Bab 60 – Adik Baru
Vincent
semakin hari semakin dekat dan rasanya seperti tak terpisahkan dengan Gio.
Beberapa kali ia berkunjung disana. Bahkan Vincent juga pernah menangis hingga
muntah karena tidak di ijinkan untuk menginap di rumah Gio oleh papanya.
Sebenarnya tak masalah Vincent menginap, hanya saja hari itu Melania ingin
bertemu dengan cucunya jadi Bian memaksanya pulang.
Sementara
itu Gio perlahan mulai sibuk dengan adik barunya yang lahir saat libur sekolah
kemarin. Gio jadi banyak berubah dan tidak seasik dulu. Setidaknya itu yang ada
di pikiran Vincent. Gio jadi lebih ingin pulang cepat dan menemui adiknya.
Vincent jadi merasa di lupakan dan di tinggalkan lagi. Terlebih saat Vincent
naik kelas dari play group ke TK A ternyata Gio sudah ada di TK B dimana mereka
tetap tak bisa jadi teman sekelas.
“Kakak
Gio…”
“Hai Vin!
Aku pulang dulu ya,” sapa Gio yang tampak sudah tak sabar untuk pulang.
Senyum
Vincent perlahan memudar. Satu-satunya teman baiknya sekarang rasanya sudah
memiliki teman baru dan ia seperti sudah di lupakan begitu saja. Vincent jadi
benci pada adik baru Gio yang sudah membuatnya berubah. Tapi Vincent sendiri
belum pernah bertemu lagi sejak pertama menjenguknya dulu dan Vincent
menganggap bayi yang masih kemerahan itu tidak lebih asik daripada bermain
dengannya.
Semua orang
langsung menyadari perubahan Vincent setelah pertemanannya dengan Gio
merenggang. Tak ada orang dewasa yang menyangka pertemanan anak-anak akan jadi
sekompleks ini kalau saja mereka tak di bayar untuk memperhatikan Vincent. Mungkin
tak ada yang menyadarinya.
“Kenapa gak
coba cari teman lain?” tanya Bian mencoba memberi saran.
“Sudah,
tapi tidak seru. Semua pengen sama aku cuma buat minta mainanku. Kalo sama
Kakak Gio dia baik, aku suka. Aku gak kasih mainan Kakak Gio tetap mau main
sama aku, kalo sama yang lain cuma mau berteman kalo aku kasih mainan. Payah.”
Bian
tertawa mendengar keluhan putranya yang semakin mirip dengannya.
“Papa tidak
mengerti,” Vincent semakin sedih lalu memutuskan untuk kembali ke kamarnya
sendiri.
Senyum Bian
perlahan hilang. Tentu ia mengerti apa yang di rasakan putranya. Ia
sangat-sangat memahami itu. Namun Bian bingung bagaimana harus menceritakannya.
***
Boni
diam-diam mengirim beberapa uang untuk Bela sekertarisnya. Belakangan ini sejak
Anna sibuk dengan anak-anak dan masih mengeluh sakit karena operasi caesar dan
membuatnya menghindari berhubungan intim membuat Boni terpaksa mencari
pelarian. Bela cukup cantik dan menarik selain itu dia gadis yang polos dan
mudah di bohongi dan tak begitu mengenal Boni.
Ini jelas
bukan kali pertama, Boni juga sudah meminta Bela untuk pindah ke apartemennya
dulu agar ia bisa leluasa bercinta dengan Bela. Namun beberapa waktu ini semuanya
yang Boni anggap menyenangkan perlahan terasa jadi menegangkan. Selain karena
ia takut ketahuan, beberapa waktu ini Boni juga mulai ragu dengan Bela setelah
sempat pergi party dengan anak-anak kantor lainnya.
“Sayang,
nanti mau minta jatah gak? Aku udah bisa,” ucap Anna yang merasa sudah jauh
lebih normal dan sehat setelah 6 bulan dan selama itu pula ia hampir tak pernah
bisa bercinta dengan Boni.
Dulu memang
pernah ia coba sekali tapi tak berapa lama ia mengalami kram dan ketakutan jika
lukanya akan kembali terbuka menyeruak yang membuat Anna maupun Boni kehilangan
hasratnya. Meskipun memang terlepas dari hal tersebut Anna dan Boni tetap
harmonis seperti biasanya dan tetap mengurus anak-anak tanpa ada kendala
seperti biasa.
Boni
menatap istrinya yang berangsur pulih seperti sedia kala. Tubuhnya juga sudah
kembali ramping dan rambutnya yang di potong pendek sebahu membuatnya tampak
lebih fresh. Boni jelas ingin bercinta dengan Anna, ia sudah merindukan
istrinya itu. Namun tiba-tiba ponselnya berdering dan terpaksa ia pergi menjauh
dari istrinya ketika mendengar kata berkas dari si penelfon.
“Sebentar
ya,” pamit Boni yang langsung berlari ke mobilnya.
