Bab 16 – Griffin Schollarship
Acara
olimpiade dan cerdas cermat untuk menentukan penerima beasiswa Griffin
Schollarship kembali diadakan. Bian sebenarnya tidak terlalu tertarik untuk
menonton, tapi Anna terlihat sangat bersemangat jadi Bian mau ikut datang
sekedar formalitas. Eve juga ikut datang karena ia menjadi duta untuk salah
satu lembaga yang ikut memberi beasiswa.
Anna duduk
sedikit jauh dari Bian, sementara Eve duduk sejajar dengan Bian dan 8 murid
kelas VVIP lainnya. Eve tersenyum dengan ramah pada semua orang, sementara Anna
duduk dua kursi di belakang Bian yang membuat Bian kesal dan takut jika Anna
kenapa-napa hingga tak bisa duduk dengan jenak.
Acara
berjalan dengan lancar dan heboh seperti biasanya. Anna ikut bersorak senang
dengan semua peserta setiap mendapat poin. Anna bingung harus mendukung siapa,
karena sekolahnya dulu sudah tak mengirim murid untuk ikut acara ini lagi. Anna
juga merasa semua harus ia dukung karena semua pasti punya mimpi besar
sepertinya.
“Siapa yang
di dukung sebenarnya,” gumam Bian yang melihat Anna bersorak dengan ceria
sendiri di belakang dengan pelan agar tidak mengganggu.
“Menurutmu
siapa yang akan menang Kak?” tanya Eve pada Bian agar Bian tak terus menerus
menoleh kebelakang.
“Aku
mendukung semuanya,” jawab Bian setelah mengamati Anna.
Eve ikut
menoleh pada Anna yang terus bersorak seperti orang bodoh di belakangnya.
“Ku dengar
Om Erwin Seymour kesini juga nanti,” ucap Eve yang membuat Bian muak karena
kehidupannya terus di isi dengan urusan bisnis dan politik yang melelahkan.
Boni yang
duduk tepat di belakang Eve dan Bian sedikit terkejut mendengar ucapan Eve.
Boni menoleh pada Anna, yang terlihat tak mengetahui apa-apa. Boni jadi sedikit
ragu apakah Anna tau jika ayahnya mencarinya.
Kling!
Ponsel Anna tiba-tiba mendapat pesan. Boni menoleh pada Bian, Bian tak terlihat
mengirim pesan pada Anna. Tak lama setelah menerima pesan itu Anna langsung
berlari meninggalkan auditorium.
“Akh!” Anna
terjatuh ketika ada orang yang sengaja menyandung kakinya. Semua orang
menatapnya, Bian kaget melihat Anna yang jatuh di hadapannya.
Tapi Anna
tak peduli meskipun jatuhnya cukup keras, ia kembali bangun dan menatap
sekelilingnya yang terpaku menatapnya dengan segala pandangan dan pikirannya.
Air mata Anna mengalir begitu saja, ia langsung menyekanya lalu kembali berlari
keluar sekuat tenaganya.
“Anna!”
teriak Bian yang langsung ikut mengejar Anna.
Sekarang
semua orang menatap Bian yang pergi mengejar Anna ketika santer berita jika ia
di jodohkan dengan Eve. Anna sudah tak mendengar panggilan Bian lagi, tubuh
langsingnya berlari dengan gesit hingga Bian kehilangan jejaknya.
“Anna!”
“Ayah!”
Anna
langsung memeluk Erwin yang menemuinya di sekolah dengan begitu erat. Anna
menangis haru dan marah, perasaannya begitu campur aduk. Ia merindukan ayahnya
tapi juga marah dan kecewa karena sudah meninggalkan keluarganya.
“Kamu
kemana saja, Nak…”
“Ayah
kenapa pergi ninggalin aku sama adek?! Ibu juga lagi sakit! Ayah kemana aja!”
Tapi belum
sempat Erwin menjawab tiba-tiba bogem mentah Bian melayang ke wajahnya.
“Jauhin Anna
bangsat! Beraninya meluk cewekku!” maki Bian sembari memukuli Erwin tanpa
peduli keadaan dan siapa yang sedang ia hajar.
“Bian!
Stop! Bian! Bian jangan mukul Ayahku!” jerit Anna meisah Bian yang sedang
menghajar ayahnya.
Bian
menahan pukulannya. Pasukan pengawal Erwin berdatangan seiring dengan petugas
keamanan yang ikut datang berkerumun. Bian melepaskan tangannya yang memegang
kerah Erwin sembari mundur perlahan dengan tangan terangkat.
“K-kamu gak
bilang kalo punya Ayah!” ucap Bian membela diri lalu membantu Erwin bangun.
Boni
melihat di kejauhan Bian dengan segala kebrutalannya dan Anna yang coba menjadi
rem atas dirinya. Boni tersenyum simpul, sekarang ia tau harus apa untuk
menjatuhkan Bian Griffin yang tak bisa di sentuh itu.
***
“Aku minta maaf,
benar-benar minta maaf. Aku mengira ayahmu adalah pria mesum yang mengincar
wanita muda, aku hanya berusaha melindungimu,” ucap Bian terus terang dengan
kepala tertunduk di hadapan Anna dan Erwin yang sedang di obati di UKS.
“Haish!
Sekarang aku jadi kayak anak SMA yang berkelahi karena perempuan,” ucap Erwin
sembari menahan sakit saat dokter sekolah mengobati lukanya.
Anna yang
semula murung atas rasa marah dan kecewanya perlahan tertawa. Bian dan Erwin
saling menatap satu sama lain lalu kompak menatap Anna yang tertawa sendirian.
“Itu
karmanya Ayah udah jahat ke aku, adek, sama Ibu!” ucap Anna lalu tertawa lagi.
Bian
tersenyum mendengar ucapan Anna. Erwin ikut tertawa bersama Anna lalu menepuk
bahu Bian beberapa kali. Erwin yang sebelumnya ingin membawa kasus ini ke meja
hijau, mengurungkan niatnya. Kemarahannya pada Bian menguap dan hilang begitu
saja. Erwin merasa pantas menerima pukulan keras Bian ini sekarang.
“Ya mau
gimana lagi, maksudnya kan baik. Mau lindungin anakku,” ucap Erwin yang
langsung di angguki Bian.
Sekarang
Erwin yang di buat kaget melihat Bian yang terlihat lebih manusiawi dan membumi
saat bersama Anna. Erwin melihat sisi hangat dan lembut Bian yang biasa
terlihat dingin dan kejam, dengan pandangan tajam yang mengintimidasi.
“Aku pengen
lindungi Anna terus,” ucap Bian apa adanya.
Erwin
mengangguk, bahkan nada bicara Bian jadi terdengar lebih manja seperti anak
kecil yang sedang memamerkan sesuatu padanya ketika bersama Anna.
“Bian
sayang sama anaknya Om, Bian pacaran sama Anna udah 2 taun,” ucap Bian pada
Erwin yang langsung blak-blakan.
Erwin
membelalakkan matanya kaget mendengar ucapan Bian. “Pacaran?” tanya Erwin
kembali.
Bian
mengangguk. “Bian pengen nikah sama Anna kalo boleh,” ucap Bian seenaknya.
“Bian!”
tegur Anna.
Bian hanya meringis lalu menggenggam tangan Anna. Sementara Erwin yang semula tersenyum perlahan kehilangan senyumnya karena tersadar jika Anna dan Bian tak mungkin bisa bersama.