Bab 18
Arif terus memikirkan soal
omongan Nana kalau ia tak pernah menikah. Tak mungkin ada mukjizat yang sama
seperti Bunda Maria di zaman sekarang. Apa mungkin Nana di perkosa? Tapi
sepertinya bila pemerkosaan tak mungkin Nana bisa sesayang dan tulus pada Alif.
Tapi bagaimana bila hamil duluan?
Ah rasanya mana mungkin! Nana saja sering menjaga pandangan dan berpakaian
tertutup begitu. Tidak mungkin wanita seperti Nana dulunya nakal.
Mustahil pula kalau Nana hamil gara-gara
berenang di kolam renang umum saat ada pria onani dan spermanya nyasar. Ah
konyol sekali!
"Masa iya pak Janto... " gumam
Arif lalu buru-buru beristighfar sebelum pikirannya makin kacau dan makin suudzon
tak jelas.
●●●
Sudah satu minggu Nana tinggal di rumah om
tantenya lagi bersama Alif.
Alif tampak bahagia meskipun kerap
menanyakan soal pak Janto dan merindukan temannya di rumah. Alif sering
menonton TV juga tanpa harus mengkode-kode dulu bila ingin menonton sesuatu.
Alif juga bisa makan dengan lauk yang lebih beragam dan porsi yang banyak.
Nana juga ikut senang bisa kembali tinggal
di rumah om tantenya dan tinggal fokus saja dengan persiapannya untuk kuliah.
Meskipun Nana juga merindukan bapaknya dan mengkhawatirkan rumah yang tak
terurus. Nana berusaha bertahan agar apa yang ia cita-citakan dan inginkan bisa
terwujud.
"Mama... Bapak lagi apa ya? "
tanya Alif yang mengikuti Nana yang tengah mencuci piring.
"Lagi jahit... " jawab Nana.
"Aku kok kangen ya... " ucap Alif
lalu memeluk Nana dari belakang. "Kok aku bisa kangen kenapa ya Ma? "
tanya Alif bingung.
"Soalnya adek ga ketemu sama bapak...
" jelas Nana sambil mengeringkan tangannya.
"O begitu ya... " jawab Alif
sambil mengangguk. "Kita ketemu bapaknya kapan? " tanya Alif yang
masih mengikuti mamanya.
"Insyaallah bulan depan ya... Mama mau
belajar, mama mau sekolah lagi kayak adek... Nanti kalo mama sudah mulai
sekolahnya kita ketemu bapak ya... " ucap Nana lalu duduk di depan TV
sambil merapikan mainan Alif.
"Mama apa tidak bekerja? " tanya
Alif.
"Bekerja apa? " jawab Nana yang
tanya balik.
"Ya memasak, bikin es, potong kain...
" jawab Alif sambil ikut merapikan mainan.
Nana hanya tersenyum mendengar Alif yang
begitu pengertian padanya. Belum pernah Nana melihat Alif menangis meminta
sesuatu atau memaksa untuk di belikan sesuatu. Tak ada kerepotan dalam
membesarkan Alif bagi Nana. Sayang Nana tak cukup hati dan berani untuk memberi
tahu siapa ayahnya Alif.
Ah sudahlah mungkin belum saatnya, belum
waktunya.
Nana menarik Alif dalam pelukannya.
"Mama sayang sekali sama adek... " ucap Nana.
"Aku juga sayang mama! " jawab
Alif lalu menepuk kedua pipi tirus Nana.
"Bobo siang yuk... " ajak Nana
sambil menggendong Alif ke kamarnya.
●●●
Wulan terus mendiamkan Aji setelah tau
semuanya. Bukan hanya kecewa dan marah, tapi Wulan juga merasa sedih dan
kecewa. Belum lagi reaksi Eyang saat Wulan menanyakan soal Nana dan anaknya. Wulan kelewat
kesal dan muak di buatnya.
Memang Wulan sangat kejam dan menghalalkan
segala macam cara untuk mempertahankan dinasti politik di keluarganya. Tapi
dari hati nuraninya ia tak bisa membiarkan sesama wanita tersakiti dan berjuang
seorang diri. Apa lagi Nana ini muridnya Aji, sudah jelas usianya pasti jauh
lebih muda darinya.
Bila Wulan yang waktu itu menggugurkan
kandungannya padahal usianya sudah cukup dan pendidikan serta kariernya juga
sudah mantap saja menolak untuk punya anak dengan segala kekhawatiran,
bagaimana sulit dan nelangsanya hidup Nana yang hanya bocah lulusan SMA itu?!
