BLANTERORBITv102

Bab 63

Sabtu, 30 September 2023


Arif mengecek saldo rekening banknya. Masih empat ratus juta. Masih cukup bila ia gunakan untuk membeli rumah. Tapi begitu ia teringat dengan cara Aji mengintimidasinya. Arif buru-buru memikirkan cara memutar otak agar uang-uangnya aman.

Arif langsung membuka rekening tabungan emas. Ditabungkannya semua uangnya dan hanya disisakan lima juta di rekening. Arif juga sudah melihat beberapa brosur perumahan.

Tak mau rugi. Arif lebih memilih membeli rumah tipe 21 nantinya untuk tinggal bersama Zulia. Sementara Alif dan Nana tetap di rumah jatahnya yang sudah reot itu. Atau di pulangkan saja ke pak Janto bila Nana komplain dipoligami.

Arif tersenyum sumringah memikirkan rancangan kehidupannya mendatang. Subhanallah walhamdulillah otakku encer sekali... Batin Arif tenang.

Sebenarnya untuk bicara dengan Abah juga bukan hal berat baginya. Lagian ayah mana yang mau melihat putrinya hamil tanpa suami? Sudah jelas mudah. Apalagi hukum di Indonesia kalau menghamili adalah menikah. Ugh mudah sekali!

Kalau butuh uang juga tinggal minta ke Aji. Bisa juga ke Nana. Ah tapi yang jelas kemanapun sumber dananya ia tetap untung.

●●●

Aji kembali mengantarkan Nana pulang setelah salat isya berjamaah di rumahnya. Alif sudah puas bermain. Broto juga tampaknya senang dengan kehadiran Alif dan Nana yang menyambanginya. Meskipun Broto terus memasang wajah garang, tapi tak di pungkiri ia senang saat Alif tiba-tiba memeluknya dari belakang usai salat.

Eyang sendiri sebenarnya juga sangat senang bisa memiliki buyut seperti Alif. Ada rasa penyesalan dalam hati kecilnya. Tapi rasanya rasa angkuh lebih tinggi dihati Eyang saat ini.

"Alif tidur... " ucap Nana lembut sambil masih menepuk-nepuk lembut pantat Alif.

Aji tersenyum mendengar ucapan Nana. Aji kembali mencari rute terjauh yang bisa di laluinya.

"Na... Aku kangen kamu... " ucap Aji entah yang ke berapa kali.

Nana hanya tersipu malu sambil menatap keluar jendela. Aji masih dapat jelas melihat semburat wajah Nana yang tersipu.

Aji menggenggam tangan Nana sebelum akhirnya berhenti dilampu merah. "Apapun yang kamu butuhkan jangan pernah sungkan bilang ke aku. Apapun... Setidaknya biar aku bisa bertanggung jawab atas kamu dan Alif... " Aji memohon.

Nana hanya mengangguk pelan.

"Aku kirimkan uang rutin 10 juta kadang 15 juta lewat Arif. Kenapa kamu tetap kurus? " tanya Aji.

"Oh ya? Aku tidak tau apa-apa. Mas Arif cuma... " Nana tak berani melanjutkan omongannya. "Nanti ku tanyakan... " ucap Nana.

Aji hanya mengangguk. "Na... Sekali saja dalam hidupku. Aku mau kamu sudi memaafkanku yang hina ini... Kembali hidup bersama seperti dulu... Aku tau tadi kamu merasakan hal yang sama sepertiku... " Aji kembali memohon sambil memberanikan diri mengecup kening Nana.

Nana menundukkan pandangan. "Aku sudi memaafkanmu, tapi untuk kembali... Aku tidak bisa... Sulit... " tolak Nana halus.

"Kalau begitu beritahu Alif kalau aku Papanya... " Nana hanya menatap Aji dalam diam saat mendengar permintaan Aji.

Suara klakson bersahutan meminta Aji untuk tancap gas. Aji kembali melaju, diparkirkannya mobil di SPBU. Aji masih ingin berdiskusi dengan Nana.

"Aku mau Alif panggil aku Papa apa ga bisa Na? " tanya Aji penuh harap dengan mata yang berkaca-kaca.

