Bab 10 – Pesta Jager
Boni datang
ke pesta keluarga Jager. Boni tak begitu di perhitungkan di dalam pesta. Semua
mendekati Bian dan gengnya. Tapi keluarganya bisa mendapat undangan pesta ini
saja sudah bagus. Sudah membuktikan kalau sekarang posisinya mulai naik dan
lebih dari sekedar OKB.
Bian
terlihat datang bersama Eve, keduanya terlihat serasi dan sama bersinarnya.
Boni jadi semakin iba dengan Anna yang selalu bersembunyi atau lebih tepatnya
disembunyikan oleh Bian. Kadang memang Bian dan Anna terlihat seperti pasangan
yang ideal, Bian juga terlihat sangat posesif pada Anna. Tapi saat ia bersama Eve,
Bian juga terlihat seperti pasangan sungguhan.
Eve
tersenyum pada Boni, menyapanya dengan ramah sebelum berlalu menyapa yang
lainnya. Boni sedikit terkesima karena Eve mengenalnya dan masih mengingatnya
meskipun pertemuan pertamanya dengan Eve sama sekali tak berbicara sedikitpun.
Eve terlihat bersinar dan menjadi tokoh utama di setiap kehadirannya, bahkan
Bian yang datang bersamanya terlihat seolah ia yang menumpang pada ketenaran
Eve.
“Kamu gak
sapa temenmu?” lirih Eve pada Bian.
“Siapa?”
tanya Bian bingung.
“Boni
El-baz,” jawab Eve sembari menggenggam tangan Bian.
Bian hanya
menyunggingkan senyum mengejek di sudut bibirnya. “OKB itu bukan temanku,”
jawabnya yang cukup jelas terdengar di telinga Boni.
Boni
memalingkan pandangannya. Mungkin ia memang jadi idola semua orang dan selalu
di elu-elukan jika ada di luar sekolah, tapi disini, di hadapan Bian dan yang
lainnya ia tak lebih dari sekedar jongos dan pesuruh saja.
“Boni!”
sapa Erwin dengan ramah lalu menyalimi Boni dan merangkulnya dengan akrab.
“Sayang, ini Boni. Temannya anakku Anna yang ku ceritakan kemarin,” ucap Erwin
dengan bangga mengenalkan Boni pada Tania, istrinya.
Boni
tersenyum sumringah setelah sekian lama diam akhirnya ada yang menyapanya
dengan begitu hangat. Boni jadi merasa semakin bersalah pada Anna, disaat
bersamaan juga ia jadi paham kenapa Bian begitu terikat pada Anna. Anna lebih
dari sekedar gadis polos yang berbicara dengan lembut, Anna lebih dari yang
Boni dan semua orang bayangkan soal dirinya.
“Ah,
ngapain jadi mikirin Anna mulu!” gumam Boni sembari menggelengkan kepalanya
pelan.
“Kenapa
Boni?” tanya Erwin yang merasa mendengar sesuatu.
Boni
langsung menggeleng. “Enggak, Pak!” gugup Boni.
***
“Liat si
Boni udah mulai ngejilat pejabat,” bisik Jefri pada Bian.
Bian hanya
menatapnya sekilas lalu tersenyum mengejek namun ia langsung fokus kembali pada
ponselnya. Berharap ada chat masuk dari Anna. Bian jadi benar-benar takut dan
khawatir jika Anna berpaling darinya sungguhan.
“Kak Bian…”
“Sebentar,”
sela Bian sembari pelan-pelan menjauh dari keramaian untuk menelfon Anna
berkali-kali. “Na angkat! Angkat!” geram Bian kesal karena Anna terus saja tak
menjawab panggilan telfonnya.
Bian
semakin khawatir dan kelabakan, pikirannya jadi kacau sendiri dan sudah
memikirkan segala kemungkinan buruk. Ia benar-benar tak bisa tenang sekarang
hingga rasanya dadanya begitu sesak.
“Kak Bian
mau kemana?” tanya Eve yang melihat Bian terburu-buru pergi.
“A-ada
urusan…” jawab Bian dengan nafas yang mulai tersengal-sengal berlari keluar
meninggalkan pesta begitu saja.
“Kambuh
kayaknya si Bian,” ucap Artur teman satu geng Bian yang paham kenapa Bian
begitu terengah-engah.
“Kambuh?”
tanya Eve bingung.
Jefri
mengangguk.
“Bian ada
gangguan kecemasan,” jawab Artur menjelaskan.
Jefri
kembali mengangguk menyetujui jawaban Artur.
“Oh
begitu…” jawab Eve pelan sembari mengangguk dan tersenyum canggung.
“Kalo kamu
pengen tau sesuatu soal Bian, tanya ke kita aja. Kita udah bareng sama tu bayi
gede sejak TK,” imbuh Jefri yang kini gantian di angguki Artur.
Eve
langsung tersenyum sumringah. Akhirnya jalannya untuk bisa dekat dengan Bian
semakin terbuka lebar.
