Nana hanya bisa menangis dan
meminta maaf pada bapaknya yang memilih mengurung diri di kamarnya. Sangat
terpukul dan kecewa jelas. Bapak mana yang tak remuk perasaannya saat tau
putrinya yang begitu di banggakan malah hamil duluan. Membohonginya pula!
Selama tiga hari pak Janto hanya diam di
kamar, keluar hanya untuk ke masjid dan urusan kamar mandi. Makanan tak di
sentuh, minumpun juga jarang. Menatap
Nana rasanya hanya menambah rasa kecewanya saja. Ingin mengusir Nana, tapi ia
adalah putrinya. Ingin menolak janin dalam kandungan Nana, toh ia tak bersalah.
Bahkan janin itu juga tak pernah meminta untuk ada dalam keadaan seperti ini.
Tapi bila di teruskan harus bagaimana?
Membesarkan seorang anak bukanlah hal yang
mudah dan murah. Perlu banyak biaya dan waktu juga pengawasan atas tumbuh
kembangnya. Pendidikan tidak murah, belum biaya rumah sakit saat nanti
melahirkan, pakaian, pangan, susu, stigma negatif dari masyarakat. Ini bukanlah
hal yang mudah, ini bukan hal sepele dan sederhana. Membesarkan seorang anak
berbeda dengan memungut kucing di jalan.
Cita-cita Nana yang ambisius, yang di
rancang jadi wanita karir jadi amburadul. Soft
skill tak punya secara spesifik atau benar-benar profesional siap kerja,
maklum anak SMA. Mau di beri makan apa anaknya nanti. Bagaimana cara
membiayainya nanti. Atau sebaiknya di gugurkan saja mumpung belum besar?
Tapi dia tidak salah, dia tidak berdosa
yang berdosa perbuatan Nana dan Aji. Berbohong dan pacaran saja sudah dosa, ini
sudah di tambah dosa zina, apa mau di tambah dosa membunuh secara berencana
juga? Astaghfirullah... Pak Janto benar-benar di landa bingung.
"Na..." panggil pak Janto sambil
berjalan keluar dari kamarnya.
"Iya Pak..." jawab Nana
pelan dan tak berani mengangkat kepalanya.
"Bapak mau ketemu sama pacarmu...
Bapak mau minta dia buat tanggung jawab..." ucap pak Janto sambil sesekali
menghela nafas. "Bilang sama om tantemu buat nemenin ketemu pacarmu
itu..." sambung pak Janto lalu masuk kamarnya dan mengunci diri lagi.
Nana hanya diam lalu menghubungi tantenya
dengan hp jadul bapaknya.
●●●
"Ada apa Om kok tumben dateng
repot-repot ke kantor..." sapa Aji basa-basi menyambut Bram yang datang ke
kantornya.
Kalau saja tidak berpapasan langsung sudah
pasti Aji kabur sekarang. Melihat gelagatnya yang tak tenang saja sudah begitu
meyakinkan kalau ia tak mau bertemu dengan siapapun yang berhubungan dengan
Nana.
"Tanggung jawab! Kamu sudah menghamili
Nana! Bisa-bisanya kamu tanya ada apa!" ucap Bram yang tak bisa menahan
diri lagi.
"Aku ga menghamili Nana, mungkin anak
orang lain... " ucap Aji mengelak dengan gugup dan tak mau menatap Bram.
"Gimana bisa kamu bilang bukan kamu
yang hamili Nana?! Kamu dah lama tinggal berdua sama dia! Gimana bisa kamu
mengelak?! "desak Bram sambil menggebrak meja.
"Bisa saja dia hamil anak orang lain!
Apa jaminannya dia hamil anakku?! Apa jaminannya dia hanya tidur sama
aku?!" elak Aji lalu memanggil petugas ke amanan untuk mengusir Bram.
Bram hanya diam sambil mengelus dada dan
berjalan keluar sebelum petugas ke amanan menyeretnya keluar. Harga dirinya
benar-benar di injak-injak. Sudah datang sengaja berseragam polisi lengkap,
kini ia malah di usir begitu saja oleh Aji yang tak mau mengakui perbuatannya.
Tapi di
sisi lain kecurigaan pada Nana juga muncul di hati Bram. Apa benar yang
sudah Nana katakan selama ini? Apa Nana tidak bohong? Soal asrama saja bisa
bohong bagaimana kalau ini juga? Batin Bram penuh
tanya sepanjang jalan pulang.
