0
Home  ›  BIANNA  ›  Chapter

Bab 09 – Makan Siang

Bab 09 – Makan Siang-1

Harold terlihat begitu senang dengan kedekatan Eve dan Bian meskipun ini baru sebatas makan siang saja. Kebahagiaan itu juga terlihat pada Melania yang tampak sangat merestui hubungan putranya kali ini. Melania semakin yakin jika hubungan Bian dengan Anna hanya sebatas main-main belaka dan ia tak perlu terlalu mengkhawatirkannya.

Pertemuan antar parlemen yang Melania hadiri dan jelas juga di hadiri Harold, keduanya tampak lebih cair dan hangat daripada sebelumnya. Melania jadi semakin yakin dan ingin sesegera mungkin menikahkan Bian dengan Eve. Hanya saja terhalang dengan umur yang masih belum cukup dan status mereka sebagai pelajar jadi melania tak bisa terburu-buru. Selain itu partai juga belum menurunkan mandat atas pencalonan presiden mendatang.

Tapi terlepas dari itu semua, Bian dan Eve sama-sama sudah mengantongi lampu hijau yang bersinar terang dari keluarga masing-masing. Meskipun di hati Bian, ia hanya mencintai Anna. Berbeda dengan Eve yang sudah jatuh cinta pada Bian.

***

“Bian uangnya di tabung sendiri aja, jangan di kasih Anna terus,” ucap Miranda yang teringat dengan Erwin setiap kali Bian datang berkunjung bersama Anna.

Bian hanya meringis lalu mengangguk agar Miranda puas saja, meskipun Miranda juga tau Bian akan tetap ngeyel dan memberikan banyak uang pada putrinya.

“Nanti Kak Bian nginep?” tanya Lidia sembari membuka kadonya.

Bian menggeleng. “Kata Anna aku gak boleh nginep, pelit dia,” adu Bian yang memanfaatkan kesempatan.

Miranda dan Lidia tertawa mendengar aduan Bian yang sangat terlihat sedang mencari pembelaan.

“Ih aku kan udah gede masih di kasih Barbie!” seru Lidia meskipun ia juga tetap menyukai kado pilihan Bian.

“Gak suka ya?” tanya Anna sedih.

“Suka!” jawab Lidia yang membuat Anna dan Bian tersenyum lega.

“Ibu pindah mulu gini nanti bisnisnya gimana?” tanya Anna mengalihkan pembicaraan pada ibunya yang baru selesai membungkuskan lauk buatannya untuk Bian.

“Ya nanti mulai lagi dari awal,” jawab Miranda sembari tersenyum agar putrinya tidak khawatir.

“Ayah nemuin kita lagi ya?” lirih Anna yang diangguki Miranda.

Anna menghela nafas dengan berat. Ia lelah dan merasa sedih karena keluarga kecilnya harus terus bersembunyi. Sementara ayahnya yang sudah mencampakan keluarganya bisa memiliki kehidupan yang sangat nyaman. Selain itu ia juga iba melihat ibunya yang harus banting tulang sendirian hingga mulai sakit-sakitan.

“Anna ada uang buat kehidupan Anna, jadi Ibu ga usah mikirin Anna. Ibu bisa fokus sama Lidia aja,” ucap Anna lembut dan masih saja tak berani menyampaikan kondisinya yang sebenarnya.

Kehidupan Anna yang begitu terjamin bersama Bian, meskipun ia harus menyimpan hubungan itu selayaknya rahasia yang harus di tutup rapat-rapat. Seperti hubungan orang tuanya yang tak pernah ingin ia tiru, tapi buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anna tak bisa melawan takdirnya.

“Bian gimana sekolahnya?” tanya Miranda lembut.

“Baik dong!” jawab Bian semangat lalu menceritakan soal klub basketnya dan ujiannya. Meskipun ia tak bisa menceritakan secara gamblang atas kemenangannya dan banyak hal lainnya. Bian masih takut jika jujur atas latar belakang keluarganya, Miranda tidak mau merestui hubungannya dengan Anna lagi.

“Bian uangnya di simpan, di tabung, nanti di kasih ke orang tuanya Bian sendiri. Jangan kasih ke Ibu terus,” ucap Miranda menasehati Bian.

Bian mengangguk lalu menyandarkan kepalanya di bahu Anna. “Ibuku gak suka kalo ku kasih uang,” jawab Bian.

“Ya di beliin yang lain, Ibunya Bian suka apa emangnya?” tanya Miranda.

“Suka kerja,” jawab Bian yang membuat Miranda geleng-geleng kepala.

