0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 10 – Pesta Jager

Bab 10 – Pesta Jager-1

Boni datang ke pesta keluarga Jager. Boni tak begitu di perhitungkan di dalam pesta. Semua mendekati Bian dan gengnya. Tapi keluarganya bisa mendapat undangan pesta ini saja sudah bagus. Sudah membuktikan kalau sekarang posisinya mulai naik dan lebih dari sekedar OKB.

Bian terlihat datang bersama Eve, keduanya terlihat serasi dan sama bersinarnya. Boni jadi semakin iba dengan Anna yang selalu bersembunyi atau lebih tepatnya disembunyikan oleh Bian. Kadang memang Bian dan Anna terlihat seperti pasangan yang ideal, Bian juga terlihat sangat posesif pada Anna. Tapi saat ia bersama Eve, Bian juga terlihat seperti pasangan sungguhan.

Eve tersenyum pada Boni, menyapanya dengan ramah sebelum berlalu menyapa yang lainnya. Boni sedikit terkesima karena Eve mengenalnya dan masih mengingatnya meskipun pertemuan pertamanya dengan Eve sama sekali tak berbicara sedikitpun. Eve terlihat bersinar dan menjadi tokoh utama di setiap kehadirannya, bahkan Bian yang datang bersamanya terlihat seolah ia yang menumpang pada ketenaran Eve.

“Kamu gak sapa temenmu?” lirih Eve pada Bian.

“Siapa?” tanya Bian bingung.

“Boni El-baz,” jawab Eve sembari menggenggam tangan Bian.

Bian hanya menyunggingkan senyum mengejek di sudut bibirnya. “OKB itu bukan temanku,” jawabnya yang cukup jelas terdengar di telinga Boni.

Boni memalingkan pandangannya. Mungkin ia memang jadi idola semua orang dan selalu di elu-elukan jika ada di luar sekolah, tapi disini, di hadapan Bian dan yang lainnya ia tak lebih dari sekedar jongos dan pesuruh saja.

“Boni!” sapa Erwin dengan ramah lalu menyalimi Boni dan merangkulnya dengan akrab. “Sayang, ini Boni. Temannya anakku Anna yang ku ceritakan kemarin,” ucap Erwin dengan bangga mengenalkan Boni pada Tania, istrinya.

Boni tersenyum sumringah setelah sekian lama diam akhirnya ada yang menyapanya dengan begitu hangat. Boni jadi merasa semakin bersalah pada Anna, disaat bersamaan juga ia jadi paham kenapa Bian begitu terikat pada Anna. Anna lebih dari sekedar gadis polos yang berbicara dengan lembut, Anna lebih dari yang Boni dan semua orang bayangkan soal dirinya.

“Ah, ngapain jadi mikirin Anna mulu!” gumam Boni sembari menggelengkan kepalanya pelan.

“Kenapa Boni?” tanya Erwin yang merasa mendengar sesuatu.

Boni langsung menggeleng. “Enggak, Pak!” gugup Boni.

***

“Liat si Boni udah mulai ngejilat pejabat,” bisik Jefri pada Bian.

Bian hanya menatapnya sekilas lalu tersenyum mengejek namun ia langsung fokus kembali pada ponselnya. Berharap ada chat masuk dari Anna. Bian jadi benar-benar takut dan khawatir jika Anna berpaling darinya sungguhan.

“Kak Bian…”

“Sebentar,” sela Bian sembari pelan-pelan menjauh dari keramaian untuk menelfon Anna berkali-kali. “Na angkat! Angkat!” geram Bian kesal karena Anna terus saja tak menjawab panggilan telfonnya.

Bian semakin khawatir dan kelabakan, pikirannya jadi kacau sendiri dan sudah memikirkan segala kemungkinan buruk. Ia benar-benar tak bisa tenang sekarang hingga rasanya dadanya begitu sesak.

“Kak Bian mau kemana?” tanya Eve yang melihat Bian terburu-buru pergi.

Baca juga Epilog

“A-ada urusan…” jawab Bian dengan nafas yang mulai tersengal-sengal berlari keluar meninggalkan pesta begitu saja.

“Kambuh kayaknya si Bian,” ucap Artur teman satu geng Bian yang paham kenapa Bian begitu terengah-engah.

“Kambuh?” tanya Eve bingung.

Jefri mengangguk.

“Bian ada gangguan kecemasan,” jawab Artur menjelaskan.

Jefri kembali mengangguk menyetujui jawaban Artur.

“Oh begitu…” jawab Eve pelan sembari mengangguk dan tersenyum canggung.

“Kalo kamu pengen tau sesuatu soal Bian, tanya ke kita aja. Kita udah bareng sama tu bayi gede sejak TK,” imbuh Jefri yang kini gantian di angguki Artur.

Eve langsung tersenyum sumringah. Akhirnya jalannya untuk bisa dekat dengan Bian semakin terbuka lebar.

