BLANTERORBITv102

Bab 39 – Positiv

Sabtu, 27 Juli 2024


Pov Beni :

Tongkrongan biasanya seru. Aku suka nongkrong dan kumpul bersama teman-temanku, membahas apa saja sampai ngelantur kemana-mana. Tapi belakangan ini jadi gak asik lagi. Sekarang aku paham kenapa Arman suka di rumah.

Aku masih membayangkan di rumah bersama Aya. Melihatnya makan atau eksperimen mencoba resep-resep yang ia temukan di internet bersama Mama. Atau paling tidak sekedar mendengarkannya bercerita soal rencananya membuka bisnis kue-kue lucunya.

Tak berselang lama Arman datang. Ia terlihat ceria seperti biasanya, normal-normal saja bersama Amar dan Sofia yang mengecek kondisi kios kecilnya yang ada di depan bengkelku. Semua menanyakan Aya seperti biasa, tapi mendengar jawabanku soal Aya yang sibuk di Mama mereka tidak banyak tanya lagi. Padahal aku sudah mengira jika Arman akan banyak komplain dan cerewet seperti biasanya.

“Besok aku menginap di rumah Om Beni,” ucap Amar memberitauku.

“Oh besok ya Ayah sama Bunda umroh?” tanyaku memastikan.

Amar mengangguk sembari memeluk Bundanya.

“Nanti aku ngajak Kakak ke rumah deh ya,” ucapku lalu mengambil ponselku untuk mengabari Aya.

“Nanti kalo misalnya di rumahmu repot Amar bisa di rumahku aja, nanti tinggal kamu sama Aya nengokin doang gapapa, Ben,” ucap Sofia sambil menggenggam tangan Amar.

“Gapapa gampang nanti bisa di atur, Aya juga kuliahnya enggak padet-padet amat kok. Tenang aja,” jawabku santai lalu mengambil sebatang rokok yang ada di meja.

“Ben!” bentak Arman yang tiba-tiba melarangku merokok. “Kalo udah gak sayang Aya bilang,” ucapnya yang membuatku melepaskan sebatang rokok yang baru ku ambil.

“Ga sayang gimana?” tanyaku sedikit kesal tiba-tiba di tuduh.

“Katanya Aya dia pengen punya anak. Kalo kamu gak kooperatif artinya kamu gak pengen punya anak kan? Kamu gak bener-bener sayang sama Aya kan?”

Gila tuduhannya Arman ngeri juga. Mau ku pukul, dia sekarang mertuaku. Kalau tidak ku pukul, kok makin lama makin menyebalkan. Aku hanya bisa mendengus pelan, toh aku baru merokok sekali ini setelah menikah dengan Aya. Itu juga karena bosan.

“Gak git….” Belum sempat aku membela diri, ponselku berdering begitu nyaring menerima telfon dari Aya.

“Om Beni kesini! Buruan!” panggilnya dengan suara bergetar.

“Adek dimana?” tanyaku sedikit panik.

D-di rumah… udah pulang nemenin Papa tadi,” jawabnya.

“Iya ini pulang,” jawabku lalu menarik Adi untuk mengantarku pulang.

“Kenapa Ben?” tanya Arman kepo.

“Di cari Aya,” jawabku sekenanya agar Arman tidak ikut campur dan aku yang sudah muak selalu di tuduh olehnya atas hal-hal yang bahkan tak pernah terlintas di pikiranku.

***

Aya langsung berlari menyambutku dan memelukku erat sambil menangis. Aku tidak tau apa yang membuatnya menangis hingga seperti ini. Aku sudah khawatir kalau Mama atau Papa membuatnya tersinggung hingga sedih begini. Tapi setauku sebelumnya Aya dan keluargaku baik-baik saja, perasaanku semakin tidak beres.

“Adek kenapa?” tanyaku khawatir sembari mengelus punggungnya dengan lembut.

Aya hanya menggeleng sambil memelukku dengan erat. Aku menggendongnya lalu membawanya masuk dan duduk dalam pangkuanku di sofa.

“Om Beni, aku hamil…” ucapnya lirih seiring dengan Mama dan Papa yang muncul dengan wajah yang sumringah menunjukkan foto USG dan test pack dengan hasil positif dengan penuh kegembiraan.

Aku hanya bisa bernafas lega lalu ikut tersenyum sumringah sembari memeluk erat Aya.

“Ya Allah, Adek. Kirain kenapa…” ucapku sembari menerima test pack dan sebuah foto USG.

“Terus ini gimana?” tanya Aya yang membuatku tertawa.

“Ya gapapa, hamil bagus dong!” jawabku lalu mencium bibirnya lalu kembali mendekapnya. “Aku seneng banget, Alhamdulillah Ya Allah,” lanjutku lalu mencium keningnya.

“Tapi kita kan belum resepsi,” lirihnya lagi sambil membenamkan wajahnya di tengkukku.

