0
Home  ›  Chapter  ›  My Baby Need A Daddy

Bab 34

 

Bab 34-1

"Besok aku ada acara galang dana buat anak-anak kanker... Mau jual bajuku..." ucap Alice di depan keluarganya saat makan malam tiba.

"Papa belum dapat kabar soal itu... " saut Broto.

"Ini masih rencana, tapi kemungkinan bakal jadi... Aku mau jadi yang paling cetar! Aku mau jadi pengumpul dana tertinggi!" ucap Alice berusaha menepis ucapan ayahnya sebelum timbul kecurigaan.

Eyang dan Broto langsung tersenyum sumringah mendengar Alice yang begitu ambisius.

"Kalo gitu mama bakal ikut sumbangin baju mama... " ucap Siwi lalu tersenyum lembut seperti biasa.

"Nanti papa kirim dana buat kamu... " ucap Broto tak mau kalah.

Alice mengeluarkan buku tabungan barunya. "Kirim saja kesini... " ucap Alice lalu memfoto nomor rekeningnya.

"Eyang sama mas Aji juga harus ikut nyumbang ya... " ucap Broto ikut membantu putri bungsunya menggalang dana.

Alice hanya mengangguk pelan dengan wajah datarnya lalu melanjutkan makan.

"Ini acara sekolah? " tanya Eyang dengan wajah curiga.

"Eyang mau ikut donasi apa engga?!" bentak Alice untuk menutupi kecurigaannya.

"Ahaha kalem... Cucu Eyang ini galak banget... "

Alice langsung bangun dari duduknya dan berjalan ke kamar, meninggalkan makan malamnya yang belum habis.

"Aku mau siapin barang buat donasi dulu..." pamit Siwi lalu ikut meninggalkan meja makan.

Aku ga yakin sama Alice, ga mungkin bakal ada galang dana jelang UN... Batin Aji curiga melihat kelakuan Alice.

●●●

Alif meletakkan kedua telapak tangannya di pipi Nana, sembari menatapnya dengan murung.

"Kenapa? " tanya Nana lalu mengecup kening Alif dan memeluknya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

"Mama sedih terus sejak ada om-om aneh di depan rumah... " jawab Alif lalu membalas pelukan Nana.

"Mama ga sedih... " Nana mengelak.

"Tapi bibirnya mama begini... " Alif menurunkan bibirnya kebawah dengan kedua telapak tangannya. "Cemberut terus... "

Nana menggeleng. "Mama pusing mau ujian... Mama takut nanti gagal... Ga lulus... " jelas Nana agar Alif tidak khawatir.

"Mamakan pinter, bisa baca, bisa jahit, bisa masak, bisa hitung... Mama tidak usah takut... " Alif menyemangati mamanya dengan serius.

Nana langsung tertawa kecil begitu mendengar Alif yang berusaha membesarkan hatinya. "Iya... Mama itu cuma takut kalo teman-teman mama nanti juga pintar-pintar... " jelas Nana lagi.

"Kan mama bisa semuanya... Tidak usah takut... Nanti aku temenin ke sana kalo mama takut! " tegas Alif lalu menguap.

Nana hanya mengangguk lalu mengelus-elus punggung Alif hingga terlelap. Tak ada keraguan lagi pada hatinya untuk memilih pada siapa ia akan berlabuh. Semua tampak jelas setelah Alif menyemangatinya. Nana meraih ponselnya dan mengirim pesan pada Aji untuk pertama kalinya, lalu mematikan ponselnya sebelum Aji membalas pesannya.

Nana kembali terjaga lalu menghitung tanggal di kalendernya. Waktunya untuk ujian masuk perguruan tinggi makin dekat. Nana mengambil dompetnya dan menghitung uangnya, kembali ia mengaktifkan ponselnya dan mengirim pesan pada Arif.

"Bismillah kali ini aku harus tegas dalam pilihanku... "  gumam Nana kembali menguatkan dirinya.

●●●

Arif tampak begitu bahagia saat menerima pesan dari Nana pada pagi hari. Baru setelah salat subuh ia membuka ponselnya, saat itu pula Arif langsung merapikan mushola dua kali lebih bersih dan rapi dari sebelumnya. Bahkan sampai mengelap jendela dan ventilasi juga mencabut rumput dan memotong tanaman pagar agar lebih rapi.

Arif juga langsung memasak nasi dan membeli beberapa cemilan untuk Nana dan Alif nanti. Ini kali pertamanya di jenguk orang lain selain ibunya yang benar-benar membuat hatinya berdebar. Hampir adzan dzuhur dan Nana masih belum memberi kabar lagi. Arif masih setia menunggu sampai tiba-tiba segerombolan preman datang. Para pemuda tanggung yang bergaya layaknya preman dan condong ke anak punk tepatnya.

"Assalamu'alaikum... " sapa Arif lebih dulu pada gerombolan yang tiba-tiba datang itu.

