Nana mulai mencari lowongan
pekerjaan juga info tempat tinggal yang lebih murah dari yang sekarang. Tiap
hari selalu ada makanan yang di antar ke sekolah atau rumah kontrakan yang sekarang.
Seminggu sekali ada buah dan kebutuhan lainnya, tapi masih saja Nana tak
menerima balasan dari pesannya.
"Assalamu'alaikum..."
panggil seorang wanita paruh baya dari balik gerbang.
"Wa'alaikumsalam..."
jawab Nana dari dalam lalu buru-buru keluar rumah. Ya ampun ngapain tante
kesini! Batin Nana panik. "Tante mau kesini kok ga bilang-bilang... "
sambut Nana seperti biasa.
"Mas Aji mana?" tanya Yuni pada
Nana yang terlihat hanya sendiri di rumah.
"Pergi Tante... " jawab Nana
berusaha menutupi.
"Ealah... kalian kapan mau
nikah? Ga baik cowok cewek tinggal seatap kalo belum nikah. Ommu bisa ngamuk
kalo sampe tau kamu nekat..." ucap Yuni menasehati sambil meletakkan
bungkusan yang di bawanya. "Ini tante bawa durian montong kesukaanmu. Kebetulan
dapet panenan ommu itu... "
"Huek...
Huek..." seketika Nana mengutup
mulutnya saat rasa mual seketika menyerang. Nana langsung berlari ke kamar
mandi untuk memuntahkan isi perutnya.
Tumben Nana muntah gitu... Apa sakit ya?
Batin Yuni melihat keponakannya yang tiba-tiba
muntah.
Cukup lama Nana muntah-muntah sampai ia
keluar dengan lemas hingga pingsan setelah terduduk lemah di depan kamar mandi.
Tak banyak yang Nana ingat dan rasakan selain tubuhnya yang kehilangan energi
hingga tak sadarkan diri.
●●●
Perlahan Nana membuka matanya, beberapa
kali ia mengerjab sebelum akhirnya ia terbangun. Gorden hijau sebagai skat
pembatas yang pertama kali di lihatnya. "Astaghfirullah..." bisiknya pelan
saat melihat infus di tangan kirinya.
"Dah bangun?" Yuni dengan mata
sembab.
"Aku kenapa Tante... "
"KAMU PULANG KE RUMAH OM! JELASIN
SEMUANYA!" potong Bram, adik ayah Nana yang selama ini membiayai dan
mengasuh Nana.
Nana hanya memejamkan matanya dengan berat
dan cukup lama. Habis sudah nasibnya. Nana yang awalnya sudah merencanakan
untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya
dan menyimpan rahasia sendiri jadi hancur berantakan. Semua rencananya
berantakan.
Mau tidak mau Nana harus menghadapi
keluarganya. Tidak ada tempat untuk kabur lagi. Tidak ada lagi yang bisa ia
sembunyikan. Apa lagi sampai Bram tau begini. Habis sudah.
"Mas, tolong jangan terlalu keras sama
Nana..." bujuk Yuni samar terdengar tengah menenangkan suaminya yang di
bakar amarah.
"Aku kecewa Dek! Susah payah aku didik
Nana! Ku sekolahin! Ikut bimbel [1]juga! Gimana bisa sampe kayak gini?! Astaghfirullah... " suara penuh emosi dari Bram terdengar
gemetar.
Pria tinggi gagah yang bekerja sebagai
Polantas [2]itu tampak begitu kecewa. Bahkan sampai menangis saking sedih,
marah, dan kecewa dengan kelakuan ponakan yang selama ini ia anggap anak
sendiri. Bagaimana tak kecewa, setelah ia kehilangan putra semata wayangnya
yang meninggal karena kecelakaan. Kini putri kakaknya yang ia anggap anak
sendiri malah hamil duluan.
Air mata mengalir begitu saja dari mata
Nana mendengar kekecewaan demi kekecewaan dari om tantenya yang sudah menjadi
orang tua sambung selama ini. Nuraninya tercabik-cabik mengingat betapa
bodohnya ia. Betapa mudahnya ia terlena dengan janji manis yang tak pasti.
Mimpi hidup bersama dan menjadi istri dari
pria yang ia pacari sejak duduk di bangku kelas sebelas itu sirna begitu saja.
Jangankan menjadi istri, sekarang ada untuk menemani saja tidak. Ah itu masih
halu, Aji mau membalas pesannya saja rasanya seperti mukjizat.
"Mas Aji... Kenapa kamu tega
sekali..." lirih Nana pelan sambil mengelus perutnya yang masih datar. [Next]
0 comments