Bab 41 – Bian Sakit
Bian
benar-benar terpukul dengan berita pernikahan Anna. Niatannya untuk balas
dendam ternyata sia-sia. Bian yang selalu merasa jumawa dan bisa mendapatkan
segalanya harus bertekuk lutut dan meringkuk dalam keterpurukannya karena Anna.
Bahkan Bian
yang sudah menyiapkan mobil dan apartemennya dulu untuk Anna juga tak sanggup
untuk datang memberikannya pada Anna di hari pernikahannya. Padahal Bian sangat
ingin mengacaukannya. Tapi bagaimana bisa Bian datang dan berbuat onar jika
baru melihat undangan pernikahannya saja ia sudah begitu lemas tak berdaya.
Lalu tepat
di hari bahagia Anna dan Boni, Bian mencoba menabrakkan dirinya pada mobil yang
melaju. Tapi sialnya kenekatannya itu tidak membuatnya mati. Ia hanya luka-luka
dan patah tulang saja. Eve yang seharusnya datang untuk menghadiri acara
pernikahan Anna dan Boni juga tak dapat hadir, ia langsung terbang ke Swis
untuk merawat Bian.
“Eve…”
lirih Bian yang terus ingin di temani Eve sambil menggenggam tangannya dengan
erat.
“Aku
disini,” jawab Eve lalu mengecup jemari Bian.
“Aku
sendirian kalo gak ada kamu, ga ada yang mau temenin aku,” lirih Bian yang
terlihat begitu menyedihkan.
Eve
mengangguk, ia yakin Bian bukan orang yang bisa mentoleransi rasa sakit setelah
oprasi di lengannya. Jadi Eve menghabisakn seluruh waktunya benar-benar untuk
Bian. Sementara Bian sendiri terus teringat ada Anna, pada tiap luka fisik yang
ia sebabkan dan segala tekanan batin yang harus Anna atasi sendirian.
Tak berapa
lama Bian kembali terlelap, ia sudah meminum obat penghilang rasa sakitnya dan
Eve juga sudah menyuapinya. Bian terus menggenggam tangan Eve. Di tengah
lelapnyapun Bian mengigau menangis, saat itulah Eve menyadari betapa rapuhnya
Bian. Entah itu karena Anna atau karena kurangnya perhatian dari ibunya
sendiri.
“Anna…”
lirih Bian di tengah tidurnya lalu kembali diam.
Eve menarik
tangannya ia merasa kesal dan langsung terbakar api cemburu. Ia ingin meluapkan
segala amarahnya pada Bian soal Anna, tapi disisi lain Eve juga tau Bian juga
bisa dengan mudah merebut Anna dan mencampakannya tapi Bian tak melakukan itu.
Eve mengambil ponsel Bian, tak ada yang istimewa, tak ada pesan dari Anna maupun
Boni.
“Eve…”
lirih Bian lalu mulai terisak dalam tidurnya, entah apa yang ada dalam mimpinya
sekarang.
Eve
langsung mengelus Bian dengan lembut dan mencium keningnya. “Sssttt…tenang…aku
disini.” Eve coba menenangkan Bian.
***
Eve terus
mendampingi Bian. Mungkin caranya sebelumnya sudah terlalu keras pada Bian.
Jadi dengan segala kerendahan hatinya Eve ingin membuat Bian jatuh cinta
padanya. Eve akan memulai semuanya kembali lagi dari awal.
“Kamu kapan
balik?” tanya Bian setelah pulang ke rumahnya lagi.
“Aku mau
nemenin Kak Bian,” jawab Eve lembut lalu memberikan cincin tunangan milik Bian.
Bian
memasangnya kembali di jari manisnya. “Kuliahmu gimana?” tanya Bian lalu
menyandarkan kepalanya di bahu Eve.
“Kak Bian
prioritasku,” jawab Eve lembut yang membuat Bian tersenyum sumringah. Sudah
lama sekali tak ada yang memprioritaskannya seperti ini. Bian benar-benar
bahagia mendengar jawaban Eve.
“Beneran?”
tanya Bian memastikan sambil mendongakkan kepalanya.
Eve
langsung mengangguk lalu mengecup kening Bian. “Iya dong, calon suamiku sakit
ya harus aku yang jagain,” ucap Eve lembut.
“Baru kamu
yang bilang gitu ke aku…” lirih Bian lalu mengecup pipi dan bibir Eve dengan
lembut.
