Bab 23
Arif mengangguk yakin dengan
keinginannya untuk menjalin hubungan dengan serius. Tanggapan positif juga di
tunjukkan Jamilah, ibunya ustadz Arif yang datang. Bahkan Jamilah juga
membawakan masakan buatannya juga untuk bertamu kali ini.
Pak Janto hanya bisa terheran-heran setelah
ia menceritakan semuanya pada Arif atas segala kekacauan yang ada dalam keluarganya,
kini Arif malah datang dengan maksud baik dan ingin melindungi putrinya. Pak
Janto langsung saat itu juga mengabari Nana juga om Bram dan tante Yuni agar
datang menemui tamunya. Tentu saja tanggapan pak Janto yang sangat positif ini
membuat hati Arif dan ibunya senang.
Tak selang lama Nana datang bersama om,
tante juga Alif. Alif langsung turun dari mobil dan memeluk pak Janto lalu di
susul Nana dan Yuni juga Bram. Jamilah langsung menyalimi calon besannya itu
begitu pula Arif.
"Jadi kedatangan saya dan ibu saya ini
untuk ta'aruf dengan Nana, Pak Bu. Saya sudah memikirkan banyak hal, sudah dengar cerita dari bapak
sendiri... " Arif menunjuk pak Janto dengan ibu jarinya. "Saya tidak
keberatan, saya juga cukup dekat dengan Alif. Kebetulan saya ini guru ngajinya
tiap sore..." ucap Arif melanjutkan perkenalannya lagi pada keluarga Nana
yang baru datang.
"Tapi kami ini juga bukan dari
keluarga mampu, bukan keluarga pejabat. Kulo
niku nggih mung tiang alit...[1]" ucap Jamilah merendah. "Dulu saya ini cuma biduan campur
sari, bapaknya Arif meninggal waktu jadi TKI... " sambung Jamilah dengan
mata yang berkaca-kaca.
Nana dan yang lain hanya diam mendengarkan
perkenalan dari Arif juga ibunya yang cukup emosional itu. Sementara Alif duduk
di pangkuan pak Janto sambil memainkan legonya.
"Maaf saya jadi keinget masa lalu...
" ucap Jamilah sambil tersenyum menguatkan diri.
Ibunya
mas Ustadz ini kayak aku...
Apa mas Ustadz gini gara-gara
keinget masalalunya... Batin Nana penuh tanya.
"Tapi aku baru mau kuliah Mas..." ucap Nana yang akhirnya buka suara.
"Tidak apa-apa, aku juga masih mau
sekolah. Rencananya aku mau jadi pengurus pondok, jadi ustadz, pengajar di
sana. Insyaallah ada fasilitas rumah di sana selama aku belum bisa bikinin
rumah. Nanti kamu kuliah, aku juga kuliah... Setidaknya Alif nanti tidak
kehilangan figur bapak, dia dapat sayang yang imbang... " jawab Arif.
"Jangankan kuliah, Nana mau berkarir juga boleh selama tidak melanggar
syariat... " sambung Arif.
Mendengar jawaban Arif jelas membuat
perasaan Nana senang, tapi juga bimbang. Bukan karena memikirkan Aji lagi, tapi
karena ia akan kuliah dan malah terganggu soal Asmara begini.
"Apa ini tidak terlalu cepat? "
tanya om Bram.
Arif hanya tersenyum lalu mengangguk.
"Saya berusaha menyegerakan segala niat baik... " jawab Arif.
●●●
Aji yang kembali masuk ke mobilnya hanya
bisa diam sambil menyandarkan kepalanya ke stir mobilnya. Wulan masih
mengejarnya lalu mengetuk-ngetuk kaca mobilnya berusaha mengajak Aji bicara.
Sampai akhirnya Aji menurunkan kaca mobilnya untuk mendengarkan Wulan dengan
segala penjelasannya.
"Mas, ini bisa ku jelaskan... "
ucap Wulan.
"Bukannya sudah jelas? Apa lagi yang
harus ku dengar? " tanya Aji kesal dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
Wulan hanya menggeleng lalu mengusap
wajahnya dan mulai menangis. "Ini ga kayak yang ada di pikiranmu! "
ucap Wulan sambil berteriak histeris.
