0
Home  ›  Chapter  ›  My Baby Need A Daddy

Bab 42

 

Bab 42-1

Satu minggu kemudian...

Nana tampak panik mengingat ini adalah hari ujian seleksinya. Di temani Arif yang mengantar dan menunggunya ujian seleksi, sementara Alif di titipkan di rumah om Bram.

Di kejauhan terlihat Sarah yang datang bersama Arman, keduanya juga ikut ujian seleksi. Tapi tampak jelas keduanya tak akur lagi. Sarah terus-terusan menghindar dan menatap Arman jijik. Sementara Arman tampak susah payah mengikuti Sarah.

"Nanti jangan panik ya, di kerjakan yang mudah dulu... " ucap Arif mengingatkan Nana yang tampak cemas.

Nana tersenyum lalu mengangguk. "Terimakasih sudah mau nganterin aku... " ucap Nana malu-malu.

Arif hanya mengangguk pelan sambil tersenyum mendengar ucapan Nana. Tak selang lama Nana masuk ke ruangan. Arif menunggu di luar sambil membaca buku mengenai pengolahan sampah, maklum Arif baru mendalami soal bank sampah dan pengolahannya.

Tapi tetap saja rasanya Arif tak bisa fokus atau tenang. Selain deg-degan saat menemani Nana yang ujian, ucapan Nana yang ingin mengenalkan Alif pada Aji terlebih dahulu juga membuatnya makin tak tenang. Ketakutan bila pada akhirnya Nana akan kembali ke pelukan Aji membuat Arif takut. Meskipun Arif juga tau bila jodoh tak mungkin tertukar, semua sudah di naskan Allah.

Arif tetap tak bisa membayangkan betapa sesaknya nanti bila Nana benar-benar pergi. Tapi Arif juga membayangkan bila Alif akan di sambut dengan hangat oleh Aji juga keluarganya, Alif akhirnya memiliki keluarga yang utuh. Ada yang melindunginya, ada rumah yang layak huni, ada mainan yang akan ia perolah, alif tidak akan memohon atau memainkan kerdus kosong lagi, Alif bisa jajan tanpa perlu minta secuil jajanan temannya, paling tidak ada yang melindungi Nana dan Alif pada akhirnya.

Tumbuh di besarkan oleh orang tua tunggal bagi Arif memang menyenangkan, tapi pasti lebih menyenangkan lagi kalau ada figur yang lengkap. Arif paham betul apa yang di rasakan Alif dan betapa berat apa yang Nana jalani. Arif bisa maklum dan mengerti kondisi saat ini, apalagi sejak ayahnya meninggal ibunya juga enggan menikah lagi dan pilih menjanda hingga saat ini.

Arif juga berkali-kali menanyakan pada dirinya sendiri apa ia yakin pada Nana, apa mungkin ia bisa menjadi ayah sambung bagi Alif. Bukankah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, bagaimana kalau ada sikap buruk Aji yang juga menurun pada Alif? Bagaimana kalau ia tak sanggup menghadapi saat-saat tersebut? Apakah ia bisa 100% mencintai Nana juga Alif, atau ia hanya bisa mencintai Nana? Apakah benar ini perasaan cinta? Bukan hanya iba dan kagum pada Nana juga Alif?

Ketakutan-ketakutan dan pertanyaan-pertanyaan soal seberapa yakinnya Arif untuk Nana juga Alif terus menghantui pikirannya. Salat tahajud untuk mencari jawaban atas segala keraguannya juga sudah ia lakukan. Tapi tiap kali ia meminta kelancaran atas pilihannya masih terngiang di telinganya soal penyesalan Nana waktu itu. Belum lagi ucapan Nana yang mengatakan ia berhak atas wanita lain yang lebih baik darinya. Makin pusinglah kepala Arif.

"Mas... " panggil Nana lembut setelah selesai ujian. Wajahnya masih tegang, panik dan sedikit pucat. "Aku takut ga lolos... " ucap Nana lalu duduk sebelum mulai minum.

"Bismillah insyaallah di terima kok... Habis ini mau ngapain? " tanya Arif.

"Jeda sebentar nanti lanjut ujian lagi... Yang kayak potensi akademik kayak-kayak gitu... " jawab Nana lalu membuka bekal makan siangnya, juga memberikan bekal makan yang sudah ia siapkan untuk Arif dari rumah. "Aku masak sendiri... " ucap Nana.

Arif mengangguk pelan lalu mulai makan siang bersama Nana.

●●●

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

Alif masih berdiri si belakang jendela yang ia tutup sambil membawa pralonnya. Tante Yuni sibuk memasak sementara om Bram masih bekerja. Alif yang di minta jaga rumah benar-benar berjaga, meskipun permintaan dari tante Yuni itu hanya agar ia bisa meninggalkan Alif sebentar untuk memasak.

"Paket! " teriak kurir paket dari luar pagar.

Alif membuka pintu lalu mengibas-ngibaskan tongkatnya di depan pintu.

"Paket! " teriak kurir itu lagi saat melihat ada pralon dan tangan kecil yang bergerak-gerak.