***
“Anna!”
teriak Bian begitu sampai di rumah kediaman Miranda.
Rumah itu
kosong, Bian kembali mencoba menelfon Anna. Tapi dering ponsel Anna terdengar
di dari tas yang tergeletak di lantai. Lemas sudah Bian disana.
Bian sudah
membayangkan jika Anna di culik atau di rampok. Tapi ia tak melihat adanya
tanda-tanda bahaya. Bahkan semua barang berharga termasuk mobil juga ada
disana.
“Anna kamu
kemana,” lirih Bian yang mulai merengek.
“Kak Bian!”
pekik Lidia kaget melihat Bian yang ada didalam rumahnya dan sudah berlinangan
airmata. “Kak Bian ngapain nangis disini?” tanya Lidia yang jadi panik karena
melihat Bian menangis sesenggukan di rumahnya.
“Aku
nyariin kalian!” jawab Bian berusaha tenang.
Lidia
tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak melihat Bian yang seperti anak kecil.
“Ayo ikut
ke rumah sakit, Kak Anna tadi buru-buru jadi tasnya ketinggalan,” ucap Lidia
yang datang naik ojek.
“Ngapain di
rumah sakit?” tanya Bian dengan suara yang masih bergetar.
“Ibu
kepleset di kamar mandi…” jawab Lidia yang kembali murung dan teringat pada
masalahnya.
Bian
mengangguk lalu pergi ke mobilnya bersama Lidia. “Aku panik Kakakmu ga bisa di
telfon, sampe rumah gak ada orang,” ucap Bian.
“Iya tadi
kita buru-buru bange, untung Kak Anna pulang jadi ada yang bantuin,” ucap
Lidia.
Bian jadi
bingung harus apa sekarang. Ia menginginkan Anna, tapi disisi lain keluarganya
juga membutuhkan Anna. Bian tidak mau egois, tapi jika ia tak bisa mengontrol
kekasihnya itu ia juga tidak bisa tenang.
“Terus Ibu
gimana keadaannya?” tanya Bian sembari menyetir ke rumah sakit.
“Tadi udah
sadar tapi belum ngomong apa-apa, Kak Anna disana sendirian nemenin Ibu,” jawab
Lidia sembari menghela nafas. “Aku takut ibu kenapa-napa, aku khawatir,” ucap
Lidia dengan mata berkaca-kaca.
Bian
mengangguk paham. Ia juga sedang khawatir sekarang.
“Bunga,”
ucap Lidia yang melihat ada buket bunga di jok belakang.
“Iya bunga,
buat Kak Anna,” jawab Bian singkat.
“Bagus,”
puji Lidia yang hanya di senyumi Bian.
Begitu
sampai di rumah sakit Anna terlihat begitu terpukul dan hanya bisa diam dengan
pandangannya yang kosong. Ibunya yang sempat sadar sekarang koma. Air matanya
terus mengalir tanpa bersuara. Lidia langsung memeluk Anna, lalu Bian ikut
memeluk kedua perempuan itu.
“Bi, aku
takut,” lirih Anna yang terlihat sangat sedih sembari memeluk Bian.
“Tenang Na,
semuanya bakal baik-baik saja. Aku bakal berusaha kasih yang terbaik,” ucap
Bian lalu menelfon sekertarisnya tak selang lama direktur rumah sakit datang
menemui Bian.
Bian
langsung pergi menemui direktur rumah sakit yang langsung menjelaskan soal
pengobatan dan kondisi Miranda. Pihak rumah sakit yang semula mengira Miranda
hanya pasien biasa kini langsung membawanya ke fasilitas terbaik. Anna masih
duduk lemas di ruang tunggu, berusaha kuat untuk Lidia yang kini ikut sedih
juga.
“Makasih
Bi, kalo gak ada kamu aku gak tau harus gimana,” lirih Anna sembari menciumi
tangan Bian.
Bian
tersenyum lembut. Amarahnya hilang menguap begitu saja. Kekhawatiran dan
ketakutannya soal Anna yang mungkin meninggalkannya juga hilang begitu saja.
Bian jadi sedikit malu sudah berpikir berlebihan soal Anna. Sementara Anna dan
Lidia kini sedang saling menguatkan.
“Sayang,
aku disini sampe Ibu sehat boleh kan?” tanya Anna dengan suara bergetar meminta
ijin pada Bian.
Bian terdiam sejenak lalu ia melihat Lidia yang menatapnya penuh harap. Bian mengangguk pelan. “Boleh, sampe Ibu pulang ya,” ucap Bian yang di angguki Anna meskipun ia sedikit ragu apakah pilihannya untuk mengijinkan Anna ini sudah tepat. Tapi saat Bian pikirkan kembali, jika ia memaksa Anna untuk bersamanya disaat seperti ini Anna pasti juga akan terus menangis dan tidak bisa tenang juga.