Nana hanya diam di kamar begitu sampai di rumah omnya. Yuni juga hanya bisa diam tak berani membela atau membenarkan Nana yang sudah kelewat batas. Bahkan Nana tak menyentuh makanan dan minuman yang di bawakan tantenya. Pikirannya kacau, terlalu stress untuk menghadapi masalahnya seorang diri.
"Kamu makan Na..." ucap Yuni
lembut.
"Iya Tan. Nanti..." jawab Nana
pelan.
Sementara itu Bram di buat sibuk mencari
keberadaan Aji yang hilang begitu saja. Mulai dari menelfon sampai meminta
bantuan teman-temannya di kepolisian. Nana masih diam di kamar, cemas, takut
dan rasa bersalah itu bercampur hingga rasanya tak karuan.
"Habis kamu makan kita bicarakan
semua... " ucap Bram sambil membanting pintu.
Yuni dan Nana hanya memejamkan mata dan
mengedikkan bahu saat pintu di banting. Jelas ini bukan pertanda baik. Akan ada
pembicaraan besar dan mungkin menjadi hari penghabisan bagi Nana.
Bram masih sibuk mencari di mana Aji dan
minta tolong sana-sini agar lebih mudah ketemu. Bram sendiri sebenarnya tengah
berusaha untuk mencari cara yang pas untuk memberitahu kakaknya perihal
kelakuan putrinya yang hamil duluan begini.
"Mas... kok bisa kita kecolongan
gini... " ucap Yuni yang menghampiri suaminya di ruang tamu.
"Aku ga mau bahas soal ponakanku dulu.
Kamu panggil dia kesini... " jawab Bram yang enggan berkomentar.
"Mas mandi dulu... solat... jangan emosi,
marah pun gak ada hasilnya... Ga ngerubah apapun... " Yuni masih berusaha
menenangkan suaminya.
"Yun! Kamu paham gimana suamimu ini
apa engga?! Gimana posisiku sekarang!
Kamu ngerti ga?!" bentak Bram dengan kesal pada istrinya.
"Mas! Ini waktu yang sulit buat semua
mau gimana lagi? Mau di gimanain tetep aja sama!" Yuni masih berusaha
meredam amarah suaminya.
"YUNI JANGAN BELAIN PONAKAN KURANG
AJAR KAYAK GITU TERUS!" bentak Bram pada akhirnya sambil menggebrak meja.
Yuni hanya bisa diam toh kalau sudah begini
tak mungkin ia menang debat melawan suaminya yang tengah emosi.
"Masuk kamar! Kita bicara nanti!"
perintah Bram saat melihat Nana keluar kamar dengan tertunduk ketakutan.
Perlahan Nana memberanikan diri untuk
mendekat dan bicara ataupun disidang oleh omnya. Mendengar Yuni yang berusaha
membelanya atau paling tidak memredam emosi Bram hingga saling bentak dan
bertengkar membuatnya tak tahan berdiam diri di kamar.
Yuni menatap Nana sedikit tak percaya,
tatapannya begitu berkaca-kaca iba dengan nasib keponakannya. Tapi apa
mau di kata ia tak bisa membela atau menemani. Entah ini hukuman atau ujian
bagi Nana dan keluarga yang mau peduli padanya.
●●●
Dengan wajah tertunduk dan pipinya yang
panas setelah di tampar Nana menceritakan bagaimana semua bisa sampai terjadi.
Kisah indah percintaannya, sampai hari dimana ia putus saat Aji tau ia hamil.
Bahkan Nana juga menceritakan perihal keluarga Aji yang menolaknya.
"Tetap saja! Dia harus tanggung
jawab!" ucap Bram dengan emosi saat tau Nana malah membackup Aji yang begitu tega mencampakkannya.
Nana merasa benar-benar terpuruk sendiri
kali ini. Ia bingung harus bagaimana. Stigma masyarakat soal dirinya yang hamil
duluan, juga cap sebagai anak haram pada bayinya yang tak berdosa makin
menghantui Nana.
"Besok kita kerumah bapakmu. Kita
ceritakan semuanya..." ucap Bram lalu meninggalkan keponakannya yang
menggeleng enggan mengaku pada bapaknya sendiri.
"Aku takut Om... Aku takut bapak
kecewa..." sesal Nana sambil menangis.
Bram diam saja dan memilih masuk kamar
menemui istrinya.