***

“Anna!” teriak Bian begitu sampai di rumah kediaman Miranda.

Rumah itu kosong, Bian kembali mencoba menelfon Anna. Tapi dering ponsel Anna terdengar di dari tas yang tergeletak di lantai. Lemas sudah Bian disana.

Bian sudah membayangkan jika Anna di culik atau di rampok. Tapi ia tak melihat adanya tanda-tanda bahaya. Bahkan semua barang berharga termasuk mobil juga ada disana.

“Anna kamu kemana,” lirih Bian yang mulai merengek.

“Kak Bian!” pekik Lidia kaget melihat Bian yang ada didalam rumahnya dan sudah berlinangan airmata. “Kak Bian ngapain nangis disini?” tanya Lidia yang jadi panik karena melihat Bian menangis sesenggukan di rumahnya.

Baca juga Bab 74 – Hamil

“Aku nyariin kalian!” jawab Bian berusaha tenang.

Lidia tersenyum lalu tertawa terbahak-bahak melihat Bian yang seperti anak kecil.

“Ayo ikut ke rumah sakit, Kak Anna tadi buru-buru jadi tasnya ketinggalan,” ucap Lidia yang datang naik ojek.

“Ngapain di rumah sakit?” tanya Bian dengan suara yang masih bergetar.

“Ibu kepleset di kamar mandi…” jawab Lidia yang kembali murung dan teringat pada masalahnya.

Bian mengangguk lalu pergi ke mobilnya bersama Lidia. “Aku panik Kakakmu ga bisa di telfon, sampe rumah gak ada orang,” ucap Bian.

“Iya tadi kita buru-buru bange, untung Kak Anna pulang jadi ada yang bantuin,” ucap Lidia.

Bian jadi bingung harus apa sekarang. Ia menginginkan Anna, tapi disisi lain keluarganya juga membutuhkan Anna. Bian tidak mau egois, tapi jika ia tak bisa mengontrol kekasihnya itu ia juga tidak bisa tenang.

“Terus Ibu gimana keadaannya?” tanya Bian sembari menyetir ke rumah sakit.

“Tadi udah sadar tapi belum ngomong apa-apa, Kak Anna disana sendirian nemenin Ibu,” jawab Lidia sembari menghela nafas. “Aku takut ibu kenapa-napa, aku khawatir,” ucap Lidia dengan mata berkaca-kaca.

Bian mengangguk paham. Ia juga sedang khawatir sekarang.

“Bunga,” ucap Lidia yang melihat ada buket bunga di jok belakang.

“Iya bunga, buat Kak Anna,” jawab Bian singkat.

“Bagus,” puji Lidia yang hanya di senyumi Bian.

Begitu sampai di rumah sakit Anna terlihat begitu terpukul dan hanya bisa diam dengan pandangannya yang kosong. Ibunya yang sempat sadar sekarang koma. Air matanya terus mengalir tanpa bersuara. Lidia langsung memeluk Anna, lalu Bian ikut memeluk kedua perempuan itu.

“Bi, aku takut,” lirih Anna yang terlihat sangat sedih sembari memeluk Bian.

“Tenang Na, semuanya bakal baik-baik saja. Aku bakal berusaha kasih yang terbaik,” ucap Bian lalu menelfon sekertarisnya tak selang lama direktur rumah sakit datang menemui Bian.

Bian langsung pergi menemui direktur rumah sakit yang langsung menjelaskan soal pengobatan dan kondisi Miranda. Pihak rumah sakit yang semula mengira Miranda hanya pasien biasa kini langsung membawanya ke fasilitas terbaik. Anna masih duduk lemas di ruang tunggu, berusaha kuat untuk Lidia yang kini ikut sedih juga.

“Makasih Bi, kalo gak ada kamu aku gak tau harus gimana,” lirih Anna sembari menciumi tangan Bian.

Bian tersenyum lembut. Amarahnya hilang menguap begitu saja. Kekhawatiran dan ketakutannya soal Anna yang mungkin meninggalkannya juga hilang begitu saja. Bian jadi sedikit malu sudah berpikir berlebihan soal Anna. Sementara Anna dan Lidia kini sedang saling menguatkan.

“Sayang, aku disini sampe Ibu sehat boleh kan?” tanya Anna dengan suara bergetar meminta ijin pada Bian.

Bian terdiam sejenak lalu ia melihat Lidia yang menatapnya penuh harap. Bian mengangguk pelan. “Boleh, sampe Ibu pulang ya,” ucap Bian yang di angguki Anna meskipun ia sedikit ragu apakah pilihannya untuk mengijinkan Anna ini sudah tepat. Tapi saat Bian pikirkan kembali, jika ia memaksa Anna untuk bersamanya disaat seperti ini Anna pasti juga akan terus menangis dan tidak bisa tenang juga. 

Bab 10 – Pesta Jager-2


74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share