Arif mengecek saldo rekening
banknya. Masih empat ratus juta. Masih cukup bila ia gunakan untuk membeli
rumah. Tapi begitu ia teringat dengan cara Aji mengintimidasinya. Arif
buru-buru memikirkan cara memutar otak agar uang-uangnya aman.
Arif langsung membuka rekening tabungan
emas. Ditabungkannya semua uangnya dan hanya disisakan lima juta di rekening.
Arif juga sudah melihat beberapa brosur perumahan.
Tak mau rugi. Arif lebih memilih membeli
rumah tipe 21 nantinya untuk tinggal bersama Zulia. Sementara Alif dan Nana
tetap di rumah jatahnya yang sudah reot itu. Atau di pulangkan saja ke pak Janto
bila Nana komplain dipoligami.
Arif tersenyum sumringah memikirkan
rancangan kehidupannya mendatang. Subhanallah walhamdulillah otakku encer
sekali... Batin Arif tenang.
Sebenarnya untuk bicara dengan Abah juga
bukan hal berat baginya. Lagian ayah mana yang mau melihat putrinya hamil tanpa
suami? Sudah jelas mudah. Apalagi hukum di Indonesia kalau menghamili adalah
menikah. Ugh mudah sekali!
Kalau butuh uang juga tinggal minta ke Aji.
Bisa juga ke Nana. Ah tapi yang jelas kemanapun sumber dananya ia tetap untung.
●●●
Aji kembali mengantarkan Nana pulang
setelah salat isya berjamaah di rumahnya. Alif sudah puas bermain. Broto juga
tampaknya senang dengan kehadiran Alif dan Nana yang menyambanginya. Meskipun
Broto terus memasang wajah garang, tapi tak di pungkiri ia senang saat Alif
tiba-tiba memeluknya dari belakang usai salat.
Eyang sendiri sebenarnya juga sangat senang
bisa memiliki buyut seperti Alif. Ada rasa penyesalan dalam hati kecilnya. Tapi
rasanya rasa angkuh lebih tinggi dihati Eyang saat ini.
"Alif tidur... " ucap Nana lembut
sambil masih menepuk-nepuk lembut pantat Alif.
Aji tersenyum mendengar ucapan Nana. Aji
kembali mencari rute terjauh yang bisa di laluinya.
"Na... Aku kangen kamu... " ucap
Aji entah yang ke berapa kali.
Nana hanya tersipu malu sambil menatap
keluar jendela. Aji masih dapat jelas melihat semburat wajah Nana yang tersipu.
Aji menggenggam tangan Nana sebelum
akhirnya berhenti dilampu merah. "Apapun yang kamu butuhkan jangan pernah
sungkan bilang ke aku. Apapun... Setidaknya biar aku bisa bertanggung jawab
atas kamu dan Alif... " Aji memohon.
Nana hanya mengangguk pelan.
"Aku kirimkan uang rutin 10 juta
kadang 15 juta lewat Arif. Kenapa kamu tetap kurus? " tanya Aji.
"Oh ya? Aku tidak tau apa-apa. Mas
Arif cuma... " Nana tak berani melanjutkan omongannya. "Nanti ku
tanyakan... " ucap Nana.
Aji hanya mengangguk. "Na... Sekali
saja dalam hidupku. Aku mau kamu sudi memaafkanku yang hina ini... Kembali
hidup bersama seperti dulu... Aku tau tadi kamu merasakan hal yang sama
sepertiku... " Aji kembali memohon sambil memberanikan diri mengecup
kening Nana.
Nana menundukkan pandangan. "Aku sudi
memaafkanmu, tapi untuk kembali... Aku tidak bisa... Sulit... " tolak Nana
halus.
"Kalau begitu beritahu Alif kalau aku
Papanya... " Nana hanya menatap Aji dalam diam saat mendengar permintaan
Aji.
Suara klakson bersahutan meminta Aji untuk
tancap gas. Aji kembali melaju, diparkirkannya mobil di SPBU. Aji masih ingin
berdiskusi dengan Nana.
"Aku mau Alif panggil aku Papa apa ga
bisa Na? " tanya Aji penuh harap dengan mata yang berkaca-kaca.
