Bab 16
"Mas ustadz... Hari ini Alif ga dateng lagi, dah empat hari... " lapor Sita anak marbot masjid yang ikut membantu mengajar di TPA.
"Siapa lagi yang absen? " tanya
Arif.
"Lengkap... Cuma Alif... "
jawabnya sambil menyerahkan buku absen.
"Alhamdulillah kalo yang lain masih
semangat... " Arif mengecek absensi. "Selama saya tinggal pulang
kampung ada kesulitan apa? " tanya Arif sambil menatap Sita sekilas.
"Ah... Itu... Biasa ya... Ya... Kayak
biasanya... Ga ada masalah apa-apa mas... " jawab Sita yang jadi salah
tingkah.
Masyaallah
mas ustadz tanya keadaanku segala... Apa khawatir ya... Aduh mas ustadz... Batin Sita yang memang sejak awal jatuh hati pada Arif.
"Alhamdulillah kalo ga ada masalah
apa-apa ya... Soal Alif nanti kalo ada waktu biar mas aja yang ngomong kalo ada
waktu... Oh iya ngomong-ngomong kamu dah coba tanya ke pak Janto ato ibunya
Alif? " tanya Arif lalu menutup buku absen dan memasukkan kedalam tasnya.
"Ga sempat Mas tanya-tanya, pak Janto
kalo kemesjid solat langsung pulang... Mau nyetopin malu... Kalo sama mbak Nana
jarang ketemu kayaknya sibuk terus... " Sita langsung beralasan, karena
memang sebenarnya ia sangat senang ketika Alif tidak datang malah ia berharap
Alif tidak TPA lagi.
Selain pola pikir yang masih kolokan dalam
kepala Sita, ia juga merasa harus bersaing dan memiliki saingan bila Nana
berpotensi datang ke masjid entah urusan apapun itu. Sita tak mau cita-citanya
untuk memiliki Arif yang jarak umurnya terpaut sekitar delapan taun itu lebih memilih Nana ketimbang dirinya. Apa
lagi isu yang beredar kalo Nana seorang janda, miskin pula. Sudah jelas Arif
lebih memilih Nana yang terlunta-lunta itu. Sita jelas tak tinggal diam melihat
hal tersebut.
"T-tapi biar saya aja Mas yang ngomong
sama mbak Nana... " ucap Sita panik sebelum Arif turun tangan menemui Nana
atau siapalah yang berhubungan dengan Alif.
"Aku baru tau kalo nama ibunya Alif
Nana... " ucap Arif sambil menganggukkan kepalanya. "Yaudah kalo gitu
gapapa... Bilangin baik-baik ya... "
"Sebenarnya semua data wali ada kok
mas catatannya, coba aja di cek di berkasnya ustadzah Asnia dulu... " ucap
Sita yang benar-benar senang bila bisa memberi informasi atau membimbing Arif
begini. One step closer ! Begitulah
rasanya bagi Sita.
Arif langsung mengangguk dengan senyum yang
begitu sumringah. "Ow oke nanti saya cek... Makasih ya Sita... Saya
duluan... " ucap Arif yang sudah tak sabar ingin mencari info soal Alif.
Arif sudah tak sabar ingin tau bagaimana
latar belakang Alif, selain karena ia begitu gemas dan menyukai Alif. Melihat
Alif di bully dan berinteraksi
seperti bercermin pada masa lalunya dulu. Seperti melihat dirinya kembali. Tapi
sayangnya apa yang di rasakan Arif di tangkap berbeda oleh Sita yang menganggap
kalau Arif memberikan lampu hijau padanya.
Sita langsung melangkah pulang sementara
Arif sibuk mencari buku data siswanya. Ada foto Alif yang tersenyum ceria
bahkan saat foto yang seharusnya formal.
"Gemesin amat sih kamu Lif... "
gumam Arif yang gemas pada Alif.
Diperhatikan semua data diri Alif sampai
Arif cukup terperanjat saat nama ayah Alif di kosongi. Hanya ada ibunya saja.
Itu berarti benar gosip bila pak Janto itu sebenarnya kakeknya Alif. Tapi
kemana ayahnya? Pertanyaan itu terus menghantui pikiran Arif. Tapi paling tidak
sekarang ia punya nomor telepon ibunya Alif jadi ia bisa bertanya atau
mengingatkannya untuk mengantar Alif TPA.
Masa
iya Alif ga punya ayah? Apa bener kalo ibunya hamil di luar nikah? Batin Arif yang jadi bertanya-tanya bahkan mulai su'udzon.
"Astagfirullah hal adzim... Mikir apa
sih aku... " gumam Arif sambil mengusap wajahnya dan geleng-geleng kepala
berusaha mengusir pikiran buruknya.
●●●
Nana memikirkan banyak hal sebelum akhirnya
memilih untuk pindah saja. Awalnya Nana malah memikirkan untuk memberikan
kesempatan kedua pada Aji. Tapi mengingat Aji yang mengabaikannya setelah
sekian lama dan tak pernah memberi kabar atau mengiriminya entah apapun itu
membuat Nana kembali menangguhkan hatinya untuk tidak kembali.
