Bab 08
"dasp98, novel romance, novel dewasa, dasp world, novel erotis, Hidden Gem Author"
Aji hanya diam dan mengikuti
semua para orang tua juga Wulan calon istrinya dengan segala tuntutannya.
Pemilihan baju, dekorasi, tempat sampai konsumsi Aji hanya bisa patuh saja dari
pada ribut dan makin ribet juga lama. Aji hanya bisa mengalah mengikuti permintaan
eyangnya ini dan itu. Begitu pula dengan orang tuanya yang benar-benar patuh
pada eyangnya.
Harusnya
aku menikahi Nana... Harusnya aku disini bersama Nana... Batin Aji sambil mengangkat tangannya ke samping untuk di ukur
badannya.
Tak banyak ekspresi yang Aji tunjukkan.
Begitu tenang dan datar menatap semuanya. Kalau sebelumnya ia ketakutan dan
ingin lari dari kenyataan, kini memang ia berhasil. Sangat berhasil, bisa di
bilang sukses besar. Selain ia tak harus menikahi Nana, keluarganya juga tak
keluar uang sepeserpun untuk tanggung jawab.
Ah... Jangan lupa soal fitnahannya saat
mengelak. Bahkan semua percaya dan jadi ragu ke Nana termasuk keluarganya.
Hebat sekali. Sukses besar. Tapi sayangnya itu tak cukup untuk membuatnya
tenang. Membuat hatinya bisa bahagia setelah sukses kabur.
"Habis ini kita ke tempat souvenir ya Mas... " ucap
Wulan setelah sama-sama selesai di ukur.
Aji hanya mengangguk. "Mas... "
panggil Wulan yang menuntut jawaban meskipun Aji sudah mengangguk.
"Iya kita ketempat souvenir... "
jawab Aji sedikit ketus lalu diam kembali.
Wulan sedikit kaget dan mulai berfikiran
negatif soal Aji. Bagaimana kalau Aji marah padanya? Bagaimana kalau Aji tak
bisa mencintainya? Bagaimana kalau hanya ia yang jatuh cinta ? Bagaimana kalau
Aji hanya terpaksa dan tak suka di posisi ini? Pikiran liar Wulan yang negatif
mulai merambat kemana-mana sampai ia menggelengkan kepala berusaha menepis
pikirannya sendiri.
Tidak
apa-apa wajar bila mas Aji begitu, toh ia sudah lama diam... Sudah lama hanya
manut-manut saja... Mas Aji dan aku sudah di jodohkan... Ini hanya ujian kecil
sebelum menikah... Seperti kata Eyang... Ayo Wulan
kamu pasti bisa! Batin wulan yang terus
menyemangati dirinya sendiri juga membesarkan harinya yang langsung mengkeret
barusan.
Sepanjang jalan ke tempat souvenir, Aji
hanya menatap ke jalan. Melihat anak-anak SMP dan SMA yang baru pulang sekolah
membuatnya ingat pada Nana. Melihat pasangan yang berboncengan sambil mengobrol
dan mengelus dengkul pasangan yang di boncengnya juga membuatnya ingat pada
Nana saat awal pacaran dulu. Tapi saat ia melihat seorang pengamen dengan perut
buncitnya yang tengah mengandung membuatnya benar-benar ingat pada Nana,
kewajibannya yang tak pernah ia tuntaskan.
Aji buru-buru membuka jendelanya setelah
mengambil uang di sakunya. Entah berapa nominalnya. Buru-buru di berikan pada
wanita pengamen itu. Tapi tetap saja saat lampu hijau menyala dan mobilnya
berlalu, rasa bersalahnya pada Nana tak juga tertinggal. Uang yang di
berikannya pada pengamen tadi tak mengurangi sedikitpun rasa bersalah di
hatinya.
Apa
Nana akan bekerja kasar untuk hidup? Batin Aji
khawatir.
"Mas baik ya... Mau berbagi... "
puji Wulan berusaha memecahkan suasana keheningan di mobil.
"Ti-tidak..." jawab Aji gugup.
"Kamu pernah dengar istilah, manusia kelihatan baik karena jahatnya belum
terlihat dan manusia terlihat buruk karena baiknya belum terlihat?" tanya
Aji yang akhirnya bicara lebih panjang daripada biasanya.
Wulan langsung mengangguk. "Iya aku
paham... Tidak ada manusia yang biaa di sebut seratus persen jahat atau pun
baik, hidup itu yin dan yang... Dalam jahat ada baik, dalam baik
ada jahat... " ucap Wulan sambil menatap Aji.
