Bab 56 – Ulang Tahun
Vincent
selalu mengikuti Gio selama di sekolah. Gio juga mengenalkan Vincent pada
teman-temannya juga lalu menemaninya bermain. Sekolah tampak berkali-kali lipat
jauh lebih menyenangkan saat bersama Gio bagi Vincent. Vincent tampak jauh
lebih percaya diri dan kembali ceria. Wajah murungnya juga perlahan luntur
sejak ia mengenal Gio.
Perbedaan
Vincent juga langsung di sadari pengasuh juga papanya. Vincent yang biasanya
menghabiskan malamnya dengan menunggu mamanya, sekarang terlihat tak sabar
menunggu waktu berangkat sekolah untuk berbagi makanan atau mainannya dengan
Gio. Atau sekedar bertemu kembali dengan Gio.
“Aku pengen
main ke rumah Kakak Gio,” ucap Vincent yang kesal menunggu hari minggunya yang
berjalan lambat.
Vincent
benci hari libur sejak kenal dengan Gio. Vincent juga senang mendengarkan
cerita Gio soal keluarganya, apalagi Gio sering berandai-andai kalau punya adik
dan mereka akan bermain bersama. Bertiga dan akan membuat gabungan Ultramen.
“Pa, aku
pengen punya adek juga,” ucap Vincent pada Bian yang sedang rapat bersama
beberapa produser yang hendak meminta bantuan dana padanya.
“Hah?!”
saut Bian benar-benar kaget dengan ucapan Vincent.
“Kakak Gio
mau punya adek, aku mau juga. Ayo kita beli!” ajak Vincent sedikit merengek.
Bian
geleng-geleng kepala mendengar ajakan Vincent. “Adek minta di anter supir aja
main ke rumah kakak Gio sana,” ucap Bian yang enggan membahas soal adik baru
yang di minta Vincent.
Vincent
mendengus kesal lalu berjalan pergi meninggalkan Papanya dengan kecewa. Vincent
langsung pergi ke kamarnya dan lanjut menggambar dan mewarnai sendirian.
Pengasuhnya juga ia diamkan begitu saja karena kesal ia tak bisa dapat adik.
“Papa
sekarang sudah miskin ya?” tanya Vincent tiba-tiba pada pengasuhnya.
Pengasuhnya
langsung mengerutkan keningnya. “E-enggak, kok Adek bilang gitu?” tanya si
pengasuh dengan khawatir dan heran.
“Aku minta
beli adek tapi Papa gak mau,” ucap Vincent sedih lalu lanjut mewarnai.
Si pengasuh
langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Vincent. Ia sudah terlanjur
mengira jika bosnya benar-benar bangkrut atau jatuh miskin. Bahkan ia juga
sudah berpikir terlalu jauh soal gajinya atau kemana ia harus bekerja setelah
ini.
“Adek bayi
itu gak ada yang jual, harus lahir dari perut mama,” ucap si pengasuh coba
menjelaskan.
Vincent
diam mendengarkan lalu kembali murung sambil mewarnai kembali. Vincent jadi
teringat jika Gio juga sering bercerita soal perut mamanya dan adiknya yang
sudah mulai bisa bergerak. Vincent sedikit iri dengan Gio yang punya kesibukan
di rumah. Semua mainan Gio, Vincent juga punya. Tapi soal adik…sepertinya ini
akan sulit.
***
“Vin!” sapa
Gio dengan antusias pada Vincent begitu ia sampai di sekolah.
Biasanya
Gio yang menunggu kedatangan Vincent, tapi kali ini Vincent datang lebih awal
dan menunggunya datang. Boni yang mengantar pagi ini dan Bian sengaja menunggu
kedatangan Gio bersama putranya, berharap bisa bertemu dengan Anna. Tapi apa
daya yang hadir bukan Anna.
“Aku
kemarin di beliin ini!” seru Gio memamerkan smart watchnya pada Vincent.
“Wah
kerennya!” seru Vincent lalu berjalan menuju kelasnya bersama Gio tanpa beban.
Boni dan
Bian saling tatap dengan canggung sebelum akhirnya Bian berdeham.
“Besok
ulang tahun Gio, aku ngundang banyak orang buat dateng,” ucap Bian lalu
berjalan ke mobilnya dan memberikan sebuah undangan ulang tahun untuk Gio pada
Boni.
“Wah, pasti
ini seru. Kami pasti datang,” ucap Boni menyambut undangan itu dengan senang.
