BLANTERORBITv102

Bab 06

Sabtu, 23 September 2023

 


Nana hanya bisa menangis dan meminta maaf pada bapaknya yang memilih mengurung diri di kamarnya. Sangat terpukul dan kecewa jelas. Bapak mana yang tak remuk perasaannya saat tau putrinya yang begitu di banggakan malah hamil duluan. Membohonginya pula!

Selama tiga hari pak Janto hanya diam di kamar, keluar hanya untuk ke masjid dan urusan kamar mandi. Makanan tak di sentuh, minumpun juga jarang.  Menatap Nana rasanya hanya menambah rasa kecewanya saja. Ingin mengusir Nana, tapi ia adalah putrinya. Ingin menolak janin dalam kandungan Nana, toh ia tak bersalah. Bahkan janin itu juga tak pernah meminta untuk ada dalam keadaan seperti ini. Tapi bila di teruskan harus bagaimana?

Membesarkan seorang anak bukanlah hal yang mudah dan murah. Perlu banyak biaya dan waktu juga pengawasan atas tumbuh kembangnya. Pendidikan tidak murah, belum biaya rumah sakit saat nanti melahirkan, pakaian, pangan, susu, stigma negatif dari masyarakat. Ini bukanlah hal yang mudah, ini bukan hal sepele dan sederhana. Membesarkan seorang anak berbeda dengan memungut kucing di jalan.

Cita-cita Nana yang ambisius, yang di rancang jadi wanita karir jadi amburadul. Soft skill tak punya secara spesifik atau benar-benar profesional siap kerja, maklum anak SMA. Mau di beri makan apa anaknya nanti. Bagaimana cara membiayainya nanti. Atau sebaiknya di gugurkan saja mumpung belum besar?

Tapi dia tidak salah, dia tidak berdosa yang berdosa perbuatan Nana dan Aji. Berbohong dan pacaran saja sudah dosa, ini sudah di tambah dosa zina, apa mau di tambah dosa membunuh secara berencana juga? Astaghfirullah... Pak Janto benar-benar di landa bingung.

"Na..." panggil pak Janto sambil berjalan keluar dari kamarnya.

"Iya Pak..." jawab Nana pelan dan tak berani mengangkat kepalanya.

"Bapak mau ketemu sama pacarmu... Bapak mau minta dia buat tanggung jawab..." ucap pak Janto sambil sesekali menghela nafas. "Bilang sama om tantemu buat nemenin ketemu pacarmu itu..." sambung pak Janto lalu masuk kamarnya dan mengunci diri lagi.

Nana hanya diam lalu menghubungi tantenya dengan hp jadul bapaknya.

 ●●●

"Ada apa Om kok tumben dateng repot-repot ke kantor..." sapa Aji basa-basi menyambut Bram yang datang ke kantornya.

Kalau saja tidak berpapasan langsung sudah pasti Aji kabur sekarang. Melihat gelagatnya yang tak tenang saja sudah begitu meyakinkan kalau ia tak mau bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan Nana.

"Tanggung jawab! Kamu sudah menghamili Nana! Bisa-bisanya kamu tanya ada apa!" ucap Bram yang tak bisa menahan diri lagi.

"Aku ga menghamili Nana, mungkin anak orang lain... " ucap Aji mengelak dengan gugup dan tak mau menatap Bram.

"Gimana bisa kamu bilang bukan kamu yang hamili Nana?! Kamu dah lama tinggal berdua sama dia! Gimana bisa kamu mengelak?! "desak Bram sambil menggebrak meja.

"Bisa saja dia hamil anak orang lain! Apa jaminannya dia hamil anakku?! Apa jaminannya dia hanya tidur sama aku?!" elak Aji lalu memanggil petugas ke amanan untuk mengusir Bram.

Bram hanya diam sambil mengelus dada dan berjalan keluar sebelum petugas ke amanan menyeretnya keluar. Harga dirinya benar-benar di injak-injak. Sudah datang sengaja berseragam polisi lengkap, kini ia malah di usir begitu saja oleh Aji yang tak mau mengakui perbuatannya.

Tapi di sisi lain kecurigaan pada Nana juga muncul di hati Bram. Apa benar yang sudah Nana katakan selama ini? Apa Nana tidak bohong? Soal asrama saja bisa bohong bagaimana kalau ini juga? Batin Bram penuh tanya sepanjang jalan pulang.