"Iya kamu benar, tapi aku ini baik
hanya karena kamu belum tau seberapa busuknya aku... Jadi jangan jatuh cinta terlalu
dalam meskipun aku suamimu nantinya... " ucap Aji sebelum kembali anteng dan diam dalam perenungannya.
Mas
Aji ini rendah hati sekali... Beruntung sekali aku di jodohkan dengannya... Batin Wulan senang dan jadi adem mendengar ucapan Aji yang begitu
bijak.
"Pernah baca buku Binatangisme?
Penerjemahnya Mahbub Djunaidi... " tanya Aji.
"Ah iya... Aku juga sudah baca buku
Cakar-Cakar Irving, beliau juga penerjemahnya... " jawab Wulan bangga dan
semangat untuk membahas buku.
"Aku merasa jadi babi sekarang...
" jawab Aji ambigu.
"Apa maksudmu? " tanya Wulan
bingung yang sama sama sekali tak dapat jawaban dari Aji yang hanya
mendiamkannya.
●●●
Nana hanya memandangi foto USG-nya yang
ragu di kirimkan pada pada Aji. Dalam hati kecil Nana ia masih ingin menganggap
Aji sebagai ayah dari anaknya. Ingin rasanya ia menunjukkan tumbuh kembang
janinnya. Saat kepasar melihat pasangan suami istri yang begitu mesra saat
berbelanja bersama rasanya begitu iri.
Tak Nana pungkiri, ia belum move on dari Aji. Tapi ingatannya
kembali berputar saat Aji menolak kehamilannya dan pergi begitu saja
meninggalkannya. Belum lagi keluarganya dan ia yang di fitnah begitu kejam.
Hati wanita mana yang tak teriris. Bila hanya Arjunannya buaya mungkin masih
bisa di toleransi, tapi kalau jenis seperti Aji?
"Adek sehat-sehat ya Nak, maaf mama
ajak kamu kerja keras terus... " ucap Nana pelan sambil mengelus perutnya
dengan lembut.
Nana benar-benar berusaha kuat untuk tegar
menghadapi semuanya. Rasa iri, marah, sakit hati, trauma, kecewa... akan sulit di
hilangkan. Ia di buat cacat dan sakit yang teramat dalam oleh pria yang sudah
sangat di percayainya, di cintainya. Bahkan dengan penuh ketulusan hati tanpa
meminta apapun.
Masih teringat jelas di kepala Nana saat
Aji memintanya menjadi pacar. Begitu sederhana. Di atas motor setelah kencan
beberapa kali di angkringan dekat tempatnya mengikuti bimbel tambahan. Aji saat
itu juga terlihat begitu meyakinkan dengan berkenalan dengan keluarga Nana
seolah akan menikahinya.
Masih jelas, semua begitu jelas tergores
dalam pikiran Nana. Bagaimana cara Aji menciumnya, memeluknya,
bermanja-manja, berkeluh kesah,
bertingkah layaknya bocah. Bahkan Nana di buat lebih cepat dewasa saat bersama Aji,
baik pola pikir maupun cara bertingkah laku. Nana ingat betul semuanya.
"Papamu orang baik... Mama yakin...
" ucap Nana lalu menyeka air matanya. Teringat bagaimana ia bisa termakan
rayuan Aji hingga mau berhubungan intim dan jadi mau lagi dan lagi seperti
suami istri.
Teringat jelas angan-angan Aji yang ingin
punya anak dari Nana. Bahkan keduanya membayangkan bagaimana bila punya anak
sudah lebih dari dua bulan sebelum akhirnya berhubungan intim secara rutin
tanpa alat kontrasepsi. Baik pil yang di minum Nana maupun Aji yang tak mau
lagi memakai pengaman.
“...aku mau anak dari kamu
Na...”
Ucapan Aji saat menggaulinya saat itu masih
terdengar di telinga Nana dengab jelas. Penuh penekanan dalam tiap ritme
hentakannya, tatapannya yang sayu juga suaranya yang berat dan tersengal-sengal
membuat Nana cukup yakin bahkan sangat yakin waktu itu untuk mengiyani
permintaan Aji.
“...iya, lakukan Mas..”
Betapa bodohnya Nana. Tapi mau bagaimana
lagi nasi sudah menjadi bubur. Toh bayinya juga tak pernah minta untuk hadir
dalam rahim wanita sepertinya dan akan lahir dalam kondisi yang serba ngepres
begini. [Next]