"Katamu sebaiknya digugurkan saja,
kamu ga siap punya anak, kamu gak mau Alif kan? " Aji terdiam. "Aku
yang hamil, apa kamu pikir aku siap? Aku yang besarkan sendirian. Aku
tinggalkan mimpiku buat dia. Kamu cuma jadikan aku WC umum. Kalau kamu jadi
aku, apa kamu sudi menerima dirimu sendiri? " sentak Nana dengan airmata
yang sudah mengalir deras.
Aji terdiam, airmatanya mengalir. Sungguh
ia menyesal pernah memaki Nana seperti itu. Benar lidah tak bertulang, tapi
lebih tajam dari pedang. Sekarang Aji benar-benar percaya, ucapannya sudah
melukai seorang yang begitu ia cintai.
"Akan ku coba meminta Alif memanggilmu
Papa... Tapi semuanya ku serahkan pada Alif... " ucap Nana luluh sambil
mengelus tangan Aji yang menggenggamnya.
Aji hanya mengangguk pelan lalu kembali
menyetir, mengantarkan Nana pulang. Ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya,
Aji tak bisa lebih banyak menuntut lagi. Sudah syukuri saja apa yang ada.
●●●
"Makasih ya Mas... Dah bolehin Alif
sama Nana main kerumah... " ucap Siwi lembut pada suaminya.
"Iya... " jawab Broto singkat.
Siwi tau suaminya senang atas kehadiran
Alif dan Nana tadi. Bahkan dari semua cucunya hanya Alif yang diizinkan main
peluk sembarangan. Siwi tau suaminya luluh pada Alif. Siwi juga merasa kalau
ibu mertuanya suka dengan kehadiran Alif.
Hanya saja memang kedua orang itu gengsi
bila mengucapkannya. Terlalu gengsi untuk mengatakan kalau sudah bisa menerima
kehadiran Nana dan Alif. Tapi memang tetap saja Siwi sedih karena tau Nana
sudah menikahi pria lain.
Harapan untuk Aji bisa kembali dengan Nana
kembali menipis, tapi harapan tetap harapan. Siwi tetap berharap ia bisa
menghabiskan waktu lebih lama dengan Alif.
"Aku seneng deh tadi Alif makan lahap
banget... " ucap Siwi bercerita pada suaminya yang tengah membalas
email-email yg masuk ke tabletnya.
"Hmm... " sautnya seolah acuh tak
acuh.
"Salatnya pinter, bisa
membaca... Hebat lah pokoknya si Alif... " ucap Siwi lalu masuk ke dalam
selimut.
"Hmmm.... " Broto masih ingin
mendengar banyak cerita soal Alif, tapi terlalu tinggi hati untuk mengakuinya.
"Dah ah, aku mau tidur capek. Besok
mau masak buat Alif lagi... Aku mau main kerumahnya... " ucap Siwi
menceritakan rencananya.
Aku juga pengen liat rumahnya... Batin
Broto, tapi ia hanya mengangguk memberi izin pada istrinya.
●●●
Nana dan Alif yang sudah pergi seharian
ternyata datang lebih awal. Nana dapat banyak sekali lauk yang di bungkuskan
Siwi. Alif juga sudah bangun begitu sampai rumahnya. Alif juga kembali siap
makan begitu tau Nana sedang menghangatkan lauk.
"Assalamu'alaikum... " ucap Arif
yang baru datang setelah kelayapan entah kemana.
"Wa'alaikum salam... " jawab Nana
dan Alif bersamaan.
"Mas... Udah makan belum? " tanya
Nana sambil bersiap mengambilkan nasi untuk Arif.
"Belum... " jawab Arif singkat
lalu duduk bersama Nana dan Alif untuk makan malam.
Nana mengambilkan lauk-pauk yang terbaik
untuk Arif juga Alif. Nana juga ikut makan. Alif sibuk menceritakan pengalamannya
main kerumah Aji sambil sesekali menyuapkan makanannya.
Nana diam menatap Arif. Terbayang dalam
benaknya saat ia hidup berdua dengan Aji. Susah senang dilalui bersama, makan
berlaukkan bakwan yang dibagi duapun tak masalah yang penting selalu bersama.
Genggaman tangan Aji tadi masih terasa, tergambar jelas bagi Nana. Tak sengaja
air matanya mengalir.
Apa Nana curiga? Batin Arif khawatir bila
kiss mark dibadannya terlihat.
"Mama kenapa sedih? " tanya Alif
lalu memberikan secuil lauknya ke piring Nana.
"Enggak gapapa... " jawab Nana
tak mau membahas apa yang menyebabkannya menangis. [Next]
0 comments