Bab 40
Dengan berat hati Aji pergi
bersama Alice sesuai perintah Broto. Siwi juga meminta anak-anaknya untuk nurut
saja dari pada berdebat di rumah sakit. Selain itu ada banyak hal pula yang
ingin Aji tanyakan pada Alice.
"Kamu dah ngapain aja sama
pacarmu?" tanya Aji yang duduk bersebelahan dengan Alice di perjalanan
menuju rumah Joe.
"Gak ngapa-ngapain, ya cuma tidur
bareng, makan, nonton TV kegiatan keluarga... Ada orang tuanya juga di rumah...
Kamu berharap apa?" jelas Alice sambil berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Jangan nyoba bohong. Jangan sampai
kamu hamil, repot... " ucap Aji to
the poin. "Kamu mau ML
boleh, terserah asal jangan hamil tanpa suami... " tegas Aji mengingatkan
adiknya.
Alice hanya menelan ludah sambil menganggukkan,
tak
bisa lagi ia membantah atau bohong bila sudah begini. "H-hanya dua kali
semalam..." lirih Alice sambil menundukkan kepalanya.
"Hah?!! " Aji kaget bukan main
mendengar pengakuan Alice. "Dua kali?! T-tapi baru tadi malam kan?! "
Aji tergagap tak percaya.
Alice menggeleng air matanya mulai mengalir
begitu saja. "Tiap mama gak ngeh... " Alice memperjelas.
Refleks tangan Aji terangkat siap menampar
Alice, tapi saat ia melihat wajah Alice yang berurai airmata saat itu pula Aji
teringat pada Nana. Tangannya perlahan terkepal, seolah tertahan. Berkali-kali
Aji mengadu kepalannya sendiri dengan apapun yang bisa di pukul selain Alice.
Alice memalingkan wajahnya dengan air mata
yang terus berlinangan. Sopir taksi yang mereka tumpangi hanya diam meski
sesekali melirik ke belakang dari kaca. Aji hanya bisa menangis karena emosi
yang tak dapat di kendalikannya lagi. Alice pun begitu.
"Aku akan bertanggung jawab atas
apapun yang ku perbuat, ini bukan urusanmu!" ucap Alice masih berusaha
terlihat kuat setelah menyeka airmatanya.
Aji melirik tajam ke arah Alice. "KAMU
BIKIN MALU KELUARGA! KAM_" belum selesai Aji mengumpat Alice sudah
menampar wajahnya.
"Keluarga?! KELUARGA?!! KELUARGA?!!! IT'S MY BODY! MY RULE! Kapan keluarga
peduli soal kita? Kapan keluarga mempedulikan perasaan kita? Kita ini bonka
Mas!! BONEKA!! BONEKANYA SI TUA BANGKA ITU! Kalo aku hamil ini tetap anakku!
Aku ga peduli apa kata Eyang, apa kata papa! Apa kamu lupa sama apa yang kamu perbuat? Apa
kamu lupa? "
"APA KESALAHANKU MENJADI KIBLATMU?!
" bentak Aji pada Alice yang berusaha mencari pembenaran. "Kalau
keluargamu buruk, kamu tidak bahagia di keluargamu, apa itu menghalalkan kamu
buat merusak tubuhmu? Menjual harga dirimu? " tanya Aji dengan kesal.
Alice terdiam lalu memalingkan wajahnya.
"Semuanya keinginanku, Joe juga pasti tanggung jawab sama aku! "
Alice tetap ngotot. "Lagi pula ini anak kami... " lirih Alice.
Aji memejamkan mata, airmatanya kembali
mengalir dengan kepala yang tertunduk tak kuat melihat Alice. Benar-benar
seperti de javu rasanya bagi Aji.
Flashback~
Nana yang saat itu duduk di bangku kelas
tiga SMA tampak begitu bahagia dan berseri-seri saat Aji berhasil mengajaknya
pergi untuk tinggal bersama. Meskipun senyum sumringahnya tak lagi tersungging
di bibirnya tapi masih tampak begitu nyata betapa bahagianya Nana bisa tinggal
seatap dengan Aji.
Hari-hari berjalan menyenangkan dan Indah.
Hidup seatap layaknya suami istri, makan, memasak, mencuci, bersih-bersih
bersama. Hanya saja Nana yang masih malu-malu kala itu tetap meminta kamar yang
terpisah dari Aji yang belum sah jadi suaminya.
Nilai-nilai Nana juga terjaga bahkan
meningkat hingga di ikutkan lomba cerdas cermat. Semuanya indah dan penuh
cinta, saling menyayangi, mensuport dan menguatkan satu sama lain. Sampai hari
gelap itu tiba.
Eyang kedatangan tamu, seorang wanita yang
sama tuanya dengan asisten pribadi. Terlihat orang tua Aji juga ikut duduk
bersama tamu kali ini. Broto tampak paling sumringah, begitu berbanding
terbalik dengan Siwi yang susah payah menyembunyikan kesedihannya.
