Bab 31
Arif menatap foto Sarah, gadis
yang akan di kenalkan padanya. Masih muda sama bahkan lebih muda dari Nana.
Bukan Arif tak suka pada wanita muda, tapi Arif memikirkan bagaimana tumbuh
kembang dan masa depannya juga. Belum lagi emosi yang belum setabil.
Arif tak mau bila menikahi seorang wanita
ia akan menjadi batu penghalang akan semua mimpinya. Arif juga tak mau kalau
nantinya karena emosi yang belum stabil itu menyebabkan banyak pertengkaran.
Rasa cinta juga jadi mudah goyah dengan ke tidak setabilan emosi.
Ya meskipun Nana juga masih sangat muda
untuk umurannya dan sudah memiliki anak. Tapi setidaknya Nana sudah teruji.
Betapa sabarnya ia saat mengasuh Alif juga dalam menghadapi hujatan masyarakat
membuat hati Arif tersentuh.
Hingga hari dimana Arif pulang kembali ke
pondok tiba, masa pengabdiannya sudah selesai. Setelah berpamitan pada semua
murid di TPA dan beberapa tetangga, Arif pulang di antar Nana dan keluarganya.
Bram juga sampai menyewa mobil yang lebih besar untuk ke pondok hari ini.
Ada wanita yang Arif sukai, ada wanita yang
akan di jodohkan padanya. Tentu saja Arif akan tetap pada Nana dengan segala
pertimbangannya. Sudah tak ada keraguan lagi. Toh Arif juga sudah akrab dengan
Alif dan kenal baik dengan keluarganya.
Tapi beda Arif beda lagi Nana. Ketika Arif
berusaha mempertahankan hatinya untuk kekeh bersama Nana, Nana malah goyah
dengan segala ucapan yang Aji tulis dalam chatnya. Nana goyah ketika Aji
memohon padanya bahkan ketika itu tidak bertatap muka. Nana benci Aji tapi tak
di pungkirinya kalau ia juga merindukan Aji.
Sepanjang perjalanan Nana hanya diam sambil
memangku Alif yang tertidur. Wajah Alif yang mirip dengan Aji membuatnya makin
ragu untuk membuka hati untuk pria lain. Nana ingin memberikan keluarga yang
utuh, juga menunjukkan kasih sayang dari ayah biologis untuk Alif. Tapi saat ia
menatap ke jalan, ingatannya saat Aji mengabaikannya kembali terputar juga.
Rasa sayang dan benci itu terus beradu.
Nana hanya bisa menundukkan pandangannya,
murung, sedih dengan kehidupannya saat ini. Meskipun ia juga bersyukur bisa
menjadi ibu bagi Alif. Ingin rasanya Nana membunuh semua pria sialan yang
berusaha mendekatinya, pria bajingan seperti Aji yang hanya paham kencing lalu
pergi. Tapi anaknya butuh seorang ayah, sialnya bajingan seperti Aji adalah
ayah bagi anaknya.
Aji memang bukan figur yang baik dan
sempurna. Tapi Nana juga sadar tak ada yang sempurna di dunia ini. Bahkan saat
ia merasa prestasi akademisnya sudah begitu bagus, pasangan yang di cap sebagai
couple goals, dan bisa membanggakan
orang tuanya. Rasa bangga dan tinggi hati dalam benak Nana itu yang akhirnya
runtuh seiring perjalanan waktu di tambah hantaman keras ketika ia hamil
duluan. Semua hancur.
Nana menatap Arif yang duduk di depan
tengah mengobrol dengan Bram. Hanya pria bodoh dan kelewat gila yang mau
mendekatinya, rasanya bisa bersanding dengan Arif yang sudah menjadi ustadz
muda benar-benar to good to be true.
Terlalu Indah, terlalu manis. Bagai tidur dan hanyut dalam indahnya mimpi tanpa
ingin bangun lagi.
Belum menikah saja Arif sudah banyak di hujat.
Banyak di tuduh ini dan itu. Bahka banyak yang menyayangkan Arif yang memilih
wanita rusak seperti Nana. Nana tidak marah, ia cukup sadar diri. Arif baik
padanya saja sudah sebuah kebanggaan tersendiri di hati kecilnya, terlalu
lancang bagi Nana yang pernah begitu jalang untuk memimpikan hidup bersama
Arif.
