Bab 15 – Badai
Bian
menikmati makanannya kali ini dan ia hanya mendapat karbo dari kentang juga
jagung manis rebus yang Anna siapkan. Sementara Anna menikmati sop daging
dengan tambahan sosis dan bakso. Bian terlihat sangat puas dan ceria makan kali
ini. Tidak ada sayur dan tidak perlu di suapi.
“Besok pagi
kalo sembelit jangan ngeluh ya,” ucap Anna sembari menikmati supnya.
“Dih doanya
kamu jelek banget,” cibir Bian menanggapi ucapan Anna.
Anna hanya
menanggapi Bian dengan tawa. “Nanti makan buah ya,” ucap Anna yang di angguki
Bian.
Anna
tersenyum senang belakangan ini Bian jadi begitu patuh dan penurut padanya.
Sesuatu yang sangat jarang ia alami belakangan ini. Tunggu! Bian patuh pada Anna? Lebih dari tiga
hari?! Ada yang salah!
Anna
perlahan mengerutkan keningnya. Kehidupannya terlalu indah dan mulus belakangan
ini. Ibunya yang menjalani pengobatan dengan pelayanan terbaik, adiknya yang
bisa sekolah di asrama, Bian yang patuh padanya. Anna langsung merasakan
firasat buruk, kehidupannya tak pernah setenang ini sebelumnya. Anna khawatir
ia akan di terjang badai hebat dengan angin dan guntur yang menyertainya.
“Kenapa?”
tanya Bian yang melihat Anna tiba-tiba berhenti makan.
Anna
menggeleng pelan lalu melanjutkan makannya. “Sayang, lain kali kalo di tempat
umum kamu boleh kok bilang kalo aku temenmu sekolah aja.”
Bian
menatap Anna lalu mendengus pelan. “Maaf ya, padahal semalem aku udah bilang
mau berjuang buat hubungan kita. Tapi baru ketemu Eve aja aku ga bisa bilang
apa-apa,” lirih Bian sedih.
Anna
tersenyum maklum.
“Tapi
tenang saja! Selanjutnya aku bakal dengan lantang bilang kalo kita pacaran!”
ucap Bian semangat.
Anna
melongo sambil geleng-geleng kepala. “Jangan, nanti di marahin orang tuamu
gimana?”
“Kita
hadapi sama-sama!” jawab Bian penuh keyakinan.
Anna
tertawa mendengar jawaban Bian yang begitu polos.
***
Erwin
datang menemui Miranda yang tengah menikmati waktunya di rumah sakit sembari
menulis di dalam jurnalnya. Sudah dua kali Erwin datang dan tak berani masuk ke
kamar Miranda, dan ia masih melihat mantan istrinya itu menulis di dalam
jurnalnya. Miranda masih terlihat seperti gadis yang ia sukai saat SMA dulu.
Erwin
mengetuk pintu kamar Miranda dengan hati-hati memberanikan dirinya untuk
menghadapi Miranda. Erwin berdiri membuka pintu dengan sebuah buket mawar besar
berwarna putih kesukaan Miranda. Miranda menegakkan duduknya membelalakkan
matanya terkejut melihat mantan suaminya yang datang menemuinya.
Airmata
Miranda mengalir begitu saja, perasaannya begitu bercampur aduk memandang pria
yang menjadi cinta pertama sekaligus penghancur keluarganya. Miranda ingin
berlari kepelukan Erwin kembali, tapi ia juga sadar jika bukan ia yang di
inginkan keluarga Erwin dulu. Ia hanya seorang wanita miskin kelas bawah dengan
masalalu yang buruk bagi keluarga Seymour.
“Pergilah,
aku sudah memaafkanmu,” ucap Miranda berusaha tegar dan tegas pada Erwin
sembari menyeka airmatanya.
Erwin
mendekat pada Miranda, meletakkan buket bunga yang ia bawa di kursi lalu
memeluk Miranda yang terus memukulinya.
“Maafkan
aku Miranda, istriku…” lirih Erwin yang masih menganggap Miranda sebagai istri
dan masih menjadi miliknya.
Miranda tak
bisa menahan airmatanya ketika ia bersama Erwin dengan segala kelembutan yang
sudah lama Miranda rindukan.
“Aku sangat
membencimu! Pengecut sialan! Bajingan keparat!” maki Miranda yang Erwin terima
dengan lapang dada.
Miranda
terus memukuli Erwin dengan tenaganya yang tak seberapa itu. Sementara Erwin
terus mengelus punggungnya sembari mengecup kening Miranda dengan penuh kasih
sayang.
“Aku
merindukanmu, merindukan anak-anak kita, kehidupanku begitu buruk, aku nyaris
gila setiap kali kamu kabur dan terus bersembunyi,” ucap Erwin.
Miranda
menggeleng pelan. “Kamu yang mencampakanku dan anak-anak!”
“Maafkan
aku…” hanya itu yang bisa Erwin katakan.
