Bab 41
"Aku minta maaf... " ucap Broto sambil menciumi tangan Siwi. "Aku ternyata ga bisa kalo ga ada kamu... Aku berantakan, ga tenang, ga nyaman... Aku minta maaf selama ini mengabaikan kamu... " tangis Broto langsung pecah saat meminta maaf pada istrinya yang terbaring lemah itu.
Siwi hanya tersenyum lalu mengusap air mata
suaminya. Tangan kecil, kurus, penuh luka milik Siwi itu rasanya benar-benar di
rindukan Broto.
"Aku ga pernah dengerin kamu... Aku
kasar... Aku sering marahin kamu... Aku minta maaf... Kamu boleh liburan kalo
kamu mau, kamu boleh ke mall, kamu
boleh pergi kemanapun, kamu boleh atur anak-anak, atur aku... Kita pindah ke
rumah kita sendiri, ga usah sama ibu gapapa.... Tapi kamu jangan pergi lagi...
" rengek Broto yang benar-benar tak berdaya kali ini.
"Ibu gimana? Ada yang ngurus?"
tanya Siwi setelah lama diam.
"Ada, ada pembantu, suster, supir,
tukang kebun... Kamu ga usah khawatir... Asisten pribadi ibu juga ada... "
jawab Broto cepat.
Siwi hanya diam sambil menganggukkan
kepalanya pelan.
"Pulang ya sayang... Aku janji hidupmu
bakal lebih baik... Jangan pergi... " Broto masih memohon.
Siwi tak bisa memberi jawaban. Ia hanya
memalingkan pandangannya.
"Pengen apa kamu, hmm? Pengen bebas
seperti apa? Ku kabulkan tapi jangan pergi jauh-jauh dari aku sendirian....
Jangan ninggalin aku... " Broto bangun lalu mengecup kening istrinya.
"Katamu dulu aku ga berguna, aku
sering di hukum... Buat apa aku di sana? Ku kira dulu aku di nikahi untuk di
cintai bukan jadi sasaran pukulmu... Ternyata aku cuma jadi samsak hidup, aku
cuma jadi tempat memaki kamu sama ibu... " ucap Siwi lirih, air matanya
pun mulai menetes. "Aku bahkan tidak tau bila selama ini ada pekerja di
rumah, ku kira aku yang jadi babu di sana... Aku miskin jadi layak di
rendahkan, bukan begitu kata ibu? Bukankah kamu juga yang ijinkan ibu
merendahkanku dulu? " lanjut Siwi. "Ku kira kalian semua lebih suka
kalo aku ga ada... " tangis Siwi akhirnya pecah.
"Enggak... Bukan begitu... Aku minta
maaf aku ga bisa menghargai kamu... Aku minta maaf... Siwi... Sayangku... Aku
ga berdaya kalo ga ada kamu, ga ada anak-anak di rumah... " Broto terus
berusaha membujuk istrinya.
Siwi hanya diam dalam tangisnya. Pikirannya
kacau, bingung harus bagaimana. Ingin pergi tapi teringat semua niat awalnya
membangun rumah tangga, ingin tinggal tapi tak ada jaminan hidupnya akan
membaik.
"Satu kali ini saja... Beri aku satu
kesempatan terakhir... " bujuk Broto pada akhirnya.
Siwi masih tak memberikan jawaban, hingga
dua kali suster masuk ke ruang inapnya untuk mengecek kondisinya juga
membawakan makanan. Broto terus duduk di samping Siwi yang berbaring lemas.
"Aku minta maaf ga pernah dengerin apa
maumu, ga pernah perhatikan kamu dengan baik... " Broto masih saja terus
berusaha membujuk istrinya.
Siwi masih saja diam, sambil berusaha keras
menguatkan hatinya mengingat seberapa buruk suami dan mertuanya memperlakukan
selama ini. Belum lagi masa depan anak-anaknya, juga segala tekanan batin
selama ini.
Tapi semakin Siwi mengingat segala
keburukan yang ia terima, semakin ia mengingat hal-hal manis dan perjuangan
suaminya selama ini. Betapa suaminya tertekan hingga jadi terbiasa dalam
kondisinya. Tak boleh memperjuangkan pilihannya sendiri, tak boleh mengambil
keputusan sendiri, tak boleh memilih apapun sendiri. Harus nurut, sesuai
perintah. Hanya saat menikah itulah rasanya satu-satunya dan pertama juga
terakhir kalinya Broto mau melawan. Tidak ada perlawanan lagi.
