Bab 30
Kling! Kling! Kling! Beberapa notifikasi
pesan dan panggilan masuk begitu banyak pagi ini ke ponsel Nana. Tapi Nana yang
langsung sibuk menyiapkan dagangannya jelas tidak memperhatikan notifikasi di
ponselnya.
"Assalamu'alaikum... Na... "
panggil Arif yang datang sambil membawa beberapa gulungan karton.
"Wa'alaikumsalam... " jawab Alif
yang menemui Arif. "Wah ustadz ke sini terus... " ucap Alif.
"Hehe iya... Mama mana? " tanya
Arif.
"Mama memasak... Bapak lagi ke pasar
beli benang... " jawab Alif.
"Adek... Mandi! " panggil Nana
lalu berjalan keluar dengan handuk yang tersampir di bahunya. "Eh Mas... " ucap
Nana sedikit kaget lalu menutupi rambutnya dengan handuk.
"I-ini... Aku beli poster abjad...
Sama buku buat Alif... " jawab Arif menyerahkan bawaannya pada Alif.
"Wah! " pekik Alif lalu masuk.
"Aduh Mas repot-repot... " ucap
Nana yang merasa sungkan.
"Gapapa... Aku langsung ya... "
ucap Arif yang tak enak hati sudah mengganggu Nana pagi-pagi begini dan
langsung berjalan kembali ke masjid.
Nana kembali melanjutkan aktivitasnya, tapi
saat ia mendengar ada panggilan masuk ke ponselnya ia memilih untuk mengangkat
panggilan itu sejenak. Tapi begitu Nana akan mengangkat panggilan masuk itu
tiba-tiba terpurus.
"Ayo mandi dulu... Nanti belajar
baca... " ucap Nana yang kembali meletakkan ponselnya.
●●●
Usai mandi dan menyuapi Alif, Nana kembali
menyelesaikan jahitannya yang tinggal finishing. Baru Nana menemani Alif,
mengajarinya mengenal abjad dan membaca. Alif tak bosan-bosan untuk belajar,
bahkan rasanya menghafalkan abjad dengan menyayi begitu mudah bagi Alif. Sampai
suara dering ponsel Nana kembali terdengar, masih banyak pesan masuk yang lupa
di bukannya dari tadi.
"Alif... Alif... " panggil Doni
yang datang dengan sepedanya.
"Mama ada Doni aku mau main dulu ya...
" ucap Alif meminta ijin.
"Iya, hati-hati... " jawab Nana
sambil menatap ponselnya.
Nana langsung masuk kedalam kamar, melihat
hampir dua puluhan pesan masuk ke ponselnya. Di bacanya dari atas hingga bawah.
Air matanya tak bisa lagi di bendung. Membaca pesan yang masuk, banyak misscall yang masuk pula. Aji kembali
memohon padanya.
Nana benar-benar tak kuasa menahan
tangisnya lagi. Masih terlintas di benak Nana bagaimana jahatnya Aji saat
menolak Alif yang masih janin dan menyuruhnya aborsi. Belum lagi caci maki
keluarganya yang begitu kejam padanya kala itu.
Tapi di sisi lain Nana juga ingat bagaimana
cara Aji menjaga dan merawatnya saat masih pacaran dulu. Bagaimana hangatnya
pelukan Aji juga alasan kenapa ia mau tinggal bersama tanpa ikatan suami istri
kala itu. Salah Aji sudah menghamili Nana dan merusaknya kala itu. Tapi saat
itu Nana juga dengan senang hati menyerahkan dirinya. Membiarkan Aji
menjamahnya, menciumnya, mencumbu tiap jengkal tubuhnya hingga berhubungan
intim.
Nana juga tau kenapa Aji tak berani
menikahinya, Nana paham beban yang di timpakan keluarga Aji kala itu. Bahkan
alasan Nana mau bersama Aji adalah untuk membantunya bangkit dari rasa
depresinya.