"Katamu sebaiknya digugurkan saja, kamu ga siap punya anak, kamu gak mau Alif kan? " Aji terdiam. "Aku yang hamil, apa kamu pikir aku siap? Aku yang besarkan sendirian. Aku tinggalkan mimpiku buat dia. Kamu cuma jadikan aku WC umum. Kalau kamu jadi aku, apa kamu sudi menerima dirimu sendiri? " sentak Nana dengan airmata yang sudah mengalir deras.

Aji terdiam, airmatanya mengalir. Sungguh ia menyesal pernah memaki Nana seperti itu. Benar lidah tak bertulang, tapi lebih tajam dari pedang. Sekarang Aji benar-benar percaya, ucapannya sudah melukai seorang yang begitu ia cintai.

"Akan ku coba meminta Alif memanggilmu Papa... Tapi semuanya ku serahkan pada Alif... " ucap Nana luluh sambil mengelus tangan Aji yang menggenggamnya.

Aji hanya mengangguk pelan lalu kembali menyetir, mengantarkan Nana pulang. Ini sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, Aji tak bisa lebih banyak menuntut lagi. Sudah syukuri saja apa yang ada.

●●●

"Makasih ya Mas... Dah bolehin Alif sama Nana main kerumah... " ucap Siwi lembut pada suaminya.

"Iya... " jawab Broto singkat.

Siwi tau suaminya senang atas kehadiran Alif dan Nana tadi. Bahkan dari semua cucunya hanya Alif yang diizinkan main peluk sembarangan. Siwi tau suaminya luluh pada Alif. Siwi juga merasa kalau ibu mertuanya suka dengan kehadiran Alif.

Hanya saja memang kedua orang itu gengsi bila mengucapkannya. Terlalu gengsi untuk mengatakan kalau sudah bisa menerima kehadiran Nana dan Alif. Tapi memang tetap saja Siwi sedih karena tau Nana sudah menikahi pria lain.

Harapan untuk Aji bisa kembali dengan Nana kembali menipis, tapi harapan tetap harapan. Siwi tetap berharap ia bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Alif.

"Aku seneng deh tadi Alif makan lahap banget... " ucap Siwi bercerita pada suaminya yang tengah membalas email-email yg masuk ke tabletnya.

"Hmm... " sautnya seolah acuh tak acuh.

"Salatnya pinter, bisa membaca... Hebat lah pokoknya si Alif... " ucap Siwi lalu masuk ke dalam selimut.

"Hmmm.... " Broto masih ingin mendengar banyak cerita soal Alif, tapi terlalu tinggi hati untuk mengakuinya.

"Dah ah, aku mau tidur capek. Besok mau masak buat Alif lagi... Aku mau main kerumahnya... " ucap Siwi menceritakan rencananya.

Aku juga pengen liat rumahnya... Batin Broto, tapi ia hanya mengangguk memberi izin pada istrinya.

●●●

Nana dan Alif yang sudah pergi seharian ternyata datang lebih awal. Nana dapat banyak sekali lauk yang di bungkuskan Siwi. Alif juga sudah bangun begitu sampai rumahnya. Alif juga kembali siap makan begitu tau Nana sedang menghangatkan lauk.

"Assalamu'alaikum... " ucap Arif yang baru datang setelah kelayapan entah kemana.

"Wa'alaikum salam... " jawab Nana dan Alif bersamaan.

"Mas... Udah makan belum? " tanya Nana sambil bersiap mengambilkan nasi untuk Arif.

"Belum... " jawab Arif singkat lalu duduk bersama Nana dan Alif untuk makan malam.

Nana mengambilkan lauk-pauk yang terbaik untuk Arif juga Alif. Nana juga ikut makan. Alif sibuk menceritakan pengalamannya main kerumah Aji sambil sesekali menyuapkan makanannya.

Nana diam menatap Arif. Terbayang dalam benaknya saat ia hidup berdua dengan Aji. Susah senang dilalui bersama, makan berlaukkan bakwan yang dibagi duapun tak masalah yang penting selalu bersama. Genggaman tangan Aji tadi masih terasa, tergambar jelas bagi Nana. Tak sengaja air matanya mengalir.

Apa Nana curiga? Batin Arif khawatir bila kiss mark dibadannya terlihat.

"Mama kenapa sedih? " tanya Alif lalu memberikan secuil lauknya ke piring Nana.

"Enggak gapapa... " jawab Nana tak mau membahas apa yang menyebabkannya menangis. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.