"Pagi Mas..." sapa
Nana melihat kekasihnya, Aji yang baru bangun.
"Pagi sayang..." balas Aji lalu mencium
kening kekasih-nya yang tengah menyiapkan sarapan.
Semua tampak menyenangkan seperti hari
biasanya. Minggu pagi ini terasa sangat indah terlebih semalam baru saja mereka
bercinta. Ini waktu yang tepat bagi Nana mengabarkan kehamilannya pada Aji.
Begitu kurang lebih pikir Nana.
"Ada apa? Kenapa menatapku begitu?"
tanya Aji yang jadi salah tingkah dengan tatapan Nana padanya.
Nana hanya menggeleng pelan lalu
mengeluarkan test pack dan hasil foto USG-nya. "Aku
hamil..." ucap Nana dengan wajah sumringah.
Pagi yang tadinya menyenangkan dan penuh
keroman-tisan tiba-tiba menjadi mimpi buruk yang muncul ke dunia nyata bagi
Aji. Matanya melotot, tangannya gemetar memegang barang sialan yang menunjukkan
kehamilan Nana.
"Bentar lagi kita jadi orang tua..."
ucap Nana yang beranjak dari duduknya sambil memeluk Aji dari belakang sambil
mengecup pipinya. "Aku seneng deh..." sambung Nana yang kembali
mendekap Aji.
Aji hanya diam, matanya berkaca-kaca. "Ha...ha...ham... hamil...Hamil?!" ucapnya
terbata-bata.
"Umm... Iya... Kira-kira babynya nanti
cowok apa cewek ya..." jawab Nana dengan senang dan masih sumringah.
Aji kembali menggeleng dan mulai menangis,
di saat itu pula Nana melepas pelukannya dan duduk disamping Aji. Wajahnya
masih senang melihat reaksi Aji yang tak pernah terharu begini, pikir Nana.
"I-itu... Itu bukan anakku! Ga
gamungkin kamu hamil Na!" elak Aji di sela tangis frustasinya.
Wajah sumringah dan penuh bahagia Nana
perlahan memudar mendengar ucapan Aji yang mengelak dan tak mau mengakui janin
di rahimnya.
"Aku ga mau nikah cepet! Aku ga siap
jadi ayah! Aku ga mau jadi orang tua! Gak! Dia bukan anakku!" tolak Aji
sambil mengusap wajahnya dan meremas rambutnya dengan gusar.
"Tapi Mas... dia anakmu, kita
dah lakuin itu hampir tiap hari... Kita dah tinggal bareng lebih dari enam
bulan... Kita pacaran juga hampir dua taun Mas... dan kamu tau aku cuma tidur sama kamu..." ucap
Nana dengan air mata yang mulai mengalir.
"Bisa aja kamu tidur sama cowo lain..."
ucap Aji yang masih berusaha mengelak. "Aku ga mau kamu hamil! Kamu kan
tau kita backstreet! Orangtuaku ga
suka kamu, apalagi kamu hamil anak ga jelas gini!" sambungnya dengan
kesal.
"Ga jelas katamu? Ini jelas anakmu Mas!" saut Nana yang jelas tak terima dengan ucapan
Aji yang terus mengelak.
Aji terus saja mengelak dan mengelak.
Pertengkaran tak terelakkan lagi. Begitu sengit dan penuh tangis kecewa dan
sakit hati. Bagaimana tidak Nana yang tadinya mengira pria yang sudah lama
tinggal seatap dengannya. Terlalu banyak mimpi Indah dan janji-janji manis
tertuang tiap harinya. Terlalu manis tiap hari yang sudah dilalui, terlalu
banyak waktu dan aktivitas harian yang kerap dilakukan bersama seolah sudah
menjadi pasangan sah. Nana lupa diri.
"Mas! Mas mau kemana?" tanya Nana
saat melihat ke-kasihnya mengambil koper dan mulai merapikan barang-barangnya dengan
terburu-buru.
Aji terus mengabaikan Nana sambil terus
mengambil pakaian dan semua barang-barang miliknya, tanpa peduli tentang Nana
yang menangisinya.
"Mas, Mas pernah janji ke aku
bakal sama-sama terus... Mas janji ke aku bakal tanggung jawab soal aku...
Kenapa sekarang Mas kayak gini, Mas?! " ucap Nana yang terus meng-ikuti Aji. "Mana
janji-janjimu itu Mas?!" tagihnya sambil menarik bahu Aji agar mau
memperhatikannya.
Aji berhenti lalu menghela nafas dan
menatap Nana. "Itu dulu... masa lalu adalah sesuatu yang tidak nyata, itu hanya
imajinasimu saja... ga ada pembuktian secara fakta dan bukti fisik kan sekarang? Lagi pula
kamu bisa gugurin janin itu. Toh belum besar juga..." ucap Aji lalu
mengeluarkan semua uang di dompetnya. "Itu harusnya cukup buat aborsi...
Kamu aborsi ke dukun aja ga usah dokter biar ada sisanya..." sambung Aji.
"Mas terus hubungan kita gimana?
Aku..."
"Ya udah putus, ga ada hubungan
lagi... Simpelkan?" potong Aji.
"Tapi aku dah terlanjur kenalin kamu
ke Omku...
Kamu kan tau Mas, dia yang biayai kuliahku..."
"I don't care..." potong
Aji acuh tak acuh lalu pergi begitu saja meninggalkan Nana yang diam termenung.
Ini hanya mimpi buruk sebentar lagi aku
bangun dan semua kembali seperti semula... Batin
Nana yang begitu sulit menerima kenyataan.
Uang sewa kontrakannya sebentar lagi habis.