Bian
mengangguk lalu masuk kedalam mobilnya. Senyum Boni juga langsung luntur begitu
Bian pergi. Boni memandangi undangan yang di berikan Bian padanya. Jarang
sekali keluarga Griffin membuka rumahnya untuk pesta atau acara. Rasanya ini
seperti kali pertamanya mengetahui hal itu. Entah Bian yang sangat menyayangi
Vincent atau Bian sedang mencoba mengembalikan nama baiknya.
Boni
menghela nafasnya ia mengambil ponselnya. Boni memandangi wallpaper ponselnya
yang menunjukkan anak istrinya yang sedang berfoto pertama kali saat masuk TK
dulu. Boni bertanya-tanya apa yang membuatnya begitu cinta dan terikat pada
Anna sebenarnya. Sejenak Boni juga merasa jika Bian tak lagi peduli pada Anna
dan Anna sudah tak seistimewa yang Boni pikirkan.
“Kalo kamu
ga nikah sama aku, apa Bian bakal sama kamu?” gumam Boni lalu tertawa kecil.
“Ga mungkin lah, ada Eve yang cantik ngapain sama kamu yang biasa aja,” lanjut
Boni sembari menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.
Boni
mengirimkan gambar undangan ulang ulang tahun Vincent pada Anna. Boni mulai
bosan dengan Anna sejak kehamilannya yang ke dua ini. Anna jadi lebih lemah dan
mudah sakit, penampilannya jadi berantakan dan jauh sekali dari kata menarik.
Tapi ia tetap mencoba untuk terlihat normal karena mertuanya yang masih
menjabat dan Anna yang tak pernah berbuat salah.
***
“Ck!” Boni
berdecak pelan begitu Anna turun dari mobil dengan pakaiannya yang di anggap
kurang mewah ketika sampai di rumah keluarga Griffin.
Ini
harusnya jadi pesta sederhana dan hanya untuk bersenang-senang anak saja. Tapi
semua orang tua yang datang jelas tak berpikir demikian. Gio sudah langsung
berlari mendahului Anna dan Boni karena Vincent yang sudah menghampirinya
duluan.
“Jelek ya
aku?” tanya Anna sambil mengelus perut buncitnya.
Boni
tersenyum lalu menggenggam tangan istrinya. “Enggak, aku cuma ngerasa gak
nyaman aja kesini,” ucap Boni mengalihkan pembicaraan.
Anna
tersenyum lega lalu menggenggam tangan Boni berjalan memasuki rumah besar
keluarga Griffin. Anna langsung di sambut Eve yang terlihat lebih kurus
sementara Bian sudah mulai pulih seperti sedia kala kembali. Keduanya tampak
masih kompak dan mesra setelah banyak gosip menerpa. Anna ikut bahagia atas hal
tersebut, atas kebahagiaan Bian dan Eve juga Vincent yang menjadi teman baik
Gio.
Anna duduk
di bangku yang nyaris di belakang. Semua orangtua berbondong-bondong mendekati
Eve dan Bian. Boni juga sibuk dengan ponselnya belakangan ini. Jadi Anna
memilih untuk mengawasi Gio dan Vincent yang asik sendiri bermain.
“Mama kalo
capek istirahat dikamarku saja,” ucap Vincent yang tiba-tiba mendekati Anna
karena Gio terus mengawasinya dan tidak fokus bermain dengannya.
“Tidak,
tidak papa.” Anna mengeluarkan hadiah smart watch yang sama seperti milik Gio
untuk Vincent. “Ini hadiah buat Vincent,” ucap Anna lalu memakaikan jam tangan
hadiahnya di tangan Vincent.
“Wuuu!
Kerennya!” seru Gio lalu melompat dan bertepuk tangan ikut senang dengan hadiah
yang di dapatkan Vincent.
Vincent
melompat senang sambil mengepalkan tangannya menunjukkan jamtangan barunya
dengan bangga. “Aku adalah Power Ranger Biru!” seru Vincent senang.
“Aku adalah
Power Ranger Merah!” seru Gio tak kalah heboh dengannya.
“Terimakasih
Mama!” ucap Vincent lalu memeluk Anna sebelum ia berlari bersama Gio kembali.
Anna
tersenyum senang melihat anak-anak yang begitu ceria dan senang hanya karena
hadiah kecil darinya. Bian menatap Anna yang begitu mudah akrab dengan Vincent
hingga Vincent ikut memanggilnya mama tanpa beban. Bian juga begitu berdebar
saat melihat putranya memeluk Anna dan senang dengan kado pemberiannya. Vincent
termasuk sulit untuk di dekati tapi tidak begitu dengan Anna rasanya.