"Masuk, jelaskan di dalam! "
perintah Aji lalu turun dari mobilnya dan berjalan masuk ke rumah.
Masih tampak Hari yang duduk di sofa dengan
wajah tertunduk malu dan menyesal.
"Jelaskan... " ucap Aji pelan
lalu duduk menatap Wulan dan Hari dengan jijik.
"Aku kayak gini gara-gara aku ga puas
sama kamu! Kamu ga cukup menyayangi aku! Kamu hanya beban bagiku... Jadi aku
mencari kesenangan lain!" ucap Wulan yang langsung menjelaskan dengan penuh
emosi sementara Hari hanya diam dengan wajah tertunduk.
"Kamu ini sudah salah masih bisa
mencari pembenaran? Sudah jelas kamu ini selingkuh masih juga kamu salahkan
aku? Bukankah dari awal kamu yang memintaku untuk tetap mendampingimu saja?
Bukankah kamu yang minta aku agar tidak terjun ke dunia politik demi
menghindari anggapan dinasti politik? " balas Aji tak mau kalah.
"Sebenarnya ini salah saya tuan, saya
sudah tau nyonya ini punya suami dan keduanya jelas saya kenal baik tapi saya
tetap nekat... " ucap Hari yang tak mau membiarkan Wulan tersudut sendiri.
"Kalian ini sudah gila. Kamu tak punya
malu, tak tau diri, tambah-tambah lagi kamu Wulan! Beruntung aku tak punya anak
darimu! " ucap Aji kesal sambil menatap Hari lalu Wulan.
"Iya aku salah, tapi aku gini juga
karena salahmu Mas! " Wulan masih kekeh tak mau kalah.
"Sudah cukup jelaskan saja di
pengadilan... " putus Aji lalu berjalan keluar mengabaikan Wulan yang
mengejarnya.
●●●
Foto dan pesan yang di kirim Aji pada
ibunya langsung membuat geger seisi rumah. Keluarga Wulan yang awalnya menekan
keluarga Aji atas segala tindakan Aji dan tuntutan perceraian yang di layangkan
Wulan, langsung di kirimi bukti perselingkuhan barusan.
Eyang dan Broto juga tak khawatir atau
merasa rugi lagi bila sampai Aji dan Wulan cerai. Toh sekarang mereka sudah
punya senjata. Bila Wulan tetap menuntut cerai dengan tuntutan yang sama maka
ia yang akan tersingkir dari gelanggang politik yang sudah di masukinya.
Namanya juga nama keluarganya akan jadi bahan olok-olokan. Tapi bila bertahan
Wulan juga akan merasakan tekanan batin yang lebih parah lagi dari sebelumnya.
Ah tapi kondisi psikis Wulan juga tak
penting bagi keluarga Aji. Jangankan Wulan kondisi psikis Siwi dan Aji saja tak
penting lagi. Mencapai puncak hanya itu yang terpenting bagi kedua belah
keluarga.
Siwi melihat suami dan mertuanya yang
tampak sangat senang dengan kabar perselingkuhan Wulan, bahkan mertuanya juga
mulai membela Aji sekarang karena sempat menampar wanita seperti Wulan. Tak
hanya itu suaminya juga tak lagi menyudutkan Aji lagi, bahkan memuji Siwi karena
mendidik Aji dengan baik setelah sempat meluapkan amarahnya seperti biasanya.
Apa
Aji baik-baik saja? Apa aku harus bertahan? Sampai kapan aku harus kayak gini? Batin Siwi penuh tanya dan kekhawatiran saat di peluk suaminya.
"Emang aku ga salah milih kamu jadi
istriku, ibunya anak-anak! Aku ga tau harus gimana kalo istriku bukan kamu...
" ucap Broto memuji Siwi.
Iya
aku harus bertahan demi cintaku, demi anak-anakku, demi keluargaku... Batin Siwi lalu tersenyum dan memejamkan mata saat suaminya
mengecup keningnya. [Next]
[1] Saya
hanya orang kecil, istilah Jawa untuk menyebutkan diri kalau bukan seorang
pejabat atau dari kalangan menengah keatas