Mungkin hanya tahan sampai selesai perpisahan nanti, lebih seminggu harusnya.
Tapi biasanya pemilik kontrakan selalu menagih lebih awal. Pikiran-pikiran
buruk mulai berseliweran di kepala Nana. Ketakutan di usir dan tak punya tempat
tinggal mulai terbersit.
Ah tapi itu tidak penting. Masih belum
seberapa. Ketakutan terbesarnya masih sama. Bagaimana nanti bila keluarganya
tau? Bagaimana caranya memberi tahu mereka? Betapa marah dan kecewanya nanti,
apa lagi ayahnya yang hanya seorang penjahit dan guru ngaji itu tak punya
banyak uang. Jangankan banyak, ada uang untuk pegangan harian saja belum tentu.
Bagaimana caranya menyampaikan berita buruk
ini terutama ke omnya? Adik kandung ibunya yang membiayai semua kebutuhannya
sejak ibunya meninggal. Betapa sedih, marah dan kecewanya mereka semua nanti. Nana berusaha
memikirkan semuanya sendiri dalam kekhawatiran dan ketakutannya.
Hanya ada uang sekitar lima juta yang Nana
miliki sekarang. Jauh dari cukup untuk memperpanjang kontrak rumahnya sekarang.
Belum lagi kebutuhan harian dan sekolah-nya. Bayi dalam kandungannya juga makin hari makin
membesar pastinya.
Dua bulan lagi Nana akan lulus sekolah lalu
ia akan kuliah di jurusan manajemen. Kurang lebih begitulah cita-cita
terstruktur yang sudah di arahkan omnya yang lebih mengerti soal pendidikan.
Tapi menahan diri dan menutupi kehamilannya rasanya akan sulit. Toh ia tak
ingin menggugurkan janin itu, bahkan tak terbersit niatan itu di pikirannya.
Maka itu artinya sebentar lagi semua orang bisa melihat perubahan fisiknya.
"Maaf ya..., kamu mau ga mau harus
jadi anakku nantinya..." ucap Nana sambil mengelus perutnya yang masih
datar.
Air matanya mulai mengalir deras. Meratapi
perbuatan-nya yang menyebabkan hukuman seumur hidup begini. Oke mungkin
memiliki bayi bukan hukuman bagi seorang wanita, itu adalah sebuah anugrah.
Tapi untuk anak SMA dan lagi tanpa suami, apakah itu masih bisa di sebut
sebagai anugrah?
Tapi mau di kata musibah bagaimana bila
prosesnya saja di penuhi desah dan bagai candu. Nyaris tiap waktu menyatu,
dalam cumbu dan gairah yang menggebu. Mau dikata kece-lakaan bagaimana bila apa
yang terjadi atas asas suka sama suka. Dalam kerelaan dan kepasrahan bahkan
kadang meminta duluan.
Janji-janji manis waktu itu hilang begitu
saja. Aji yang notabene merupakan guru ekonomi di tempatnya bimbel dan masih
kuliah ini ternyata tak bisa menaruh komitmen lebih padanya. Jangankan berharap
komitmen, tanggung jawab dan loyalitasnya saja perlu di pertanyakan sekarang.
●●●
"Na jajan yuk!" ajak Reni teman
sebangku Nana.
Nana hanya menggeleng pelan sambil
tersenyum. "Hari ini aku bawa bekal... " tolaknya halus.
"Mau nitip gak?" tawar Reni lagi.
Nana kembali hanya menggeleng dan tersenyum
sambil merapikan mejanya sebelum mulai membuka bekalnya. Sementara Reni pergi
keluar kelas bersama siswi lainnya.
Aku harus lebih irit lagi... Batin Nana yang mulai memakan bekalnya.
Benar-benar seadanya, hanya nasi dan dua
potong nugget. Hanya itu yang bisa ia siapkan pagi ini. Berbeda saat ia masih
bersama Aji. Ah tapi untuk apa di ingat kembali. Ini bukan waktunya, dari pada
Nana menangis lagi dan timbul kecurigaan.
"Na... Tadi aku ketemu mas Aji, nitip
ini buat kamu... " ucap Reni membawakan bekal makan siang titipan Aji.
"Terus mas Ajinya dimana? " tanya
Nana semangat.
"Langsung balik gitu, buru-buru orang
dia ga turun dari mobil..." jawab Reni yang langsung membungkam Nana.
"Care banget ya mas Aji ke kamu, padahal serumah.
Mana kamu dah ada bekal, masih aja di bawain. Duh beruntung banget deh..."
Nana hanya diam lalu duduk dengan lesu.
Matanya mulai berkaca-kaca tapi tetap ia berusaha menahannya. Lalu dengan cepat
ia memasukkan makanan itu kedalam tasnya setelah menyeka setetes air matanya
yang dengan kurang ajar tetap nekat mengalir.
●●●
Huft... Mau gimana juga dia hamil
anakku... Batin Aji yang masih memikirkan Nana.
Gadis manis yang datang terlambat ke
kelasnya. Tampak gemetar dan ketakutan saat pertama kali bertemu waktu itu. Tak
satupun teman bimbelnya yang menyapa atau basa-basi berkenalan dengannya.
Wajahnya cantik, dengan raut wajah keibuan yang meneduhkan hati. Badannya semampai dan
proporsional, sempurna kalau saja ia tak minder atau ketakutan begini. Ah sial
ingatan bagaimana saat ia bertemu Nana kembali terbersit di kepala Aji.
"Apa perlu ku kirimi susu?" gumam
Aji saat melihat swalayan yang menggantung banner
promo bulanan. [Next]
0 comments