Bian masih
mengingat Anna, selalu ada tempat khusus di hatinya untuk Anna seorang. Tapi
hal itu juga tak menutup kemungkinan untuk Bian mencintai Eve juga. Terlebih
setelah Anna resmi menikah dengan Boni dan Eve yang mau memprioritaskannya.
Bian jadi yakin untuk memulai hidup baru dengannya.
“Kamu
cantik…” puji Bian pertama kalinya pada Eve dari dalam hatinya.
Eve kaget
dan langsung membelalakkan matanya. Ini kali pertamanya mendengar Bian
memujinya bukan karena ada orang lain. Bian juga kembali mengecup keningnya.
“Kamu
jangan sering curiga sama aku, aku sedih kalo di curigai. Kamu lebih percaya
sama si Andy daripada aku. Aku jadi merasa kamu gak cinta aku,” ucap Bian lalu
menghela nafas.
Eve
mengangguk lalu menatap Bian. Sulit sekali rasanya melihat Bian sebagai pria besar yang arogan tiap kali berdua
dengannya seperti ini. Sulit untuk membenci Bian dan cara bicaranya yang lembut
dan hangat.
“Kak Bian kenapa
sesayang itu sama Kak Anna?” tanya Eve lembut lalu tiduran di samping Bian.
Bian
menggeleng. “Aku gak tau, semuanya tiba-tiba gitu aja. Padahal aku udah
capek-capek bikin dia gak betah di sekolah. Aku juga gak inget sejak kapan aku
mulai suka sama dia sebagai pasanganku.”
Bian dengan
gamblang menceritakan pada Eve. Eve jadi teringat pada omelan orang tuanya.
Sepertinya memang ia yang terlalu berlebihan menanggapi Bian. Mungkin memang
Anna sudah masalalunya dan tidak akan bisa mengganggu hubungan mereka lagi.
“T-tapi Kak
Bian sayang banget sama Kak Anna?” tanya Eve lagi memastikan.
“Kamu
nanyain Anna terus kenapa? Kamu pengen aku balikan sama Anna?” tanya Bian
dengan alis berkerut.
Eve
langsung menggeleng dengan cepat.
“Semakin
kamu sering mengungkit masalalu seseorang, itu artinya kamu meremehkan dia.
Kamu gak yakin kalo aku bisa melangkah maju,” ucap Bian menasehati Eve.
Eve
mengangguk pelan. “Maaf…” lirih Eve lalu memeluk Bian.
“Sulit buat
aku membuka lembaran baru, jadi tolong jangan membuatnya semakin sulit Eve.”
Eve kembali
mengangguk lagi dengan patuh. Bian benar dan rasanya mengungkit yang sudah
berlalu juga tidak akan membuahkan apapun selain sakit hati. Anna sudah membuka
lembaran baru dalam hidupnya dan jauh tak terganggu dengan Bian sedikitpun, tak
ada alasan bagi Eve untuk terus mencurigai Bian dan Anna yang akan bersatu
kembali.
“Kak Bian
persiapan pernikahan kita…”
“Aku nurut
kayak kemarin, aku tau pernikahan kita pasti penting buat kamu. Pasti ada wedding
dream yang kamu pengen juga. Aku nurut aja.”
“Kak Bian
gak ada wedding dream juga emangnya?”
Bian
terdiam sejenak, tentu ia punya pernikahan impiannya. Tapi sayang impiannya itu
sudah lama kandas. Satu-satunya mimpi Bian terkait pernikahan hanya menikah
dengan Anna, punya banyak anak lalu menua bersama. Sadar semua sudah mustahil
untuk terwujud Bian langsung menggeleng.
“Aku tidak
sempat memikirkannya. Perusahaanku sedang dalam proyek pembuatan mobil listrik,
jadi aku sibuk dengan proyek-proyekku.”
Eve
tersenyum lalu mengangguk mendengar ucapan Bian.
“Aku pengen
nanti kalo kita udah nikah kamu gak perlu repot kerja, gak usah muncul di TV
lagi. Aku kasih uang aja sendiri. Kamu fokus ngurus anak-anak sama aku aja,”
ucap Bian lalu mencium pipi Eve.
“Kak Bian
pengen punya anak berapa emangnya?” tanya Eve lalu menatap Bian.
“Kamu kuat
ngasih anak berapa? Aku siap yang ngehamilin,” jawab Bian dengan senyum
sumringahnya yang terlihat begitu polos dan berbanding terbalik dengan kelakuan
bringasnya di ranjang.