"Kamu orang baik apa jahat?!" tanya Alif sambil mengintip dan berteriak ke arah kurir paket.

"Orang baik, antar paket... Ibu ada? " tanya si kurir.

"Mamaku lagi pergi... Kamu pergi aja kayaknya kamu jahat... " ucap Alif lalu membanting pintu dan berlari masuk melapor pada tante Yuni. "Ibu ada orang aneh bilang paket-paket terus..." lapor Alif.

"Oh iya sebentar..." tante Yuni buru-buru keluar setelah mendengar laporan Alif.

Alif mengikuti tante Yuni sambil menatap wajah si kurir yang memakai masker. "Bukan orang jahat ?" tanya Alif pada tante Yuni.

"Bukan, orang baik kok. Kan antar paketnya ibu... " jelas tante Yuni lalu kembali masuk di ikuti Alif yang terus mengibas-ngibaskan pralonnya. "Adek jaga rumah lagi ya, ibu gorengin lele nanti kita makan ya habis ini... " ucap tante Yuni yang di angguki Alif.

"Aku mau tonton kereta Thomas boleh? " pinta Alif yang jelas langsung di turuti tante Yuni yang memasangkan DVD Thomas sebelum lanjut memasak.

Alif duduk manis sambil sesekali melihat jendela mengingtip keluar lalu melihat tante Yuni di dapur. Tak selang lama suara motor terdengar berhenti di depan rumah, Alif kembali melihat siapa yang datang dari jendela.

"Assalamu'alaikum... " teriak orang asing dari luar.

"Walaikumsalam... " jawab Alif pelan.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

"Assalamu'alaikum... Pak... Bu... " teriak orang asing itu lagi.

"Ibu... " panggil Alif sambil berlari kedapur.

"Iya... Sebentar... " jawab tante Yuni sambil mengeringkan tangannya dan berjalan keluar di ikuti Alif di belakangnya yang membawa pralon sambil memakai sandalnya.

"Nganter undangan Bu... " ucap orang asing itu.

●●●

Aji tampak panik melihat hasil tes yang menunjukkan kalau Alice hamil. Tak kuat hati Aji untuk menyampaikan pada orang tuanya. Belum lagi eyangnya yang bisa-bisa kena serangan jantung kalau tau Alice hamil duluan begini. Meskipun sekarang semua berusaha melawan eyang tetap saja rasanya takut untuk menunjukkan pilihan hidup secara terang-terangan. Belum lagi Alice membuat kesalahan yang kelewat fatal begini.

Tapi kali ini ia bukan lagi khawatir soal pandangan publik dan relasi keluarganya, namun soal keselamatan ibunya juga Alice sendiri. Tak terbayang betapa marah dan kecewanya ayahnya nanti. Belum lagi ibunya yang harus pasrah jadi bahan amukan lagi.

"Gampang aku tinggal kabarin Joe, dateng ke rumahnya, menikah terus pergi jauh-jauh dari sini... " ucap Alice yang masih saja tak bisa mengerti kondisinya saat ini.

"Apa ada pesanmu yang di balas? " tanya Aji yang akhirnya buka suara.

Alice menggeleng. "Tapi dia baca chatku... Selain itu aku juga cuma ngabarin kalo aku dah sampe rumah, ga usah khawatir... Apanya yang perlu di balas? " Alice masih saja membela Joe.

Senyum miris tersungging di bibir Aji. "Sudah coba kabari kalo kamu hamil? " tanya Aji lagi.

"Tunggu ya aku kabari... " ucap Alice lalu dengan bangga memfoto hasil pemeriksaan beserta USG pada Joe. "Udah dia baru off... " ucap Alice sambil tersenyum bangga.

"No, dia hilang... Ghosting... " ucap Aji menjelaskan. "Aku berani taruhan semua asetku, aku pergi jadi gembel kalo emang Joe tanggung jawab... " Aji sesumbar.

"Oke deal, aku perlu kasih taruhan apa? " Alice menerima tantangan tanpa ragu.

"Jangan melibatkan mama, tanggung jawab semuanya sendiri... " ucap Aji mantap.

"Oke kalo cuma gitu doang... "

Aji geleng-geleng kepala tak habis pikir bagaimana bisa Alice sebodoh ini, tak rasional hingga apa yang sudah nyata di hadapannyapun luput begini. "Coba telfon... " ucap Aji.

"Kan dia lagi off... " ucap Alice menunjukkan ponselnya pada Aji.

Aji langsung menyaut ponsel milik Alice lalu menyalin nomer Joe. "Dia emang ga ada foto profilnya ya? " tanya Aji lalu mengembalikan ponsel Alice.

Alice mengangguk. "Dia emang jarang pakek... " bela Alice.

Aji menunjukkan nomor Joe yang baru saja masuk ke daftar kontak WAnya. Tampak Joe merangkul mesra wanita berambut blonde. "Alice, wake up! " ucap Aji menunjukkan foto kontak Joe pada Alice. 

[Next]

Bab 42-2


64
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share