"Mas Aji... " panggil Eyang pada Aji
sebelum akhirnya mengenalkan Aji dengan calon mertuanya.
Perkenalan yang tiba-tiba di setujui
sepihak oleh Eyang untuk menjodohkan Aji dan Wulan yang kala itu masih menjalani
pendidikan di luar negeri benar-benar membuat Aji syok. Tak hanya Aji tapi juga
Siwi.
Aji langsung pergi menemui Nana yang
tinggal di kontrakan. Aji benar-benar kesal dan hancur saat itu. Bahkan setelah
ia mengenalkan Nana pada kedua orang tuanya juga sudah begitu dekat dengan
keluarga Nana. Selangkah lagi, dan semuanya hancur.
Aji langsung menghambur ke pelukan Nana
yang baru saja hendak menikmati mie instan yang benar-benar baru selesai ia
masak. Aji hanya memeluk erat tubuh Nana, lalu melumat bibir Nana layaknya
sudah lama tak bertemu.
"Mas!" pekik Nana yang tak siap
dan jelas terkejut dengan apa yang di lakukan Aji.
"Dek..." lirih Aji hingga hampir
terdengar bagai bisikan. Nana terdiam menatap Aji yang sudah berlinang airmata.
"Cup... Cup... Mas jangan nangis...
Nanti aku ikut sedih..." ucap Nana yang berusaha menenangkan Aji.
Aji kembali memeluk tubuh Nana dan
menceritakan semuanya, bercumbu namun juga bercerita. Hingga Nana hanyut dalam
rasa ibanya terhadap Aji dan rasa takut kehilangan, takut hubungannya kandas.
Awal dari pengrusakan yang lebih banyak di
mulai. Awalnya Aji merasa bersalah, terlebih Nana yang hingga menangis dan
solat taubat. Seolah mereka tak akan melakukannya lagi. Tapi tetap saja hasrat
itu muncul kecil, sedikit, tapi terus membesar hingga tak bisa di bendung.
Bagai percikan api yang tak sengaja jatuh kedalam tangki bensin. Mereka
terbakar hasrat ingin bercinta lagi.
Satu kali seminggu, satu dua kali seminggu,
hingga sehari dua kali, sehari tiga kali, puncaknya tanpa pengamanpun harus
jadi.
"Aku mau punya anak... Kalo kita punya
anak ada yang mengikat kita dengan jelas Na... Pasti keluargaku setuju...
" rayu Aji usai bercinta, Nana hanya tersenyum lalu melempar kotak
pengamanan di tangan Aji.
"Ayo... " ajak Nana malu-malu
tapi cukup berani.
Flashback
off~
Sesampai di rumah Joe, Alice langsung di
sambut Joe juga kedua orang tuanya. Alice langsung berlari ingin memeluk Joe
kalau saja Aji kalah cepat darinya. Aji langsung memukul Joe. Joe yang tak
terima jelas membalas pukulan Aji. Perkelahian keduanya tak terelakkan lagi
bahkan orang tua Joe dan Alice sampai kewalahan memisah.
"Perusak! Orang biadab kayak kamu
bagusnya mati saja!! " maki Aji setelah berhasil di pisah.
Joe langsung tertawa terbahak-bahak
mendengar makian Aji. "Apa kamu kira kamu lebih baik? Bawa keluargamu
pergi dari sini! Bawa dia keluar... Aku sudah tidak butuh... " ucap Joe
lalu meludah tepat di bawah kaki Aji.
"Joe aku minta maaf... B-biar... Biar
kakakku pergi... Aku masih mau di sini... " tangis Alice mengiba.
Tapi sayang belum Joe menanggapi Alice,
orang tua Joe sudah keluar rumah sambil membawa koper dan seluruh barang-barang
Alice.
"Pergilah Alice... Tempatmu bukan di
sini... Berhentilah memohon, berhentilah mengiba, berhentilah menjual diri
padaku... Kembalilah ke jalanmu... Ke keluargamu... " tolak Joe lembut
lalu masuk rumah bersama orang tuanya tanpa memandang Alice lagi. Bahkan
gerbang dan pintu pun langsung di tutup.
Alice menangis histeris sambil terus
memanggil Joe, mengiba-iba, memohon-mohon, meminta maaf, sudah benar-benar tak
ada harga dirinya lagi.
"Gara-gara kamu mas! Kenapa sih kamu
sama aja kayak yang lain?! Pengrusak! Penjahat! Munafik! Kamu kira kamu lebih
baik dari Joe?! Kamu kira kamu siapa?! Malaikat?! Tangan kanan Tuhan?! Kamu
cuma bisa mengencingi wanita malang yang kamu biarkan hidup susah kere,
kehilangan masa depan! Kamu! Argh! Kamu... "
Belum puas Alice memaki Aji, Aji sudah
menampar pipinya hingga Alice tersungkur.
"PULANG!! " bentak Aji lalu
menyeret Alice masuk kedalam mobil di ikuti supir yang membawa barang-barang,
lalu tancap gas. [Next]