Wulan tak habis pikir bagaimana bisa suaminya yang
ia kira pria baik-baik bisa sekejam itu. Belum lagi pengakuan Aji saat
memfitnah dan mengusir Nana, di tambah Eyang yang merasa sudah membayar Nana sebagai
pelacur untuk memintanya bungkam dan pergi namun uangnya di tolak. Bahkan ibu
mertuanya yang sama-sama perempuan pun saat itu tak membela atau menegur
apa-apa.
Wulan benar-benar kecewa. Tapi ia perlu
banyak informasi juga soal Nana. Kalau-kalau nanti ia muncul dan menjadi bom
waktu untuknya.
"Nyonya... " panggil Hari, ajudan Wulan
yang datang dengan secarik kertas bertuliskan alamat Nana tinggal.
"Tailor? Dia penjahit? " tanya
Wulan heran.
"Bapaknya... Dia pendatang baru di
perumahan... Kabarnya dia punya anak laki-laki namanya Alif, dia jualan cilok,
es, sama beberapa jajan pasar yang di titipkan... "
Wulan tambah kagum dan salut saat mendengar
cerita soal Nana dari Hari yang sudah pontang-panting mencari Nana.
"Kita kesana sekarang... " ucap
Wulan lalu bangun dari duduknya sambil menutup berkas dan berjalan keluar
sambil menenteng tas.
●●●
Arif merasa kesepian sejak Alif tak pernah
terlihat lagi. Biasanya Alif akan salat berjamaah dengannya lalu duduk di
pangkuannya saat berdo'a. Alif juga selalu menemaninya menunggu adzan maghrib
tiap usai TPA. Sekarang sudah tak pernah terlihat lagi.
Ibu-ibu yang biasa mengawasi putra-putrinya
TPA juga sudah berkurang. Bahkan nyaris tak ada lagi. Huft... Mungkin sudah tak
khawatir kalo ada yang datang untuk modus kalo ada Nana di masjid.
Tiap membagi makanan atau jajanan Arif juga
masih saja membagi untuk Alif dan berjaga-jaga siapa tau Alif datang. Tapi ya
tetap saja Alif tak datang.
"Permisi Mas... Mau numpang tanya
rumahnya pak Janto penjahit di mana ya? " tanya seorang pria pada Arif
yang sedang duduk di depan ambang pintu masjid.
"Oh... Iya mas dari pertigaan belok
kiri lurus terus aja... " ucap Arif memberi tahu.
Pria itu mengangguk lalu pergi mengikuti
petunjuk dari Arif usai berucap trimakasih. Tapi tak selang lama bahkan Arif
baru habis baca satu halaman, pria tadi kembali lagi.
"Maaf Mas.... " ucapnya
sambil melambaikan tangan memanggil Arif mendekat.
"Iya Mas? Ada apa? " saut
Arif yang mendekatinya.
"Boleh minta tolong temani kesana?
Saya tidak enak hati kalo di rumahnya cuma ada pak Janto... " pintanya.
Ah
mungkin mau urusan uang jadi butuh saksi... Batin
Arif berkhusnudzon. "Oh iya Mas, bisa..." Arif langsung menyanggupi.
"Mas mau njahitin baju? Apa mau ambil jahitan? " tanya Arif setelah
lalu duduk membonceng.
"Engga Mas, saya mau ketemu Nana
sama Alif... " jawabnya.
"Oh mau kasih bantuan ya? " tanya
Arif lagi.
"Hahaha bukan Mas... Mau ketemu anak...
" jawabnya yang langsung membuat Arif tercengang.
Arif langsung terdiam. "Ah itu mas
belok kiri... " ucap Arif berusaha kembali fokus.
Arif langsung duduk di teras depan
sementara pria itu melepas helem dan jaketnya.
"Mas ini suaminya mama Alif ?"
tanya Arif.
"Bukan... " jawabnya singkat.
"Assalamu'alaikum... " ucapnya.
Tak ada jawaban dari pak Janto meskipun
pintu dan jendelanya terbuka.
"Tunggu dulu Mas, kalo mas bukan
suaminya mama Alif terus anaknya siapa yang mau Mas temui? " tanya
Arif.
"Ya si Alif lah... Saya ini bapaknya
Alif... Tapi saya ga nikah sama Nana... " jawabnya dengan suara yang makin
lirih.
●●●
"Kapan sampainya? " tanya Wulan
tak sabar. Sudah banyak gang sempit dan lingkungan kumuh di lewatinya. Tetap
saja tak kunjung sampai. Bahkan saat kampanye saja ia tak serepot ini.
"Tinggal lurus lalu belok kiri... " jawab Hari, ajudan sekaligus selingkuhan Wulan. [Next]