Pov Beni
:
Tongkrongan
biasanya seru. Aku suka nongkrong dan kumpul bersama teman-temanku, membahas
apa saja sampai ngelantur kemana-mana. Tapi belakangan ini jadi gak asik lagi.
Sekarang aku paham kenapa Arman suka di rumah.
Aku masih
membayangkan di rumah bersama Aya. Melihatnya makan atau eksperimen mencoba
resep-resep yang ia temukan di internet bersama Mama. Atau paling tidak sekedar
mendengarkannya bercerita soal rencananya membuka bisnis kue-kue lucunya.
Tak
berselang lama Arman datang. Ia terlihat ceria seperti biasanya, normal-normal
saja bersama Amar dan Sofia yang mengecek kondisi kios kecilnya yang ada di
depan bengkelku. Semua menanyakan Aya seperti biasa, tapi mendengar jawabanku
soal Aya yang sibuk di Mama mereka tidak banyak tanya lagi. Padahal aku sudah
mengira jika Arman akan banyak komplain dan cerewet seperti biasanya.
“Besok aku
menginap di rumah Om Beni,” ucap Amar memberitauku.
“Oh besok
ya Ayah sama Bunda umroh?” tanyaku memastikan.
Amar
mengangguk sembari memeluk Bundanya.
“Nanti aku
ngajak Kakak ke rumah deh ya,” ucapku lalu mengambil ponselku untuk mengabari Aya.
“Nanti kalo
misalnya di rumahmu repot Amar bisa di rumahku aja, nanti tinggal kamu sama Aya
nengokin doang gapapa, Ben,” ucap Sofia sambil menggenggam tangan Amar.
“Gapapa
gampang nanti bisa di atur, Aya juga kuliahnya enggak padet-padet amat kok. Tenang
aja,” jawabku santai lalu mengambil sebatang rokok yang ada di meja.
“Ben!”
bentak Arman yang tiba-tiba melarangku merokok. “Kalo udah gak sayang Aya
bilang,” ucapnya yang membuatku melepaskan sebatang rokok yang baru ku ambil.
“Ga sayang
gimana?” tanyaku sedikit kesal tiba-tiba di tuduh.
“Katanya
Aya dia pengen punya anak. Kalo kamu gak kooperatif artinya kamu gak pengen punya
anak kan? Kamu gak bener-bener sayang sama Aya kan?”
Gila tuduhannya
Arman ngeri juga. Mau ku pukul, dia sekarang mertuaku. Kalau tidak ku pukul,
kok makin lama makin menyebalkan. Aku hanya bisa mendengus pelan, toh aku baru
merokok sekali ini setelah menikah dengan Aya. Itu juga karena bosan.
“Gak git….”
Belum sempat aku membela diri, ponselku berdering begitu nyaring menerima
telfon dari Aya.
“Om Beni
kesini! Buruan!” panggilnya
dengan suara bergetar.
“Adek
dimana?” tanyaku sedikit panik.
“D-di
rumah… udah pulang nemenin Papa tadi,” jawabnya.
“Iya ini
pulang,” jawabku lalu menarik Adi untuk mengantarku pulang.
“Kenapa
Ben?” tanya Arman kepo.
“Di cari
Aya,” jawabku sekenanya agar Arman tidak ikut campur dan aku yang sudah muak
selalu di tuduh olehnya atas hal-hal yang bahkan tak pernah terlintas di
pikiranku.
***
Aya
langsung berlari menyambutku dan memelukku erat sambil menangis. Aku tidak tau
apa yang membuatnya menangis hingga seperti ini. Aku sudah khawatir kalau Mama
atau Papa membuatnya tersinggung hingga sedih begini. Tapi setauku sebelumnya
Aya dan keluargaku baik-baik saja, perasaanku semakin tidak beres.
“Adek
kenapa?” tanyaku khawatir sembari mengelus punggungnya dengan lembut.
Aya hanya
menggeleng sambil memelukku dengan erat. Aku menggendongnya lalu membawanya
masuk dan duduk dalam pangkuanku di sofa.
“Om Beni,
aku hamil…” ucapnya lirih seiring dengan Mama dan Papa yang muncul dengan wajah
yang sumringah menunjukkan foto USG dan test pack dengan hasil positif dengan
penuh kegembiraan.
Aku hanya bisa
bernafas lega lalu ikut tersenyum sumringah sembari memeluk erat Aya.
“Ya Allah,
Adek. Kirain kenapa…” ucapku sembari menerima test pack dan sebuah foto USG.
“Terus ini
gimana?” tanya Aya yang membuatku tertawa.
“Ya gapapa,
hamil bagus dong!” jawabku lalu mencium bibirnya lalu kembali mendekapnya. “Aku
seneng banget, Alhamdulillah Ya Allah,” lanjutku lalu mencium keningnya.
“Tapi kita
kan belum resepsi,” lirihnya lagi sambil membenamkan wajahnya di tengkukku.
