0
Home  ›  Chapter  ›  My Baby Need A Daddy

Bab 38

 

Bab 38-1

Wulan terdiam di kamarnya, sudah tujuh test pack di kencinginya sudah tiga kali pula hasil lab ia terima dengan hasil yang sama masih membuatnya tak percaya. Hamil... Oke ini mungkin kabar baik, mengingat seharusnya ia tak bisa hamil lagi. Tapi yang jadi masalah adalah siapa bapaknya?! Aji? Hari?

Wulan mengacak-acak rambutnya, frustasi dengan kondisinya. Mungkin bila ia masih berumur di bawah dua puluh lima tahun dan dalam kondisi yang belum mantap seperti sekarang ia memiliki alasan yang cukup mendasar bila melakukan aborsi. Tapi sekarang? Ia sudah mapan, punya karir, punya cukup banyak harta yang cukup bila sekedar untuk menghidupi satu orang anak, ia sudah mempunyai semuanya. Semua hal yang ingin ia gapai, paling tidak.

"Ini anak siapa? " gumam Wulan sambil meremas perutnya.

Ia mulai memikirkan siapa saja pria yang sudah menidurinya akhir-akhir ini. Ingin menyalahkan Hari dan memintanya bertanggung jawab, Hari bahkan hanya menidurinya dua kali. Itupun sudah lama sekali. Tepatnya saat ia menyaksikan pembakaran pasar dulu. Aji? Sudah sejak ia mengetahui soal Nana, Aji tak lagi menidurinya. Jangankan tidur bersama, bahkan mereka sudah pisah ranjang meskipun masih seatap. Hari! Hanya dia yang paling layak di curigai dan dimintai pertanggung jawaban.

"Gimana jadinya? Apa pilihanmu? " tanya Ratna yang sudah kelewat pusing memikirkan kelakuan putrinya yang tak bisa di setir lagi.

"Aku mau pergi... Liburan... " jawab Wulan sekenanya daripada harus berurusan dengan keluarganya secara terus menerus juga masalah-masalah yang ia hadapi tanpa henti.

●●●

Alice terus berada di sisi ibunya dengan pandangan yang perasaan khawatir dan cemas. Semua kakaknya sudah di kabari, bahkan Aji juga akan segera datang. Tapi tetap saja Alice tak bisa tenang.

"Mama gapapa... " ucap Siwi lembut dengan senyumnya berusaha menenangkan Alice.

"Lain kali makannya ga usah ikut-ikutan aku kabur! Ngerepotin aja!" kesal Alice berusaha menutupi kekhawatirannya dan rasa ingin menangis yang lama ia tahan.

"Iya... Maaf ya... " jawab Siwi lembut lalu menggenggam tangan putri bungsunya itu.

Alice langsung memalingkan wajahnya meskipun ia tetap membiarkan Siwi menggenggam tangannya.

"Mama kangen sekali sama papamu, sama Eyang, sama mas Aji... " ucap Siwi memulai ceritanya pada Alice. "Papa itu emang kayak gitu orangnya... Tapi dulu papa ga kasar kok... " lanjut Siwi mengingat suaminya kembali.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Alice langsung memasang wajah angkuh penuh amarahnya kembali setelah mendengar ucapan Siwi.

"Semarah apapun mama, mama tetep ga bisa pisah sama papamu..." ucap Siwi lembut lalu mengecup jemari putriya.

Alice menarik tangannya, kesal dengan ibunya yang ia anggap begitu bodoh. Siwi hanya tersenyum melihat reaksi putrinya itu. Bukan kali pertama Siwi melihat reaksi seperti ini. Meskipun ya memang di bandingkan semua kakaknya Alice adalah yang paling kekeh melawan.

"Maaf ya... Mama ga bisa bikin adek seneng... Bikin adek sebel terus... " ucap Siwi lebih lembut lagi pada Alice.

Alice langsung menarik tangannya dan keluar meninggalkan Siwi begitu saja. Air matanya tak bisa di tahan lagi, melihat mamanya yang hampir tiap hari tidak bahagia, terus di siksa, tapi tetap saja berusaha mencintai keluarganya.

●●●

Usai Nana mengurus Alif hingga ia terlelap, Nana baru pergi kencan sebentar bersama Arif yang sudah menunggunya di luar sembari mengobrol dengan pak Janto dari tadi.

"Ayo... " ajak Nana setelah menyiapkan susu untuk Alif dan berpamitan pada bapaknya.

Usai Arif ikut berpamitan, Arif langsung membawa Nana pergi. Tak jauh hanya warung mie ayam dekat pasar, dimana Nana dan Alif dulu pernah di paksa Aji masuk.

Keduanya hanya diam, menunggu pesanannya datang. Duduk berhadapan tak berani membuka pembicaraan dengan pandangan yang sama-sama menunduk tanpa saling menatap.

"Na.." , "Mas..." ucap keduanya bersamaan membuka pembicaraan.