Boni
langsung mencari berkas pemeriksaan kesehatan rutin kantor. Betapa terkejutnya
Boni yang mendapati hasil pemeriksaan Bela yang positif terkena sifilis. Detik
itu juga ia benar-benar merasa bersalah dan menyesal. Boni hanya memikirkan
anak dan istrinya saat ini. Terlebih setelah pemeriksaan itu Boni merasa
dunianya benar-benar runtuh sekarang.
“Sayang…”
panggil Anna yang mencari suaminya.
Ponsel Boni
kembali berdering. Nama Bela tertera disana.
“Papi, bisa
temenin aku gak? Aku demam…”
“Kamu kena
sifilis.”
“Engga…”
“Kamu kena
sifilis dan gak mau ngaku! Bajingan!” bentak Boni penuh emosi. “Aku punya anak!
Punya istri! Gimana bisa kamu malah nularin penyakit menjijikkan kayak gini ke
aku?!” teriak Boni meluapkan emosinya.
“Ak-aku…”
Boni ingin
meluapkan segala amarahnya kalau saja Anna tak mengetuk jendela mobilnya dan
terlihat sedih begitu mendengar kemarahannya barusan.
“Na…aku
bisa jelasin!” Boni benar-benar panik sekarang mengejar istrinya masuk.
Anna ingin
berlari ke kamar tapi ada si kecil Hana yang sedang terlelap. Anna juga tak
mungkin berteriak pada Boni dan membuat Gio terbangun. Anna akhirnya memutuskan
untuk menghadapi suaminya di ruang tamu.
“Jelasin!”
ucap Anna dengan tegas sembari menahan tangisnya.
“A-aku
jajan…”
Anna
langsung mengusap wajahnya dan menangis tersedu-sedu mendengar ucapan suaminya.
“Cukup. Aku
gak bisa sama kamu lagi.”
“Na…Sayang,
dengerin dulu. Aku tau aku salah aku khilaf…”
“Kalo kamu
tau salah kenapa kamu nekat. Kamu gak khilaf, kamu sengaja. Gak ada orang
selingkuh, orang jajan karena khilaf.” Anna tak bisa menahan tangisnya lagi.
“Aku mau sendiri, aku ga bisa sama kamu.”
“Na…”
Anna
menggelengkan kepalanya lalu masuk ke kamar dan menangis dalam diam. Boni hanya
bisa terdiam di depan pintu kamarnya yang tak di kunci sama sekali. Ia
benar-benar takut jika apa yang ia lakukan tidak hanya menyakiti istrinya saja
namun juga menularkan penyakit pada keluarga kecilnya ini.
Suara
tangisan Hana terdengar dari kamar. Biasanya Boni sedikit terganggu jika putri
kecilnya itu tak kunjung tidur atau terbangun lgi di tengah malam. Tapi kali
ini Boni benar-benar di selimuti rasa bersalahnya.
“Anna kasih
aku kesempatan, 1 kali saja…” rengek Boni yang perlahan masuk kedalam kamar
memohon pada istrinya.
Anna
mengatur nafasnya sebelum akhirnya ia memutuskan. “Cek kesehatan kamu, bacain
hasilnya di depan keluarga kita. Setelah hasilnya keluar aku baru bisa ngasih
keputusan.”
“Na…”
“Kalau
tidak, besok aku bakal pulang ke rumah orang tuaku.”
“Oke aku
turutin kemauanmu! Tapi plis jangan pisah,” rengek Boni.
“Liat besok
aja hasilmu gimana.”
Tak ada hal
yang lebih membuat Boni merasa takut selain ketegasan Anna saat ini.
***
Tepat
setelah Boni berangkat kerja, Anna menyewa jasa pembersih apartemen untuk
membersihkan apartemennya bersama Bian dulu. Ia sempat menitipkan bayinya pada
Lidia yang akan menginap di rumahnya seminggu kedepan. Anna seperti melihat
masalalunya kembali ketika memasuki apartemennya bersama Bian dulu. Masih ada
PS yang biasa Bian mainkan dan laptop jadul juga ponsel lama Bian yang
tergeletak di laci seperti biasa.
Beberapa
pakaiannya dan Bian juga masih lengkap disana. Seragam SMAnya juga ada disana.
Anna seperti sedang bernostalgia seorang diri. Anna tiduran di atas ranjangnya
dulu, sebelum ia menangisi kehidupannya yang terus berantakan.
Kekasihnya
yang merusak dirinya hingga tak bisa mengejar mimpi, lalu ketika ia merasa
sudah bertemu dengan pria yang tepat hingga memutuskan untuk menikah ia juga
tetap berakhir buruk dengan perselingkuhan yang tetap menyakitinya. Anna
memandangi langit-langit kamarnya lalu menyeka air matanya. Anna melihat
kulkasnya yang kosong dan beberapa peralatan memasak yang berkarat.
Anna
membuang semuanya, mobil Alphart pemberian Bian juga sudah di derek dan di jual
murah olehnya. Anna ingin memulai hidup barunya sekarang. Terlepas dengan hasil
pemeriksaan suaminya nanti. Anna ingin mulai mengejar mimpinya lagi.
“Mama aku
sudah pulang nih, Mama mana?” telfon Gio yang minta di jemput sekolah.