” lirih Eve ketika Bian menggendongnya kembali ke tempat tidur.
“Harusnya
kalo masih sakit bilang,” ucap Bian. “Kamu ini suka curiga ke aku, tapi kamu
sendiri yang suka nyembunyiin sesuatu dari aku.”
Eve
tersenyum mendengar sindiran Bian yang begitu menohok. Bian terus menyudutkan
Eve dengan caranya sendiri yang membuat Eve terus di selimuti rasa bersalah.
“Mau di
suapin?” tawar Bian sambil mengambil meja kecil untuk diletakkan di atas
pangkuan Eve sebelum makan.
Eve belum
memutuskan bahkan juga belum menjawab, Bian sudah mulai menyuapinya.
Menyendokkan potongan ayam lalu meniupnya dengan hati-hati sebelum
menyuapkannya pada Eve. Eve di buat benar-benar melayang dan semakin jatuh
cinta pada Bian yang semakin terlihat sempurna di matanya.
Hilang
sudah figur Bian yang kasar dan ketus padanya, hilang sudah trauma Eve yang
sedih karena sikap dingin dan acuh Bian. Semuanya berganti dengan kehangatan,
kemanjaan dan keromantisan Bian. Bian benar-benar menawan seperti yang Eve
harapkan, bahkan melampaui ekspektasinya.
“Besok aku
kembali ke Swis,” ucap Bian lalu kembali menyendokkan makanan dan meniupkannya
untuk Eve. “Padahal aku udah bikin kamu sakit, tapi aku ga bisa nemenin kamu.
Maaf ya…” lirih Bian sambil menyuapi Eve.
Eve mengangguk
ia merasa sedih tak bisa menghabiskan lebih banyak waktu bersama Bian. Eve
menyesal seharusnya sebelumnya ia tidak terlalu mementingkan egonya dan
bertengkar dengan Bian. Harusnya ia mau sedikit bersabar. Eve benar-benar
menyesal sekarang ia jadi kehilangan banyak waktu yang seharusnya ia habiskan
bersama Bian untuk marah saja.
Usai makan
Eve yang semula ingin langsung pulang memutuskan untuk menginap bersama Bian.
Ia ingin lebih banyak mengobrol dengan calon suaminya itu. Eve ingin lebih
dekat lagi dengan Bian, lebih dan lebih lagi.
“Boleh aku
menginap?” tanya Eve.
Bian
langsung mengangguk dengan senyum sumringahnya. “Tentu!” jawab Bian semangat.
“Kita bisa tidur di kamar sebelah, biar kamar ini di bersihkan.”
Eve
mengangguk. Tak selang lama setelah ia selesai makan. Bian menggendongnya ke
kamar sebelah seperti ucapannya. Bian juga mengambilkan piama panjang agar Eve
lebih nyaman.
“Ku kira
Kak Bian liburannya bisa sedikit lebih lama,” ucap Eve lembut lalu menyalakan
TV.
Bian
mengangguk. “Aku lelah sengan semua persiapan pertunangan kita, Eve. Aku ingin
menenangkan diriku,” jawab Bian lalu memeluk Eve sembari mengecup keningnya
dengan lembut. “Aku akan menyetujui semua yang kamu pilih. Melelahkan untuk
terlalu banyak memilih pakaian.”
Eve
mengangguk lalu mengecup bibir Bian dengan malu-malu. Bian sedikit kaget lalu
tersenyum melihat Eve yang berani bertingkah sedikit agresif. Bian kembali
memeluk Eve, perasaannya masih kalang kabut tapi Bian masih ingin mencoba
memulai lembaran hidup barunya bersama Eve.
“Eve…”
lirih Bian lalu merubah posisinya menjadi terlentang.
“Iya Kak?”
saut Eve.
Bian
menggeleng pelan lalu menggenggam tangan Eve. Ia masih merindukan Anna. Bahkan
setelah semuanya Bian masih merasa kalau ia bersalah sudah mengkhianati Anna
dengan bercinta barusan. Padahal Bian juga tau jika Anna malah sudah menjalin
hubungan yang serius dengan Boni.
“Boleh aku
pergi party?” tanya Bian.
Eve
mengangguk. “Pergilah bersenang-senang, kalo Kak Bian mau bersenang-senang.