Tapi belum tenang pikirannya, dengan
pertanyaan yang berkecamuk di kepala. Begitu sampai rumah Bram sudah dapat
kabar mengenai kakak iparnya yang akhirnya mau bergerak.
"Nanti kita antar Nana sama bapaknya
ke rumah Aji... Aku dah nemu alamatnya... " ucap Bram pada istrinya yang
menceritakan permintaan Nana.
"Tadi mas gimana? Dah ketemu sama Aji?
" tanya Yuni yang duduk menemani Bram.
"Sudah... Dia bilang bisa saja Nana
tidur sama pria lain... Dia ga percaya... Aku di usir... " ucap Bram lalu
mengusap wajahnya dengan frustasi.
Kalau dulu Bram dan Yuni pusing memikirkan
biaya pendidikan Nana sekarang mereka harus di pusingkan degan Nana yang hamil
duluan begini. Mengurus Nana dan pendidikannya saja sudah cukup pusing,
sekarang masih memikirkan bayi di kandungannya juga.
Kalau dulu ada rasa bangga dan harapan
dalam kesulitan membiayai. Kini semua sudah hilang, hanya ada rasa kecewa dan
terbebani saat mengingat Nana yang bisa khilaf sampai sebegitu jauhnya.
"Nanti malam saja di antar ke sana...
" ucap Bram lalu masuk ke kamar.
●●●
Bram dan Yuni datang ke rumah dengan mobil
karimun berwarna cream yang jarang di pakai. Terlihat Nana dan pak Janto sudah
rapi menunggu. Sudah tidak ada basa-basi lagi di antara Bram dan iparnya,
begitu pula dengan Nana yang hanya bisa diam.
"Kita ambil bukti USG-ku dulu ?"
tanya Nana pelan.
"Tidak usah, sudah di ambil tantemu
tadi... " jawab Bram yang menyetir.
Sudah tak ada percakapan lagi. Tak ada
suara lagi. Bahkan radio pun juga tak di nyalakan. Semua hanya diam. Ingin
memarahi Nana juga tak akan membuahkan hasil yang lebih baik. Semua sudah
terlanjur dan tidak bisa kembali seperti semula lagi.
Sesampainya di rumah Aji, tampak eyang yang
kembali menerima tamu. Kedatangan Nana dan keluarganya di sambut dingin. Tak
ada suguhan yang dikeluarkan. Aji dan orang tuanya juga hanya diam menatap
jijik pada Nana dan keluarganya.
"Cucuku sudah cerita semua... Gapapa
kalo kamu hamil entah anaknya atau anak siapa... Aku tau kamu ini dari keluarga
kere... Mungkin cucuku ini apes gara-gara nidurin kamu yang dah hamil dulu
mungkin sama siapa aku juga ga tau... Ini ada duit... Butuh duitkan? Mau di
gugurin apa di lanjutin terserah. Tapi yang jelas kamu jangan ngimpi buat nikah sama cucuku... "
ucap Eyang yang langsung mengeluarkan amplop coklat berisi uang beberapa
gepok.
Nana hanya diam dengan air mata yang
mengalir begitu saja sambil menatap Aji yang hanya diam. Pak Janto juga hanya
diam karena terkejut dengan omongan wanita tua di depannya yang begitu menohok
dan tajam meskipun disampaikan dengan nada yang terbilang halus.
"Tapi aku ga pernah tidur dengan pria
lain... Mas Aji pacar pertamaku... Kita pacaran sejak aku kelas sebelas...
Mas... Kenapa kamu ga bilang yang sebenarnya?" ucap Nana berusaha
menguatkan diri untuk buka suara.
"Apa jaminannya?" tanya Eyang. "Kamu
perempuan murahan yang pintar tawar-menawar ya..." Eyang kembali memberikan
amplop uang pada Nana. "Sudah tidak apa-apa kamu ambil saja... Kamu tutup
mulut, pergi jauh-jauh dari cucuku... "
Nana hanya diam menatap tumpukan uang di
depannya. Bukan ini yang ia harapkan. Memang keluarganya miskin, tapi ia masih
punya harga diri.
"Sudahlah, ambil saja lalu pergilah...
" ucap Aji buka suara.
Nana
maafkan aku... Tapi ini yang terbaik... Batin Aji. [Next]
0 comments