Tapi belum tenang pikirannya, dengan pertanyaan yang berkecamuk di kepala. Begitu sampai rumah Bram sudah dapat kabar mengenai kakak iparnya yang akhirnya mau bergerak.

"Nanti kita antar Nana sama bapaknya ke rumah Aji... Aku dah nemu alamatnya... " ucap Bram pada istrinya yang menceritakan permintaan Nana.

"Tadi mas gimana? Dah ketemu sama Aji? " tanya Yuni yang duduk menemani Bram.

"Sudah... Dia bilang bisa saja Nana tidur sama pria lain... Dia ga percaya... Aku di usir... " ucap Bram lalu mengusap wajahnya dengan frustasi.

Kalau dulu Bram dan Yuni pusing memikirkan biaya pendidikan Nana sekarang mereka harus di pusingkan degan Nana yang hamil duluan begini. Mengurus Nana dan pendidikannya saja sudah cukup pusing, sekarang masih memikirkan bayi di kandungannya juga.

Kalau dulu ada rasa bangga dan harapan dalam kesulitan membiayai. Kini semua sudah hilang, hanya ada rasa kecewa dan terbebani saat mengingat Nana yang bisa khilaf sampai sebegitu jauhnya.

"Nanti malam saja di antar ke sana... " ucap Bram lalu masuk ke kamar.

●●●

Bram dan Yuni datang ke rumah dengan mobil karimun berwarna cream yang jarang di pakai. Terlihat Nana dan pak Janto sudah rapi menunggu. Sudah tidak ada basa-basi lagi di antara Bram dan iparnya, begitu pula dengan Nana yang hanya bisa diam.

"Kita ambil bukti USG-ku dulu ?" tanya Nana pelan.

"Tidak usah, sudah di ambil tantemu tadi... " jawab Bram yang menyetir.

Sudah tak ada percakapan lagi. Tak ada suara lagi. Bahkan radio pun juga tak di nyalakan. Semua hanya diam. Ingin memarahi Nana juga tak akan membuahkan hasil yang lebih baik. Semua sudah terlanjur dan tidak bisa kembali seperti semula lagi.

Sesampainya di rumah Aji, tampak eyang yang kembali menerima tamu. Kedatangan Nana dan keluarganya di sambut dingin. Tak ada suguhan yang dikeluarkan. Aji dan orang tuanya juga hanya diam menatap jijik pada Nana dan keluarganya.

"Cucuku sudah cerita semua... Gapapa kalo kamu hamil entah anaknya atau anak siapa... Aku tau kamu ini dari keluarga kere... Mungkin cucuku ini apes gara-gara nidurin kamu yang dah hamil dulu mungkin sama siapa aku juga ga tau... Ini ada duit... Butuh duitkan? Mau di gugurin apa di lanjutin terserah. Tapi yang jelas kamu jangan ngimpi buat nikah sama cucuku... " ucap Eyang yang langsung mengeluarkan amplop coklat berisi uang beberapa gepok.

Nana hanya diam dengan air mata yang mengalir begitu saja sambil menatap Aji yang hanya diam. Pak Janto juga hanya diam karena terkejut dengan omongan wanita tua di depannya yang begitu menohok dan tajam meskipun disampaikan dengan nada yang terbilang halus.

"Tapi aku ga pernah tidur dengan pria lain... Mas Aji pacar pertamaku... Kita pacaran sejak aku kelas sebelas... Mas... Kenapa kamu ga bilang yang sebenarnya?" ucap Nana berusaha menguatkan diri untuk buka suara.

"Apa jaminannya?" tanya Eyang. "Kamu perempuan murahan yang pintar tawar-menawar ya..." Eyang kembali memberikan amplop uang pada Nana. "Sudah tidak apa-apa kamu ambil saja... Kamu tutup mulut, pergi jauh-jauh dari cucuku... "

Nana hanya diam menatap tumpukan uang di depannya. Bukan ini yang ia harapkan. Memang keluarganya miskin, tapi ia masih punya harga diri.

"Sudahlah, ambil saja lalu pergilah... " ucap Aji buka suara.

Nana maafkan aku... Tapi ini yang terbaik... Batin Aji. [Next]




Author

dasp world

Agensi kepenulisan dan penerbitan cerita fiksi online.