Tak hanya sekali, atau dua kali Nana kerap
mendengar hujatan dan nasehat orang-orang pada Arif untuk menyudahi hubungan
dengannya. Bahkan tak sedikit pula ada yang datang padanya hanya untuk menyuruh
mundur. Mengingatkan Nana untuk tidak menikah dengan Arif hanya demi Alif agar
punya ayah. Terlalu tidak adil bagi Arif, banyak di rugikan sama Nana begitu
cara pandang orang-orang.
Nana tentu tak terima dan ingin melawan.
Tapi rasanya ucapan dan hujatan tetangganya itu ada benarnya juga. Ingin
melapor pada per kumpulan perkumpulan SJW[1] soal hujatannya. Tapi Nana memikirkan bila ia ada di posisi Arif.
Nana merasa miris bila melihat sekilas para Feminis yang menolak untuk sadar
akan realitas kehidupan yang ada sesungguhnya.
Ucapan yang kerap di gaungkan soal "tubuhku adalah orientasiku" atau
apalah sejenisnya. Cara para feminis menganggap sex itu hak segala umat manusia
dan terkesan mengijinkan sex dan menjauhkan stigma masyarakat soal
keperawanan demi bisa seolah-olah sex tanpa nikah tidak masalah, benar-benar
melukai Nana rasanya.
Wanita-wanita yang menentang untuk menjaga
diri dan menggaungkan kalau "cinta
tidak sebatas soal selangkangan". Namun di sisi lain Nana pernah
berada di posisi itu, posisi yang sama dengan wanita-wanita yang berpikiran
bebas dan terbuka soal hak-hak atas tubuhnya. Sayang Nana lupa diri, kelewatan,
lupa batasan. Terlalu los sampai lupa remnya dimana.
Nana menatap Arif yang mengenakan
songkoknya saat berhenti di lampu merah dekat pondoknya. Arif tersenyum sadar
Nana menatapnya dari tadi.
"Sebentar lagi sampai..." ucap
Arif pada Nana. Nana hanya mengangguk sambil tersenyum canggung.
Apa
semuanya akan lancar dan baik-baik saja kalau aku menikah sama mas Arif? Apa
pendosa sepertiku layak bersanding dengannya? Batin
Nana gundah.
●●●
Aji masih saja mengirimi Nana pesan, pulsa,
bahkan paketan juga. Berharap Nana akan membalasnya, meskipun sejauh ini
hasilnya nihil. Wallpaper wajah Alif di ponselnya terus ia lihat tanpa bosan.
Betapa kejamnya ia dulu saat meminta Nana menggugurkan anak menggemaskan
seperti Alif.
Alif tampak sehat dan ceria meskipun
bajunya tampak sudah ada sedikit koyak yang di jahit lagi. Alif terlihat kurus
tapi itu tak mengurangi sorot matanya yang penuh kebahagiaan. Begitu polos,
tanpa dosa. Tak tau pula kenapa ia bisa hadir dan lahir. Tak bisa memilih untuk
tumbuh dari keluarga seperti apa, orang tua yang bagaimana.
Bila anak-anak lain kelahirannya di penuhi
keberuntungan, dengan keluarga lengkap, makanan berlebih, mainan berlimpah,
pakaian berkelip, rumah yang megah. Maka berbeda dengan Alif yang hanya
beruntung karena bisa lahir.
Menatap Alif membuatnya terluka dan
menyesal. Saat ibunya hamil di tinggal, di usir, di perlakukan layaknya lonte,
di fitnah dengan keji oleh bapaknya sendiri bahkan di suruh mati. Betapa
kejamnya Aji dulu, bila ia tak ketakutan dan mau melawan mungkin ia akan selalu
menemani tumbuh kembang Alif sejak di kandungan. Tapi mungkin kalau Aji tidak
nekat dan merayu gadis polos yang ia pacari kala itu, mungkin saja tak ada Alif
yang harus menderita.
Ikut merasakan kerasnya dunia, banyak ikut
menelan asam garamnya dunia yang begitu keras untuk bocah sepertinya. Ikut
menderita menanggung dosa yang bahkan tak pernah di lakukannya, tak pernah ia
perbuat atau di lihat sebelumnya. Tapi tetap saja hujatan akan dosa itu tetap
di sandingnya.
Alif kecil yang harus mengadu kepalan
tangannya dengan kerasnya karang. Maka ini adalah saat yang paling tepat bagi
Aji untuk bertanggung jawab atas semuanya. Meringankan semua beban bagi Nana
maupun Alif dan melawan segala belenggu atas dirinya. [Next]
[1] Social Justice
Warior