Miranda selalu berpikir jika Bian merasa sangat cocok dengan putrinya karena mereka sama-sama dari keluarga broken home. Miranda juga selalu melihat Bian seperti anak kecil yang sering di tinggal sendirian dan merasa kesepian. Mirip seperti Erwin saat masih bersamanya dulu sebelum mencampakannya dan kedua putrinya.

Baca juga Epilog

Ponsel Bian berdering, jadwalnya untuk pergi sudah tiba. Ia harus pergi makan siang bersama Eve lalu menghadiri pesta milik Jefri. Belum lagi peresmian anak perusahaannya.

“Bian mau ada kursus,” ucap Anna pada ibunya.

Bian mengangguk lalu berpamitan pada Miranda, sementara Anna mengantarnya sampai masuk mobil.

“Janji cuma tiga hari ya,” ucap Bian sembari memeluk Anna.

Anna mengangguk lalu mengelus punggung Bian. “Jangan lupa beliin bunga buat Eve, dia suka bunga.”

“Dih sok tau!” cibir Bian.

“Tau dong, aku baca artikel yang bahas soal dia.”

“Jangan nyoba comblangin aku sama Eve, aku cintanya cuma sama kamu!”

Anna tertawa mendengar tanggapan Bian lalu mengangguk. “Iya, hati-hati…” ucap Anna sebelum ia berlari masuk lebih dulu agar Bian bisa segera pergi.

***

Bian terdiam bingung memilih bunga yang mana. Ia hanya ingin membeli bungan untuk Anna dan bukan Eve. Eve cantik, tapi sayang hati Bian sudah berlabuh pada Anna. Akhirnya ia memilih random saja, toh ia tak berharap apa-apa.

“Kak Bian!” sambut Eve dengan ceria ketika Bian sampai di restoran.

“Ini…” Bian langsung memberikan bunganya pada Eve.

Eve tersenyum sumringah menerima bunga pemberian Bian. Ini adalah hal yang paling membuatnya bahagia dan merasa semakin dekat dengan Bian.

“Terimakasih,” lirih Eve sambil tersenyum sumringah. “Oh iya aku bikin cookies!” ucap Eve lalu mengeluarkan sebuah kotak dari paper bag yang ia bawa.

Bian menerimanya lalu meletakkannya kembali.

“Aku gak tau Kak Bian suka apa, tapi menurutku semua orang suka coklat,” ucap Eve ceria dan berusaha membuka pembicaraan bersama Bian.

Bian mengangguk dan enggan menanggapi ucapan Eve. Ia benar-benar hanya ingin makan lalu pulang atau menjalani kegiatannya yang lain. Eve terus mencoba mencari bahan obrolan, ia begitu ingin dekat dan dapat menyentuh Bian.

“Apa biasanya kamu seperti ini juga?” tanya Bian yang tiba-tiba buka suara dan membuat Eve terdiam.

Baca juga Bab 74 – Hamil

“A-apa maksudnya?” tanya Eve.

“Biasanya perempuan akan lebih banyak diam saat kencan,” ucap Bian yang malah membuat Eve tersipu.

Eve senang Bian menghitung makan kali ini sebagai kencan pertamanya dan lebih dari sekedar makan siang bersama. Tak selang lama makanan yang di pesan datang. Bian terlihat tidak terlalu suka dengan potongan wortel, kentang, brokoli yang menghiasi piring steaknya.

“Kak Bian gak suka sayur?” tanya Eve lembut.

Bian terdiam, Eve langsung mengambil sayuran yang ada di piringnya lalu memotongkan setengah dari daging miliknya dan memberikannya pada Bian.

“Aku suka sayur,” ucap Eve sembari tersenyum karena Bian terlihat sedikit kaget dengan apa yang ia lakukan.

Bian menyunggingkan senyum di sudut bibirnya. Ia jadi teringat pada Anna yang akan mengomel jika ia tak mau memakan sayurnya. Tapi sekarang ada Eve yang mau memakan sayuran di piringnya.

“Sebenarnya aku kurang suka sayur dan buah,” ucap Bian lalu melanjutkan makannya.

Eve tersenyum lalu mengangguk. Akhirnya Bian mau bicara dengannya dan menceritakan sedikit tentang dirinya. Ini hal yang sulit mengetahui informasi soal Bian selain kepiawaiannya bermain basket. Ia jarang sekali memiliki pemberitaan yang membahas soal dirinya sendiri. Artikel soal Bian juga selalu berputar-putar pada bisnis keluarganya dan mereka sangat tertutup soal urusan pribadinya.