●●●
Pagi-pagi sekali Nana sudah di bangunkan
oleh om dan tantenya untuk solat subuh. Tentu tak butuh waktu lama untuk
membangunkan Nana yang memang tidak tidur semalaman. Nana terus merenung
memikirkan bagaimana cara menjelaskan semua pada bapaknya yang begitu lugu dan
tak tahu menahu soal dirinya dan kenakalannya.
Hanya menjahit dan mengurus rumah sempit
tipe duasatu yang ia huni seorang diri. Semenjak ibunya meninggal dan adiknya
meninggal karena kangker, rasanya pukulan itu masih belum sembuh dan belum
cukup waktu untuk bisa bangkit dan hidup seperti dulu. Belum lagi sekarang Nana
harus memberi tahu bapaknya soal kehamilannya di luar nikah. Betapa kejam dan
menyakitkan nya nanti.
"Ayo solat dulu..." ajak Yuni.
Nana menurut, tapi tetap saja pikirannya
tak tenang. Apa yang nanti akan ia sampaikan benar-benar membuatnya khawatir.
Mengingat ia selalu memberi kabar baik, mulai dari lomba cerdas cermat, lomba qiroah, dan juara
kelas. Penuh preatasi yang begitu membanggakan dan seolah menjadi oasis di
tengah gurun bagi bapaknya sekarang Nana harus menyampaikan berita bahwa ia
hamil duluan. Entah ujian atau ganjaran.
Bram hanya mendiamkan Nana dan enggan sama
sekali menatapnya. Hanya Yuni yang masih baik padanya dan jujur itulah yang Nana butuhkan
sekarang.
"Sarapan Na..." ajak Yuni saat
suaminya tengah mandi. "Kamu bawa ke kamar gapapa..." sambungnya.
"I-iya tante..." jawab Nana
sungkan.
Yuni langsung memeluk Nana yang tampak
begitu tertekan. "Gapapa... Kamu khilaf..." ucapnya menenangkan Nana
yang malah membuatnya menangis.
"Aku malu tante... aku takut... aku bingung harus
gimana..." ucap Nana di sela tangisnya.
"Sst... Sudah. Kita lalui semua
satu-satu. Allah itu kalo ngasih cobaan atau ujian atau teguran pasti hambanya
sudah di ukur kekuatannya. Kalo ga kuat ga mungkin di timpakan. Dah jangan
nangis..." hibur tante Yuni. "Dah sekarang kamu makan dulu ya...
Nanti kita ke rumah bapak bareng-bareng..." sambung tante Yuni.
Nana hanya mengangguk sambil berusaha
tersenyum dan tegar.
●●●
Usai sarapan dan bersiap pulang, Nana hanya
tertunduk diam. Barang-barangnya masih banyak di kontrakan. Sudah dua hari ini
ia tak berangkat sekolah dan tak balik ke kontrakan. Hpnya juga tertinggal di
kontrakan. Sudahlah Nana begitu pasrah sekarang.
"Assalamu'alaikum... " ucap Bram
begitu sampai rumah pak Janto, bapaknya Nana.
"Wa'alaikumsalam... " jawabnya
sambil tergopoh-gopoh keluar membukakan pintu. "Weh... Tumben kesini...
Gimana sekolahmu lancar Na? Temenmu di asrama baikkan?" sambut pak Janto
lalu menyalimi Bram dan Yuni sambil mempersilahkannya masuk.
Tangan dan kakinya basah, bajunya di
gulung. Tampaknya ia sedang bersih-bersih rumah. Wajahnya tampak lelah namun
juga ceria menyambut kedatangan Nana, putrinya yang menjadi satu-satunya
hiburan dan harapannya saat hati dan tubuh tuanya lelah bekerja. Memandang foto
nana yang kerap nana kirim ternyata di cetak. Mulai saat lomba, memperoleh
piala, sampai saat ulang tahunnya di rayakan bersama teman-teman kelasnya.
Nana makin tidak tega bila harus
menyampaikan soal kehamilannya dan kebenaran kalau ia kumpul kebo bukan ke
asrama pada bapaknya. Hati siapa yang tega bila melihat orang tua yang begitu
lugu ini di bohongi dan terus di tipu begini.
"Bapak mau rendem cucian dulu, tolong
kamu bikin teh Na buat om tante... " pinta pak Janto.
Nana langsung menuruti perintah bapaknya. Bram dan Yuni hanya diam,
tak tega berkata-kata.
"Maaf ya di tinggal sebentar... Ga
kabar-kabar... Jadi ga bisa siap-siap nyajiin apa-apa... " ucap pak Janto
lalu masuk lagi ke dalam rumahnya. [Next]
0 comments