“Gapapa,
santai aja. Nanti bisa di atur,” jawabku menenangkannya sembari memandangi
hasil USGnya.
“Ma, besok
Amar mau di titipin kesini,” ucapku yang teringat soal Amar.
“Besok ya
Bunda sama Ayah umrohnya?” tanya Aya yang langsung ku angguki.
“Kamu
santai aja, nanti di urus sama-sama biar ga capek,” saut Mama lalu mengambil
kembali foto USGnya dan langsung memasangnya di album foto yang baru di beli
Papa.
Aku
memandangi Aya yang masih berlinangan airmata lalu menyekanya. “Kenapa masih
nangis?” tanyaku.
“Takutnya
Om Beni gak siap kalo aku hamil, terus takut kalo…”
“Stt… udah
ga ada yang perlu di khawatirin. Adek hamil Om Beni seneng, kan aku juga yang
bikin hamil,” selaku sebelum Aya semakin overthinking.
Aya
mengangguk lalu tersenyum. “Tapi ga bisa dapet jatah dulu loh,” ucapnya yang
membuatku tersipu.
“I-iya, kan
ada babynya. Masih kecil banget jadi belum bisa minta jatah. Aku ngerti
kok, aku banyak belajar soal kehamilan sebelumnya.”
Aya tersenyum
lalu mengangguk dan kembali memelukku.
“Nanti
pulang yuk, ngabarin orang tuamu juga sekalian,” ajakku yang hanya di angguki
oleh Aya.
Ini cucu
pertama bagi keluarga Aya. Berbeda dengan keluargaku yang sudah menjadi cucu ke-8
namun tetap saja Mama dan Papa semangat.
“Jadi dari
kemarin gampang capek, gampang lemes gara-gara hamil?” tanyaku memastikan.
Aya
mengangguk dengan wajah yang mulai bersemu. Aku tertawa kecil lalu mengelus
punggungnya.
“Maaf ya,
aku ga tau kalo udah hamil,” ucapku sembari mendekap Aya lagi dengan erat. “Tapi
sehat, kan?” tanyaku memastikan.
Aya kembali
mengangguk sambil tersenyum. “Sehat, dia kuat kayak Suamiku,” jawab Aya sembari
mengecup pipiku.
Aku
bernafas lega lalu mencium pipi dan bibirnya dengan lembut. Aya bangun lalu duduk
sendiri di sampingku. Aku masih ingin memangkunya dan mendekapnya.
“Adek Aya ngidam
belum? Pengen apa?” tanya Mama penuh perhatian seperti biasanya.
Aya
menggeleng. “Belum, ga pengen apa-apa Ma,” jawabnya lembut.
“Mau lanjutin
makan gyozanya tadi?” tawar Mama.
Aya
menatapku.
“Makan, kan
ada babynya juga,” jawabku lalu mengecup keningnya dan menggandeng Aya
ke ruang makan.
***
Kami pulang
ke rumah orang tua Aya. Mama membawakan gyoza buatannya untuk keluarga Aya
juga. Amar sudah jauh lebih baik padaku dari pada terakhir saat kami datang. Sepertinya
dulu ia hanya merindukan Kakaknya saja. Amar sudah langsung menunjukkan ini dan
itu padaku seperti biasanya. Sementara Aska baru saja datang bersama calon tunangannya
untuk makan malam bersama kali ini.
“Ini Fira,”
ucap Aska memperkenalkan tunangannya secara resmi sebelum mulai makan malam.
Sofia dan
Aya tersenyum mendengarnya. Arman ikut tersenyum lalu mengangguk. Responnya
benar-benar berbeda jika menerima calon laki-laki. Yasudah lah yang penting
sekarang aku sudah resmi menikah dengan Aya.
“Jadi kapan
mau di lamar resmi?” tanya Arman to the poin.
Fira
tersenyum sungkan, begitu pula dengan Aska.
“Pengennya
cepet, Yah. Sebelum wisuda gitu,” jawab Aska.
Arman
mengangguk begitu pula dengan Sofia. Setelahnya hanya ada pembahasan soal
lamaran dan hubungan Aska dan Fira. Sampai istriku menyela untuk mengabari soal
kehamilannya.
“Oh iya
Yah, aku hamil loh,” ucap Aya sembari menunjukkan foto USG yang ada di
ponselnya.
Arman
menganga kaget. Aska juga kaget begitu pula dengan Amar yang ikut kaget. Sofia
tersenyum sumringah mendengarnya.
“Kapan
periksa? Kok gak langsung ngabarin?” tanya Arman.
“Tadi, aku
iseng ikut mertuaku cek kesehatan. Eh ga taunya udah hamil,” jawab Aya.
Semua orang langsung fokus pada Aya dan kehamilannya. Fira yang semula terlihat senang dan bahagia perlahan jadi diam dan terlihat begitu dingin. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia hanya canggung, tapi sudahlah bukan urusanku. [Next]
0 comments