"...kalo
kita hubungan intim, terus aku hamil gimana Mas? Kan keluargamu ga setuju,
keluargamu ga suka aku..."
Nana terus menanyakan sekaligus menjaga
dirinya dan Aji agar tidak masuk ke dalam pergaulan bebas yang salah dengan
kalimat itu. Terus Nana ucapkan agar Aji ingat di mana batasannya, batasan
semuanya.
Aji mengangguk pelan lalu memeluk erat Nana
sambil membisikkan kata-kata andalannya.
"Na,
aku sayang kamu, aku cinta kamu... Jangan tinggalin aku... Aku ga bisa kalo kamu
ga ada..."
Kalimat rayuan iblis itu yang terus terucap, membius hati Nana yang
begitu lembut dan penyayang.
"...gapapa
kita hubungan intim, anggap saja nabung dulu. Kalo hamil pasti di restui kok,
lagian bayi ga jadi dalam satu kali hubungan intim kan?... "
Aji masih merayu Nana yang imannya sudah
mulai goyah itu. Tapi semakin Nana mengingat semuanya, kebodohannya dan
kecerobohannya dalam menjaga diri serta batasannya, Nana makin merasa bersalah
dan menyesal. Melihat Alif tiap hari dengan pakaian seadanya begitupun dengan
makan dan tempat tinggal membuat Nana bersedih. Merasa bersalah sudah mengajak
anak tak berdosa macam Alif menderita, terlunta-lunta. Belum lagi kalau Alif di
bully dan Nana tak bisa banyak membela. Rasanya itulah perasaan bersalah terbesarnya.
Satu persatu pesan ia baca, perlahan hati
Nana luluh. Ia ingin kembali bersama Aji meski sudah begitu banyak memberi
luka. Begitulah hati seorang wanita, sedalam samudra seluas jagad raya. Bahkan
dengan kesalahan serta fitnah juga derita yang di tanggungnya pun Nana masih
mempertimbangkan Aji untuk kembali.
"Mama... Ada tante pakek
mobil..." ucap Alif sambil mengetuk pintu kamar dengan ribut menyambut
kedatangan tamu sekaligus pelanggan kesukaannya.
Buru-buru Nana menyeka air matanya dan
menghentikan tangisnya. "Sebentar..." jawab Nana lalu keluar dan
berjalan ke kamar mandi untuk cuci muka.
"Tante bawa ini loh buat adek...
" ucap Wulan memberikan sebuah bingkisan yang lebih besar lagi dari pada
sebelumnya.
"Tidak usah aku sudah punya... "
ucap Alif lalu menunjuk bingkisan sebelumnya yang baru berkurang sedikit.
"Ya gapapa buat adek biar punya lagi... "
jawab Wulan. Anak ini sederhana sekali...
Batin Wulan yang memperhatikan Alif yang malah menolak pemberiannya itu.
"Nanti ga habis-habisan di makan setan
jadi mubaba... "
"Mubazir.... " ucap Nana
melengkapinya ucapan Alif.
"Iya itu... " jawab Alif setuju
pada Nana.
"Hihihi kok kamu tau mubazir segala
sih? " gemas Wulan.
"Iya soalnya aku belajar TPA... "
jawab Alif bangga.
●●●
"Maaf Gus... Tapi ada cewek lain yang
saya sudah mantap buat nikah, sudah nembak juga, dah ajak ibu..." ucap
Arif berusaha menolak sehalus mungkin.
"...udah
gapapa kan masih belum nikah, Sarah ini anaknya guru SD, temen istriku orang tuanya... Coba aja dulu ketemu, siapa tau cocok... " paksa Gus Ahmad salah satu pengurus pondok yang menaungi Arif.
"Hehehe... Insyaallah Gus... Tapi saya
dah kasih tau loh ya kalo dah punya calon sendiri... " ucap Arif
menegaskan. [Next]