Keduanya terdiam, senyum terulas di keduanya.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

"Soal Alif... " ucap Nana sebelum Arif menyampaikan apa yang ingin ia ucapkan sebelumnya.

"Iya? " Arif bersiap mendengarkan.

"Aku bingung akhir-akhir ini... Maksudku aku suka akhirnya ada orang yang mau bertanggung jawab atas hidupku dan anakku juga... Tapi Mas, Alif itu bukan anak kandungmu, bukan kamu juga yang menghamiliku hingga dia ada... " ucap Nana gugup.

"Na, kita sudah bicarakan ini... Aku ga masalah... Demi Allah aku ga masalah... " ucap Arif meyakinkan Nana.

"Bukan gitu Mas, aku khawatir kalo kedepannya Alif nakal, ga baik, ato ya... Kita tau kan ga ada sesuatu yang benar-benar mulus... "

"Na, aku paham... Aku paham betul dengan apa yang kamu pikirkan... Tapi apa kamu yakin kalo kamu tetap sendiri atau balik lagi dengan ayahnya Alif semua akan menjadi lebih baik? Kamu bahagia? Alif di terima juga dengan baik? " potong Arif yang sudah mengerti kemana arah pembicaraan Nana.

Nana hanya diam, hingga seluruh pesanan tersaji. Nana masih saja bergelut dengan pikirannya. Tak pernah ada jaminan pasti yang ia terima dari Aji, tak pernah ada kepastian jelas dalam hitam diatas putih. Hanya janji dalam desah di atas ranjang yang semuanya hilang begitu saja saat Aji puas mengencinginya.

"Maaf... Tapi aku hanya menyampaikan apa yang ku khawatirkan soal kamu sama Alif..." ucap Arif lembut berusaha mencairkan suasana.

Nana menatap Arif cukup lama, lalu tersenyum dan mengangguk. "Tidak apa-apa Mas, hanya saja aku ini barang bekas. Aku bukan janda tapi aku punya anak. Kamu berhak dapat wanita solehah yang masih perawan, suci, tak ternodai. Kamu berhak mengasuh anak yang memang kamu yang bikin. Toh di anjurkannya mengasihi janda terlantar, aku bukan janda sudah tak gadis pula..."

"Na... Bagiku kamu sempurna, apapun kamu bagaimanapun kamu. Selama kamu lakukan pertaubatan bagiku semua sudah tak masalah lagi. Tidak ada manusia yang ga luput dari dosa, kesalahan, khilaf... Gapapa Na, selama kamu sadar itu salah dan kamu ga ngulangin lagi itu sudah cukup... Kita tidak tinggal di tempat dengan hukuman rajam atau hukum-hukum Islam lainnya. Hanya taubatan nasuha yang bisa di amalkan yasudah sudah cukup. Berhentilah menghakimi dirimu sendiri... " ucap Arif panjang lebar berusaha meyakinkan Nana sekaligus menyemangatinya.

Nana tersenyum canggung. Kekhawatiran akan Alif bila ia memiliki pasangan baru membuat Nana terus saja ragu. Pertimbangannya makin banyak. Kalau dulu ia hanya berharap asal mau menikahinya agar ada nama ayah di akta kelahiran Alif, sekarang berubah. Bila dulu ia berharap asal mau menerima kondisinya juga Alif sudah cukup sekarang berubah. Mungkin Arif bisa menyayanginya, menerima Alif juga mungkin Arif juga bisa lebih baik dari Aji.

Tapi tak ada jaminan kalau Arif akan tetap menyayangi Alif dengan sepenuh hati kalau nantinya ia punya anak kandung sendiri. Bagamana kalau Alif nakal nantinya? Mungkin saat ini Arif masih bisa maklum dan menerimanya, menasehatipun juga dengan halus. Bagaimana kalau Alif jadi brutal? Bagaimana kalau Arif tak tahan lagi dan jadi main tangan sembarangan dengan Alif?

Jelas semuanya kelihatan baik dan indah saat ini, bagai di surga. Semua tampak indah, nyata, seperti mimpi semua orang yang khilaf dari zinanya. Berharap bertemu pemuka agama, minimal orang yang paham agama dan mau memperbaikinya.

But it's life... Menjadi istri seorang ustadz muda dengan segala talentanya, belum lagi begitu banyak gadis perawan entah santriwati atau bukan yang akan sangat terbuka dengan senang hati menerima dan menjadi pilihannya. Lalu Nana? Coba bandingkan?! That's to good to be true! Terlalu indah untuk jadi kenyataan.

Sama halnya Aji dengan segala janji manisnya hingga Alif ada, apakah ada jaminan bila Arif akan jauh lebih baik dari Aji?

Padahal berumah tangga dengan yang masih sama-sama bujangan saja banyak masalahnya. Apa lagi dengan Nana yang begini dan itu pula yang membuat Nana sadar betul siapa dan bagaimana dirinya juga posisinya saat ini. [Next] 

Bab 38-2


64
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share