"Ini?" tanya seorang pria yang berjalan membelah kerumunan. "Cuma kayak gini apa harus aku yang turun? " tanyanya lagi lalu kembali ke motornya setelah melihat Arif.

"Kamu Arman? Temennya Sarah ya? " tanya Arif ramah. "Saya Arif guru ngaji ba... "

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Belum juga Arif memperkenalkan dirinya dengan baik seorang pria menghantam perutnya dengan pukulannya. Tak selang lama tubuh Arif sudah di hujani pukulan dan tendangan dari segala sisi. Arif hanya bisa meringkuk melindungi dirinya sambil terus menyebut nama Allah mengharap pertolongan dari-Nya. Cukup lama Arif di hajar masa tanpa tau salahnya dimana sampai suara jeritan Sarah menggema.

"Arman cukup! " jerit Sarah sambil mendorong Arman yang jelas tak berpengaruh.

Arman mengangkat tangannya lalu mengibaskannya mengisyaratkan untuk berhenti. Sarah langsung menghambur ke arah Arif dan membantunya. Tak satupun warga yang berani mendekat, hanya Sarah yang berani menghentikan kemarahan atas rasa cemburu Arman.

"Sarah... Kembalilah... Aku mencintaimu... " mohon Arman sambil berjalan mendekati Sarah.

"CUKUP! Sudah jelas kamu seperti ini... Aku tidak mau bersamamu lagi! Aku jijik! Pergilah! Perjanjian kita sudah selesai! " usir Sarah sambil berteriak dan siap pasang badan membela Arif yang terkapar.

Tak jelas lagi suara perdebatan antara Sarah dan Arman lagi di telinga Arif yang jatuh pingsan. Semua orang yang mengeroyok tadi juga sudah pergi lebih awal meninggalkan Arman dan Sarah untuk berdebat.

"Astaghfirullahaladzim! Mas Arif! " pekik Nana yang baru datang bersama Alif yang di bonceng ojol.

●●●

"Mama sama Alice ga ngabarin kamu?" tanya Broto yang pulang untuk makan siang.

"Engga... " jawab Aji singkat lalu buru-buru keluar pergi entah kemana.

"Siwi ga ngabarin ibu? " tanya Broto pada Eyang yang tengah menyiapkan makan siang.

"Kalo dia ngabarin ibu, ibu ga bakal masak! " ketus Eyang.

Broto langsung terdiam telinganya berdenging.

Flashback ~

Krak! Kayu rotan entah keberapa yang retak, patah setelah di adu dengan tubuh ringkih Siwi.

"Ngurus anak ga bejus! Aji cerai! Kakaknya juga mulai ngebangkang, belum lagi ini Alice kenal sama cowok ga bener! " maki Broto pada Siwi lalu memukulkan rotan ke paha wanita yang telah memberinya empat buah hati itu.

Siwi hanya bisa diam dalam tangisnya. Sudah tak tahan lagi baik secara fisik maupun psikisnya. Tak satupun orang di rumahnya yang mampu melindunginya. Bahkan petugas keamanan juga tak mampu berbuat banyak selain berdoa agar Siwi kuat.

Anak-anaknya juga tak bisa 100% menghentikan perlakuan kasar ayahnya itu. Hanya bisa nurut dan patuh pada tiap perintah, aturan, dan instruksi dari ayah mereka. Bila di kira memiliki seorang nenek dapat memberikan rasa nyaman dan manja, kali ini berbeda 180°. Tinggal dari kecil dan di asuh oleh nenek seperti eyang Tini benar-benar bagaikan di neraka. Bahkan akademi militer rasanya masih lebih manusiawi dari pada harus tinggal dengan wanita tua yang akrab di sapa eyang itu.

Tak boleh memilih masa depannya sendiri, tak boleh ada passion yang di rasa hanya coba-coba harus sesuai aturan dan persetujuannya, lalu terkait hobi... Hanya di izinkan satu... Bersaing dalam segala hal. Tak ada musik K-pop, RnB, tak ada tarian break dance, dan tarian kekinian lainnya. Tak ada coretan di dinding, tak ada gambar-gambar yang tak perlu di gambar seperti unicorn atau peri. Buang-buang waktu.

Musik klasik kisaran tahun 60-90an yang boleh di dengar. Itupun kebanyakan juga instrumen, agar fokus. Hanya tari daerah seperti tari Gambyong dan tari Jaipong. Semua klasik, semua sesuai selera Eyang.

"Mas kalo kamu ga mau dengerin aku, kamu lebih mentingin ibu dari pada kebahagiaan anak-anakku aku bakal pergi... Gimanapun caranya... " ucap Siwi memberikan peringatan sebelum akhirnya pingsan.

Flashback off~

Gak mungkin dia pergi... Istriku... Anakku... Batin Broto mulai panik teringat semua ucapan Siwi. [Next]

Bab 34-2


64
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share