Tidak masalah.” Eve sudah lebih bijak sekarang.
Bian
menatap Eve. “Kamu juga boleh bersenang-senang Eve. Kita punya kehidupan, tidak
perlu ada yang berubah,” ucap Bian lalu menatap Eve.
Eve
mengangguk lalu tersenyum. Sudah lama Eve menantikan Bian yang menyejukkan dan
penuh kasih sayang seperti ini. Eve tak merasa menyesal sedikitpun sudah
memberikan keperawanannya pada Bian. Eve merasa apa yang ia dapatkan setelahnya
benar-benar sepadan.
***
Anna dan
Lidia menginap di rumah keluarga El-baz. Keduanya di sambut dengan hangat dan
benar-benar di perlakukan selayaknya keluarga sendiri oleh Devi dan Mano. Boni
sesekali datang ke kamar Anna tapi sama sekali tidak memonopolinya seperti
Bian. Benar-benar Anna bisa menikmati waktunya.
“Kasian
cewekku tangannya sakit gais!” ucap Boni membuat vlog. “Doain biar Anna cepet
sembuh ya,” lanjut Boni.
Anna
melambaikan tangannya sambil tersenyum.
“Ini
adekku, Lidia. Keren dia gais, bikin komik. Kalian dukung komik bikinannya ya,
linknya ada di deskripsi box!” ucap Boni sembari menyoroti Lidia.
Lidia juga
sama cerianya seperti Anna. Lalu Lidia mengambil alih kamera yang dibawa Boni
untuk menunjukkan gambarannya juga menunjukkan kegiatan Boni dan Anna yang
romantis dan menyenangkan. Konten yang Boni buat bersama Anna memang bukan
konten yang berat, benar-benar hanya keseharian mereka saja sebagai pasangan
dan keluarga. Sebatas makan, liburan, memasak, atau mempromosikan apapun yang
sedang mereka kerjakan secara sepontan.
“Ini
tumisan bikinan Ibu enak,” ucap Anna memuji masakan calon mertuanya.
Boni
tersenyum lalu ikut makan bersama Anna. “Harusnya kamu di suapin, kamu malah
nyuapin aku,” ucap Boni lalu di tertawakan Anna dan dan Lidia.
“Eh! Si
Boni gimana di suruh jagain Anna malah Anna yang jagain kamu!” ucap Devi yang
masuk ke kamar tamu yang Anna tempati sementara waktu membawakan potongan buah
peach.
Boni hanya
meringis lalu gantian menyuapi Anna. Tapi tak berselang lama Devi sudah ikut
bergabung dalam obrolan bersama Anna dan Lidia. Membahas soal kesehatan juga
membahas soal pesta pertunangan mereka.
“Semoga
bisa cepat sembuh. Kasian anak Ibu,” ucap Devi sambil memeluk Anna juga Lidia.
Devi sangat
menyayangi calon menantunya. Bukan hanya karena bobot, bibit, bebet yang bagus
saja. Tapi Anna dan Lidia adalah figur yang ideal baginya. Boni sendiri juga
tak banyak menceritakan apapun soal Anna dan menyembunyikan rapat-rapat soal
masalalu Anna bersama Bian.
Flash
Back
Boni duduk
di samping Anna setelah beberapa kali menemaninya melakukan cek up rutin
terkait kesehatannya setelah keguguran. Memang Erwin tak memintanya, Anna apa
lagi. Tapi Boni yang memang ingin melakukannya sendiri untuk Anna.
“Boni aku
mau sendiri saja…” lirih Anna.
“Kenapa?
Apa kamu ga nyaman kalo aku temenin?” tanya Boni.
Anna
menggeleng pelan. “Aku ngerepotin kamu terus, aku gak enak hati, aku malu…”
Boni
tersenyum lalu menggenggam tangan Anna. Anna begitu pucat dan kurus, jemarinya
lentik dan kulitnya halus. Boni suka Anna, atas apapun yang Anna lalui Boni
juga mau menerimanya.
“Malu
kenapa? Karena kamu keguguran? Udah gak perawan? Kamu anaknya Pak Erwin?” tanya
Boni.
“Aku bukan
wanita baik-baik, kamu baik ke aku pasti ada maksud. Aku merasa terlalu kotor
buat kamu Boni.”