Erwin lebih
berharap jika pertemuannya dengan Miranda akan mendapat pukulan keras dan
lemparan perabotan rumah tangga atau batu sekaligus. Ia berharap Miranda akan
menumpahkan segala kemarahannya dengan mengerikan. Erwin terus mencarinya
bahkan ia sengaja mengenakan jas yang biasa agar bisa merasakan sakitnya
kemarahan yang meluap dari Miranda.
Tapi
melihat wanita yang menjadi cinta pertamanya itu ada di rumah sakit dengan
segala kelemahannya membuat Erwin lebih sakit daripada yang ia kira. Sakit,
sakit sekali sampai ia bingung harus memulai pembelaannya dari mana. Bahkan
posisinya yang tengah menjadi mentri pertahanan sekalipun rasanya tak bisa
mempertahankan diri dan memberikan pembenaran atas apa yang ia perbuat di
hadapan Miranda.
“Aku
menyesal melepaskanmu, aku menyesal mengabaikanmu, aku begitu bodoh baru
mencarimu sekarang,” ucap Erwin mengakui kesalahannya sembari memeluk erat
Miranda.
Miranda
masih menangis dalam pelukannya. Terlalu banyak masa sulit yang ia alami ketika
Erwin tiba-tiba hilang darinya. Miranda sendirian dalam segala kesengsaraannya
membesarkan kedua buah hatinya yang kehilangan figur seorang ayah.
“Biarkan
aku menebus dosaku, Miranda. Beri aku kesempatan untuk merawatmu, merawat
anak-anak. Apapun, mintalah sesuatu…”
Miranda
menggeleng, ini terlalu mendadak dan menyakitkan baginya.
“Apapun,
katakan apa saja akan ku turuti. Bahkan jika kamu memintaku menyelami neraka
akan ku lakukan,” ucap Erwin yang benar-benar frustasi dan di selimuti rasa
bersalah yang begitu memedihkannya.
Miranda
masih menggeleng sambil menangis. Erwin menggenggam tangannya dengan erat.
Tangan dengan jemari lentik yang lembut itu sudah berubah menjadi kasar karena
sering bekerja keras karena Erwin yang haus akan jabatan tega melepas
keluarganya.
“Anak-anak,
tolong jaga mereka setelah aku pergi. Mereka sudah ku besarkan dengan baik.
Bahkan setelah bajingan sepertimu meninggalkan kami dalam kesulitan. Mereka
tatap memaafkan dan merindukanmu hanya dengan hadiah bodohmu itu. Anna dan
Lidia, hatinya begitu baik. Aku tidak tau bisa bertahan sampai kapan….”
“Kamu harus
bertahan! Jangan bilang begitu. Kamu akan bertahan dan kita akan kembali
bersama! Aku akan menyiapkan dokter terbaik, ku dengar Singapur memiliki dokter
yang bagus dalam menangani kangker,” sela Erwin yang belum siap dengan
perpisahannya sekali lagi dengan Miranda.
Miranda
menundukkan pandangannya. Erwin menidurkan Miranda yang mulai mimisan sembari
menekan bel untuk memanggil perawat.
“Bertahanlah,
kita akan melalui badai ini bersama-sama. Aku akan terus menggenggam tanganmu
dan memeluk anak-anak. Kita bisa pergi ke Paris dan mencoba kopi kesukaanmu
disana, kita bisa ke Jepang sekeluarga melihat gunung Fuji dan bunga sakura,
ayo ke Korea ku dengar anak muda sekarang suka K-Pop. Bertahanlah, ayo sembuh…”
ucap Erwin dengan berlinang airmata ia masih mengingat semua impian Miranda
yang tak sempat ia wujudkan.
Miranda
tersenyum. Senyuman pertama setelah pertemuannya kembali. Senyuman yang membuat
Erwin jatuh hati ketika pertama kali melihatnya dulu.
Dokter
menyuntikkan obat pada Miranda. Setelah itu Miranda terlelap begitu saja dengan
nafas yang teratur dan tenang. Erwin duduk disampingnya dengan tenang lalu
mengambil buku agenda tebal yang terus Miranda isi belakangan ini. Erwin
berharap isinya adalah umpatan dan makian untuknya, mungkin jika itu isinya
Erwin akan sedikit lebih tenang. Tapi saat ia membuka halaman pertama…
“Hari
terbaik Ibu adalah waktu kita bisa bersama Ayah lagi. Ibu tidak membenci Ayah
lagi. Ibu tau Kak Anna sama Adek Lidia kangen Ayah, Ibu juga kangen. Tapi Ayah
bukan milik kita lagi. Tapi dia tetap Ayahmu, jadi kalau Ada sesuatu mungkin
kalian bisa kabari Ayah. Tapi jangan berharap banyak, anak-anak Ibu yang cantik
dan baik harus jadi kuat. Seperti Ayah yang jadi tentara.”
Bahkan
dalam kalimat yang sehangat dan seindah itu, Erwin merasa begitu pilu dan
merasa jika hukumannya bukan untuk fisiknya. Tapi untuk mental dan
kewarasannya, untuk hati nuraninya yang terus tercabik saat melihat
tulisan-tulisan Miranda yang di tulis sepenuh hati.
“Seluas itukah hatimu Miranda?” gumam Erwin lalu mengecup tangan Miranda.