“Gapapa, santai aja. Nanti bisa di atur,” jawabku menenangkannya sembari memandangi hasil USGnya.

“Ma, besok Amar mau di titipin kesini,” ucapku yang teringat soal Amar.

“Besok ya Bunda sama Ayah umrohnya?” tanya Aya yang langsung ku angguki.

“Kamu santai aja, nanti di urus sama-sama biar ga capek,” saut Mama lalu mengambil kembali foto USGnya dan langsung memasangnya di album foto yang baru di beli Papa.

Aku memandangi Aya yang masih berlinangan airmata lalu menyekanya. “Kenapa masih nangis?” tanyaku.

“Takutnya Om Beni gak siap kalo aku hamil, terus takut kalo…”

“Stt… udah ga ada yang perlu di khawatirin. Adek hamil Om Beni seneng, kan aku juga yang bikin hamil,” selaku sebelum Aya semakin overthinking.

Aya mengangguk lalu tersenyum. “Tapi ga bisa dapet jatah dulu loh,” ucapnya yang membuatku tersipu.

“I-iya, kan ada babynya. Masih kecil banget jadi belum bisa minta jatah. Aku ngerti kok, aku banyak belajar soal kehamilan sebelumnya.”

Aya tersenyum lalu mengangguk dan kembali memelukku.

“Nanti pulang yuk, ngabarin orang tuamu juga sekalian,” ajakku yang hanya di angguki oleh Aya.

Ini cucu pertama bagi keluarga Aya. Berbeda dengan keluargaku yang sudah menjadi cucu ke-8 namun tetap saja Mama dan Papa semangat.

“Jadi dari kemarin gampang capek, gampang lemes gara-gara hamil?” tanyaku memastikan.

Aya mengangguk dengan wajah yang mulai bersemu. Aku tertawa kecil lalu mengelus punggungnya.

“Maaf ya, aku ga tau kalo udah hamil,” ucapku sembari mendekap Aya lagi dengan erat. “Tapi sehat, kan?” tanyaku memastikan.

Aya kembali mengangguk sambil tersenyum. “Sehat, dia kuat kayak Suamiku,” jawab Aya sembari mengecup pipiku.

Aku bernafas lega lalu mencium pipi dan bibirnya dengan lembut. Aya bangun lalu duduk sendiri di sampingku. Aku masih ingin memangkunya dan mendekapnya.

“Adek Aya ngidam belum? Pengen apa?” tanya Mama penuh perhatian seperti biasanya.

Aya menggeleng. “Belum, ga pengen apa-apa Ma,” jawabnya lembut.

“Mau lanjutin makan gyozanya tadi?” tawar Mama.

Aya menatapku.

“Makan, kan ada babynya juga,” jawabku lalu mengecup keningnya dan menggandeng Aya ke ruang makan.

***

Kami pulang ke rumah orang tua Aya. Mama membawakan gyoza buatannya untuk keluarga Aya juga. Amar sudah jauh lebih baik padaku dari pada terakhir saat kami datang. Sepertinya dulu ia hanya merindukan Kakaknya saja. Amar sudah langsung menunjukkan ini dan itu padaku seperti biasanya. Sementara Aska baru saja datang bersama calon tunangannya untuk makan malam bersama kali ini.

“Ini Fira,” ucap Aska memperkenalkan tunangannya secara resmi sebelum mulai makan malam.

Sofia dan Aya tersenyum mendengarnya. Arman ikut tersenyum lalu mengangguk. Responnya benar-benar berbeda jika menerima calon laki-laki. Yasudah lah yang penting sekarang aku sudah resmi menikah dengan Aya.

“Jadi kapan mau di lamar resmi?” tanya Arman to the poin.

Fira tersenyum sungkan, begitu pula dengan Aska.

“Pengennya cepet, Yah. Sebelum wisuda gitu,” jawab Aska.

Arman mengangguk begitu pula dengan Sofia. Setelahnya hanya ada pembahasan soal lamaran dan hubungan Aska dan Fira. Sampai istriku menyela untuk mengabari soal kehamilannya.

“Oh iya Yah, aku hamil loh,” ucap Aya sembari menunjukkan foto USG yang ada di ponselnya.

Arman menganga kaget. Aska juga kaget begitu pula dengan Amar yang ikut kaget. Sofia tersenyum sumringah mendengarnya.

“Kapan periksa? Kok gak langsung ngabarin?” tanya Arman.

“Tadi, aku iseng ikut mertuaku cek kesehatan. Eh ga taunya udah hamil,” jawab Aya.

Semua orang langsung fokus pada Aya dan kehamilannya. Fira yang semula terlihat senang dan bahagia perlahan jadi diam dan terlihat begitu dingin. Entah apa yang ada di pikirannya. Mungkin ia hanya canggung, tapi sudahlah bukan urusanku. [Next]



Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.