"Dek... Makan ya... Biar sembuh...
" bujuk Broto.
Siwi menatap suaminya itu. Hatinya makin
galau, bimbang harus apa. Broto masih menggenggam tangannya. "Gak ada
jaminannya kamu mau berubah Mas... Aku takut... " lirih Siwi.
Broto terdiam bingung ingin memberikan
penawaran apa, menjanjikan apa, atau bahkan menjaminkan sesuatu yang berharga.
"Kamu mau apa? " tawar Broto.
"Aku mau kita ga di setir ibu lagi,
biarkan Aji bertanggung jawab, biarkan Alice memilih jalannya, aku mau tinggal
di rumahku sendiri, aku mau istirahat... " jawab Siwi yang langsung di
angguki Broto setuju.
"Itu saja? " tanya Broto yang
hanya di angguki Siwi.
"Jangan di ingkari, nanti aku
benar-benar pergi..." ucap Siwi memperingatkan.
●●●
Aji langsung membawa Alice pulang secara
paksa, menyeretnya masuk ke pesawat pribadi keluarganya yang bahkan baru
mengisi bahan bakar.
"Pulang! PULANG!!! " bentak Aji
sambil memaksa Alice yang menangis histeris sepanjang jalan memanggil-manggil
Joe. "Kamu mau di seret aku apa papa? " tanya Aji lalu menghempaskan
tubuh Alice.
"AKU MAU SAMA JOE! AKU MAU SAMA JOE!!
AKU GA MAU PULANG!!! AKU MAU DI SINI!!! " jerit Alice lalu kembali di
seret Aji.
Tanpa ampun, tanpa pamit pula pada
orangtuanya yang masih di rumah sakit Aji langsung membawa Alice pulang. Tak
peduli Alice memakainya atau memukul, bahkan meronta-ronta sampai mengigit.
Tetap Aji menyeretnya pulang.
"Adek... Kalo sampai kamu hamil
duluan, yang malu itu ga cuma keluarga, tapi kamu juga... Belum lagi kamu pergi
sama mama... Kalo nanti mama yang kena marah gimana?! " ucap Aji
menasehati Alice saat sudah masuk ke pesawat. "Aku menikahi Wulan,
meninggalkan wanita yang ku cintai, meninggalkan anakku, kakak-kakak yang
lain... Kamu kira kenapa? Kita semua ga peduli sama Eyang, sama papa, sama nama
keluarga. Kita semua cuma peduli sama mama, jadi kamu jangan mempersulit
keadaan mama. Aku paham betul bagaimana perasaanmu tapi tolong jangan
bodoh..." sambung Aji.
Alice menggeleng lalu menangis dalam diam.
"Aku sayang Joe, aku mau hidup sama Joe..." rengek Alice sambil
menatap Aji dengan mata yang berkaca-kaca.
Aji mengangguk pelan. "Kalo Joe memang
sebaik yang kamu ucapkan, tadi tidak mungkin dia mengusirmu, tidak mungkin pula
dia membiarkan kamu sama mama sendirian di rumah sakit... " jelas ucapan
Aji itu membuat Alice kesal dan langsung melengos memalingkan wajahnya.
"Dulu kamu juga gitu ke Nana, tapi
kamu juga masih saja mencintainya... Pasti Joe juga begitu... " Alice
kekeh.
Aji hanya bisa diam sambil geleng-geleng
kepala tak menyangka adiknya bisa bodoh ini, di butakan cinta. "Kita
pulang pokoknya cek dulu kondisimu, hamil apa enggak... "
"AKU GAK MAU ABORSI !!" potong
Alice sambil menjerit menolak seolah tau kemana arah pembicaraan Aji.
"Pikirkan kondisi ibu... "
"PIKIRKAN KONDISIKU! KALO AKU HAMIL!!!
AKU PUNYA ANAKNYA JOE!!! PASTI JOE NANTI KEMBALI KE AKU!! PASTI JOE JADI
JODOHKU!!! " potong Alice penuh yakin dengan mata melotot dan bibirnya
yang tersenyum lebar.