Boni
tersenyum mendengar ucapan Anna. “Bahkan aku belum menyatakan perasaanku saja
aku sudah di tolak, menyedihkan sekali…”
Anna
menatap Boni, Anna tidak bermaksud menyakiti perasaan Boni.
“Ayo kita
sembunyikan semuanya. Semua masalalumu dengan Bian. Tidak perlu ada yang tau,
tidak perlu di bicarakan. Ayo memulai lembaran baru denganku. Tidak usah
memikirkan soal Bian, setelah kamu sembuh aku menganggapmu suci kembali, kamu
tetap perawan yang belum pernah di jamah bagiku. Lupakan Bian, lupakan
masalalumu,” ucap Boni menggebu-gebu ia benar-benar ingin membantu dan menjaga
Anna untuk memulai lembaran baru dengannya.
Anna
tertegun mendengar ucapan Boni. Ia sangat kotor dan Boni mau menerimanya dengan
begitu lapang dada.
“Bian
memang begitu, dulu ku kira kamu menikmati semua yang dia lakukan padamu.
Menyuruhku memanggilmu, membelikanmu minuman, ku kira kamu menyukai apa yang
Bian lakukan selama ini. Aku tidak tau kamu menjalani hari yang lebih sulit
daripada aku. Aku masih bisa pergi ke tempat lain setelah sekolah dan meluapkan
kekesalanku. Tapi kamu…lihat badanmu. Kamu seperti hamba sahaya[1]!”
Anna
meneteskan airmatanya, Anna tidak paham kenapa Boni bisa begitu baik padanya.
Bahkan setelah apa yang ia lalui dan Anna yang tak pernah membela Boni, dulu
saat Bian menindasnya. Kini Boni malah menjadi orang yang membelanya di garda
terdepan.
“Bian terus
mengekangmu, kan? Kamu di paksa mengikutinya, kan? Bahkan setelah semua yang
kamu korbankan, Bian tidak pernah sekalipun mengenalkanmu pada keluarganya.
Bian juga tidak pernah mengajakmu mendatangi pesta. Anna…itu bukan menjaga
privasi. Tapi kamu tak dianggap apapun selama ini.”
Anna mulai
terisak, ia teringat atas segala mimpinya yang langsung terjegal oleh Bian
dengan segala arogansinya. Boni memeluk Anna, Anna menangis tersedu-sedu dalam
pelukan Boni.
“Lupakan
pria jahat itu, ayo memulai semuanya lagi bersamaku. Semuanya belum terlambat,
tidak ada yang tau soal ini semua,” bujuk Boni.
Anna
mengangguk setuju meskipun Anna juga tak yakin apakah mimpinya masih bisa ia
kejar. Apakah ia benar-benar memiliki kesempatan untuk kembali membuka lembaran
baru lagi.
“Aku
takut…” lirih Anna.
“Ayo kita
memulai ditempat kita yang seharusnya. Ayo menjauh dari orang-orang kelas atas
itu, ayo kita hidup apa adanya. Tanpa pesta fancy, tanpa status sosial
yang ketat, tanpa kekangan Bian lagi.”
“Boni… aku
takut Bian menyeretku lagi!”
“Aku akan
menjagamu, sekuat tenaga, dengan segala yang aku miliki, dengan jiwa dan
ragaku.”
End
Flash Back
Anna
mendengarkan rencana pesta yang Devi sampaikan. Anna ingin pesta yang kecil dan
sederhana saja. Hanya di hadiri keluarga inti saja tidak perlu di buat begitu
besar.
“Ibu, kalo
pestanya sederhana saja gimana?” tanya Anna.
Devi
menghela nafas. “Apa temen-temen dulu masih suka bully kalian?”
Anna
menatap Boni lalu menundukkan pandangannya. Devi geleng-geleng kepala, ia
benar-benar tak habis pikir dengan anak-anak keluarga kelas atas yang begitu
arogan ini.
“Iya, tidak
masalah. Selama anak-anak Ibu seneng, gapapa. Yang penting kalian gak di ganggu
lagi,” Devi akhirnya berbesar hati menerima keadaan. “Padahal kita sudah kaya,
ternyata yang lebih kaya kelakuannya tetap buruk. Seperti binatang!” kesal Devi
yang hanya bisa mengutuk orang-orang yang berbuat jahat pada anak-anaknya.