Nana sengaja ikut ke masjid untuk mengantar
Alif ke TPA hari ini. Rencananya Nana ingin berpamitan pada pengajar Alif
sekaligus menyampaikan bila Alif dan dirinya akan pindah.
Nana juga sudah mulai membicarakan tentang
rencananya ini pada om tantenya yang jelas di sambut dengan hangat. Bahkan om
tantenya juga sudah siap bila harus menyekolahkan Alif di sana nantinya. Sudah
ada TK yang di pilih Yuni untuk Alif. Bahkan kamar untuk Nana dan Alif juga
sudah di siapkan. Ada sepeda roda empat juga yang sudah di beli meskipun bekas,
untuk Alif nantinya.
Arif tampak senang dan begitu sumringah
saat melihat kedatangan Nana yang mengantar Alif. Nana juga duduk diam di luar
masjid menunggu Alif. Mengabaikan gunjingan yang kembali berdengung dari mulut
ibu-ibu di sekitarnya.
"Ku kira dah murtad..." sindir
seorang ibu pada Nana.
"Kemarin aku baru sibuk ngurus mau
pindah bu... Jadi ga bisa ke TPA... " ucap Nana yang akhirnya menanggapi
sindiran ibu-ibu di sekitar.
Para ibu yang tadinya begitu benci dengan
Nana langsung mendekat dengan wajah sumringah dan senang.
"Loh kok pindah? " tanya salah
seorang ibu.
"Alif butuh sekolah, aku juga masih
mau kuliah... Jadi mungkin mau pindah kerumah om lagi biar aku sama Alif bisa sekolah juga...
" jelas Nana. "Sebenarnya aku suka tinggal di sini... Aku bisa
jualan, bisa mandiri... Alif juga bisa TPA... Ada temen mainnya... "
sambung Nana yang membuat para ibu jadi terenyuh dan merasa malu sendiri.
"Mama... " panggil Alif yang
sudah selesai mengaji sambil melambaikan tangan pada Nana yang dari tadi di
perhatikannya.
Nana ikut melambaikan tangan sambil
tersenyum. Arif ikut memperhatikan interaksi Nana dan Alif yang begitu hangat.
Entah Nana yang super sabar dan kuat, atau memang sengaja menyembunyikan siapa
suaminya pertanyaan itu masih menghantui Arif.
"Terus pindahnya kapan? " tanya
salah seorang ibu.
"Insyaallah besok di jemput... Tapi
nanti masih sering ke sini kok. Kan bapak masih di sini... " jawab Nana.
Beberapa ibu merasa sedih, tapi lebih banyak
merasa senang tau bila Nana pindah. Tidak ada lagi kekhawatiran suaminya genit
atau anak laki-lakinya berebut mengejar Nana lagi. Tidak ada yang perlu
modus-modusan lagi ke Nana yang bahkan tak punya waktu untuk meladeni.
"Do'ain ya bu biar keterima kuliah...
" pinta Nana tulus yang langsung di amini.
"Jadi ini nanti terakhir dong TPA-nya?
"
"Insyaallah begitu..." jawab Nana
sedih.
Tak selang lama TPA selesai. Beberapa anak
yang di tunggu ibunya sudah langsung pulang. Bahkan ada ibu yang sengaja
buru-buru pulang agar bisa segera membagi kabar baik soal Nana yang pindah pada
yang lain. Beberapa anak yang masih piket tetap berada di masjid, ada yang
menyapu ada yang menggelar sajadah sebelum pulang. Alif sendiri memang biasa di
masjid sampai maghrib usai.
Biasanya Alif akan belajar mengaji lagi,
kalau tidak dia akan mengintili ustadz sambil bertanya ini dan itu. Mendengar
cerita atau tiba-tiba minta di gendong atau di peluk begitu saja. Awalnya
ustadz Arif memang bingung dengan yang Alif lakukan dan minta. Tapi lama-lama
ia terbiasa malah kadang merasa kehilangan bila Alif tidak ada untuk menunggu
adzan maghrib.
"Mama Alif... " sapa ustadz Arif
yang begitu senang akhirnya ada waktu untuk bicara dengan Nana.
"Mas ustadz biar Sita aja yang ngomong
sama mbak Nana... " ucap Sita yang tau bila Arif akan bicara dengan Nana.
"Tidak usah... Kamu pulang saja...
Trimakasih sudah di bantu ya... " jawab Arif sambil menggandeng Alif
berjalan menghampiri Nana.
Sita langsung sedih dan cemburu begitu
mendengar jawaban Arif barusan. Ia yang awalnya berusaha menaruh simpati pada
Nana langsung lenyap begitu saja. Rasanya apa yang sudah Nana lalui tetap tak
setimpal menderitanya bagi Sita yang tengah kalab begini.
"Saya mau tanya seputar Alif... "
ucap Arif membuka obrolan dengan Nana.
"Ah iya kebetulan... " jawab Nana
sambil sedikit tersenyum, bukan untuk Arif senyum itu tersungging tapi untuk
Sita yang melengos di depannya.
Manis
sekali mama Alif ini... Batin Arif terpesona. [Next]