“Anna,”
panggil Bian yang akhirnya memberanikan diri untuk mendekatinya.
Anna
menoleh padanya dengan senyum manisnya seperti dulu. Senyuman yang masih saja
memikat hati Bian dan selalu ia rindukan. Mati-matian Bian menahan dirinya
untuk tidak merengkuh Anna saat ini.
“A-ada yang
mau aku kasihin ke kamu,” ucap Bian lalu membantu Anna bangun dari duduknya
sebelum mengajaknya ke ruang kerjanya.
Anna
melangkah mengikuti Bian. Sesekali ia mengatur nafasnya sembari memegangi ujung
jas Bian ketika pria itu melangkah terlalu cepat.
“Aku tunggu
di ruang tamu aja ya?” pinta Anna ketika Bian hendak melangkah menaiki tangga.
Bian
mengerutkan keningnya, ia sedikit sedih dan kecewa mendengar permintaan Anna.
Bian ingin memeluk Anna di sana tapi Anna malah meminta menunggu dibawah. Namun
dengan berat hati Bian memilih untuk mengangguk.
“Aku udah
engap banget,” ucap Anna lalu duduk di sofa. “Katanya anak ke tiga hamilnya
bakal lebih berat, kayaknya bener gitu,” lanjut Anna yang membuat Bian senang.
Entah apa
yang membuat Bian senang tapi ucapan itu cukup membuktikan jika Anna masih
mengingat anak pertamanya dulu.
“Apa
kehamilanmu berat?” tanya Bian yang di jawab Anna dengan senyuman.
“Sedikit,
ini yang paling rewel. Tapi tidak usah di bahas, aku senang bisa di percaya
punya anak lagi. Aku tidak mau mengeluh, aku khawatir dia mendengar keluhanku,”
ucap Anna sembari mengelus perutnya.
Bian
tersenyum lalu mengangguk. “Kamu tau aku pengen banget peluk kamu, cium kamu,
elus perutmu. Kamu cantik sekali sama kayak dulu,” ucap Bian sebelum ia melihat
salah satu pelayannya yang berjalan menuju ke arahnya. “Tunggu sebentar,” putus
Bian yang langsung pergi ke ruang kerjanya dan mengambil box berisi sertifikat,
dan surat berharga lainnya yang dulu ia hadiahkan pada Anna ketika masih
bersamanya.
Bian
berjalan menuju Anna kembali, hari ini benar-benar menjadi hari terbaiknya.
Bian benar-benar bisa melakukan sedikit dari mimpinya untuk memiliki kesempatan
bersama Anna kembali. Bian sangat bahagia, ini melebihi apapun.
“Kamu belum
pernah datengin makam anak kita kan? Kamu mau gak sekali aja kesana?” tanya
Bian dengan begitu antusias.
Anna
terdiam sejenak lalu mengangguk setuju. “Jauh?” tanya Anna memastikan.
Bian
langsung menggeleng. “Tapi kalo kamu capek, aku bisa gendong kamu sampe sana,”
ucap Bian antusias yang kembali memancing senyum Anna.
Anna
berjalan melangkah bersama Bian menuju taman belakang, Anna masih teringat
bagaimana saat ia keguguran pertama kalinya. Anna juga ingat bagaimana kematian
ibunya dimana ia tak bisa menemani sama sekali. Lalu ingatan indahnya saat
masih bersama Bian kembali berputar di kepalanya.
Anna
menatap taman belakang yang begitu indah. Asri, sejuk dengan banyak pohon dan
di kelilingi bunga mawar yang sedang mekar. Bian membawa Anna ke tempatnya
merenung dengan rasa senang dan bangga.
“Adek, Papa
ngajak Mama…” lirih Bian begitu sampai di sebuah nisan kecil di tengah taman.
Anna tak
dapat membendung air matanya dan dengan refleks ia langsung memeluk Bian sambil
mencoba menghentikan tangisnya. “Maaf Mama baru dateng,” lirih Anna.
Detik itu
Bian tau dan yakin jika Anna masih sama seperti dulu. Bian masih yakin jika
selalu ada ia di hati Anna. Entah sekecil apapun tempat itu tapi Bian yakin
Anna tak mungkin bisa 100% melupakannya. Anna mendekap Bian dengan begitu erat,
Bian pun begitu. Hari itu keduanya sama-sama melepas rindu satu sama lain.