“Setelah ini Kak Bian ada acara apa?” tanya Eve lembut.

“Ke pesta Jefri, keluarga Jager,” jawab Bian singkat.

Eve menunjukkan undangan yang ia peroleh di ponselnya. “Aku juga,” ucap Eve yang merasa memiliki kebetulan yang beruntung meskipun tanpa kebetulan itu sendiri ia dan Bian sudah berada dalam kelas sosial yang sama. “Kak Bian mau kesana bareng aku?” tanya Eve dengan lembut.

Bian terdiam sejenak lalu mengangguk. Ia yakin Anna akan memahaminya dan mengerti kondisinya. Jadi bagi Bian pergi dengan Eve sebentar tidak akan merubah apapun. Selain itu pergi ke pesta sendirian juga akan terasa membosankan.

“Kita pergi sekarang?” tanya Bian.

Eve mengangguk dengan ragu. Sebenarnya ia masih ingin berdandan terlebih dahulu. Mendatangi pesta dengan pakaian santai, celana pendek dan kaos baseball akan membuatnya terlihat tidak sopan. Tapi bian juga terlihat santai dengan kaos dan celana kain yang ia gunakan.

“Aku harus memakai jas, ini tidak sopan,” ucap Bian yang langsung membuat Eve bernafas lega.

“Aku juga akan mengenakan gaun,” ucap Eve sambil tersenyum sumringah laga ternyata Bian juga memikirkan kesopanannya.

“Kita bertemu disana saja kalau begitu,” putus Bian sembari menyuapkan makanan terakhirnya sementara Eve tak menghabiskan makan siangnya.

Eve masih duduk berhadapan dengan Bian berharap ada obrolan setelah makan. Namun Bian tampak begitu serius dengan ponselnya. Wajahnya yang semula tenang sekarang terlihat marah. Eve tak berani bertanya. Tak berselang lama Bian bangkit dari duduknya lalu pergi begitu saja meninggalkan Eve.

Para pelayan dan manager restoran membuntuti Bian dan berusaha membukakan pintu untuknya. Eve melihat dengan jelas betapa berpengaruhnya Bian disana. Selain ini masih restoran milik keluarga Bian, Bian juga terlihat lebih berwibawa ketika sedang serius dan itu yang membuat Eve makin cinta.

“Angkat Na!” kesal Bian yang terus menelfon Anna yang tiba-tiba tak bisa ia hubungi setelah pesan terakhirnya.

Bian benar-benar kelabakan. Ia ingin menemui Anna, tapi perjalanan ke rumah Anna hampir 1 jam dan Bian masih harus datang ke pesta dan menghadiri acara lainnya. Bian benar-benar di buat frustasi dan marah tapi ia tak bisa berbuat banyak.

Bian benar-benar tak bisa tenang karena Anna yang tak ada dalam jangkauan dan pengawasannya lagi. Perasaan Bian benar-benar dibuat begitu campur aduk ketika Anna tak bisa ia kendalikan. Sejujurnya daripada memarahi Anna sebenarnya Bian lebih senang ketika kekasihnya itu bisa jauh lebih patuh padanya itu saja.

***

Anna kesal dengan Bian yang terus menuduhnya. Ia memang hanya sedikit menggertak soal mengabulkan tuduhan Bian, hanya sebatas agar Bian berhenti menuduhnya saja. Anna tak bisa benar-benar menjadi seburuk yang Bian pikirkan. Setelah gertakan itu pula, Anna dan Lidia langsung pulang. Keduanya juga sama-sama tak memiliki pilihan untuk pergi karena Miranda sedang tidak enak badan dan bepergian dengan mobil double cabin keliling kota bukan pilihan yang baik karena sulit mencari tempat parkir.

“Aku pulang!” seru Lidia dengan ceria. “Ibu…” panggil Lidia sembari mencari Miranda yang tak ada di kamar.

Anna ikut masuk namun tak berselang lama Lidia menjerit histeris mendapati Ibunya terpeleset di kamar mandi.

“Ibu!” jerit Anna dan Lidia yang begitu panik.

Anna dan Lidia ingin mengangkat tubuh Miranda tapi terlalu takut jika apa yang mereka lakukan akan membawa dampak yang lebih berbahaya. Anna berusaha tenang dan langsung mengambil ponselnya untuk memanggil ambulance. Meskipun ia juga berurai air mata dan di selimuti kekhawatiran. 

Bab 09 – Makan Siang-2


74
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share