Bab 28
Acara pertemuan keluarga Aji
dan Wulan akhirnya berlangsung. Baik Aji maupun Wulan sebenarnya tak mau sampai
begini. Apalagi sampai kakak-kakaknya ikut datang begini.
"Sudah ambil saja sisi positifnya,
setidaknya tidak perlu menunggu lebaran agar bisa berkumpul... " ucap
Alice yang ikut duduk dalam rapat keluarga kali ini.
Karena tak mau ada rasa tertekan atau
tersudutkan dan enggan ada intervensi dalam pertemuan kali ini sengaja di pilih
hotel yang bukan milik kedua belah keluarga.
Hidangan demi hidangan di nikmati sambil
mengobrol dan saling tanya kabar, basa-basi sebelum ke acara inti. Ahli hukum
juga ikut dalam rapat hari itu lengkap dengan berkas-berkas tuntutan kedua
pihak.Mulai dari aset, tanah, rumah, deposit, harta bergerak, semua di bahas.
Sampai akhirnya sampai pada pembahasan
alasan kenapa Aji dan Wulan memilih untuk bercerai. Dari pihak Aji di wakili
Eyang langsung menyerang. Wanita tua itu langsung menyudutkan Wulan tanpa
memberinya celah untuk membalas atau membela diri.
"Mau bagaimanapun juga yang terjadi
sama Aji itu kan masa lalu! Sudah terlewat jauh! Bahkan selama menikahpun tetap
bersama Wulan meskipun ga punya anak! Ga selingkuh! " ucap Eyang yang
mulai menuding-nuding Wulan yang dari tadi tertunduk.
Wulan hanya diam tertunduk, Aji sendiri
juga sesekali menundukkan kepalanya melihat pesan masuk ke ponselnya.
Aji hanya menggeleng pelan sambil menatap
Wulan.
Aji langsung membelalakkan matanya dan
dengan refleks menggebrak meja hingga semua terdiam.
"Wulan salah, memang Wulan salah...
Tapi aku masih suami sahnya sampai saat ini, aku belum menalaknya... Jadi masih
menjadi hakku untuk melakukan apapun pada Wulan!" ucap Aji lalu bangun dan
beranjak keluar di susul Wulan yang mengejarnya.
Baik Aji maupun Wulan sama-sama mengabaikan
pandangan keluarganya. Tatapan tajam dari para tetua di keluarga pun juga di
abaikan. Ini pula kali pertama Aji melawan di depan Eyang dan orang tuanya
pula.
Argh!
Wanita gila ini ternyata sudah bertemu Alif... Pasti sudah banyak bicara dengan
Nana juga! Ck! Sialan... Maki Aji dalam hati.
"...biar
aku bernegosiasi dengan Aji... " Wulan kembali
mengirim pesan pada kakaknya. "...lanjutkan
saja negosiasimu... " sambung pesan Wulan lainnya sambil berjalan
cepat menyusul Aji masuk kedalam lift.
"Kamu apain anakku?! " tanya Aji
begitu Wulan masuk dan pintu lift
tertutup.
"Tidak ku apa-apakan Mas, aku cuma
iseng ketemu buat jahit baju... " jawab Wulan.
Aji langsung menatap Wulan dengan sangat
kesal. "Aku bisa benar-benar menceraikanku dan membongkar semua aibmu
tanpa ampun! Berhentilah mengganggu anakku! " tegas Aji penuh emosi sambil
menjambak menyudutkan Wulan ke sudut lift.
"Berhentilah ada cctv di sini... " gertak Wulan mengingatkan Aji agar tidak
sembrono.
Aji mundur dan melepaskan Wulan lalu
menggandengnya keluar begitu pintu lift
terbuka. Aji langsung membawa Wulan masuk kedalam mobil lalu membawanya melaju
pergi menjauh dari hotel tempat pertemuan itu. Wulan dan Aji sama-sama diam
enggan bicara sebelum benar-benar keluar dari lingkungan hotel.
"Apa ada yang mengikuti? " tanya
Aji pada Wulan sebelum akhirnya memilih untuk berbelok ke mall.
"Tidak... Ku rasa tidak... "
jawab Wulan setelah memperhatikan sekeliling.
"Kamu mau apa? " tanya Aji to the poin sambil mencari tempat
parkir.
"Aku akan menarik tuntutanku soal
KDRT, jadi tolong cabut juga tuntutanmu soal perselingkuhan dan bukti-bukti
yang kamu sertakan itu... " jawab Wulan. "Sebagai gantinya, kita
ajukan karena ketidak harmonisan dan apalah nanti bisa di urus. Ketidak
cocokan, kesibukan... Soal harta... "
"Aku tidak menyoal harta... "
sela Aji.
Wulan menghela nafas ketika negosiasinya di
sela. "Aku tau, tapi bagaimanapun kamu butuh... Kita ini sama-sama boneka...
Itu alasan kenapa aku ketemu Nana... " sambung Wulan.
"Maksudmu?! " Aji langsung
menginjak pedal rem secara mendadak.
Duak! Sebuah mobil sedan menabrak bemper belakang mobil Aji cukup keras
hingga Aji dan Wulan terantuk ke depan nyaris menatap kaca. Keduanya langsung
menoleh kebelakang, beruntung keduanya tidak kenapa-napa.
"Iya... Kalau kita membagi dua harta
kita. Setengah untuk kita, setengah lagi untuk Nana. Lalu setengah yang kita
punya kita bagi dua lagi. Jadi aku seperempat kamu seperempat... "
"Tunggu kenapa aku jadi bingung?!
" sela Aji.
Tuk... Tuk... Tuk... Seorang wanita paruh
baya mengetuk kaca jendela Aji.
"Mohon maaf Mas... Mobilnya... "
"Tidak apa-apa Bu... Tidak masalah...
Ibu tidak apa-apa ?" tanya Wulan yang langsung memotong ucapan si Ibu dan
turun dari mobil bersamaan dengan Aji untuk melihat keadaan.
"A-aku baru saja mempunyai SIM
harusnya aku tidak membawa mobilku sendiri begini..."
"Tidak apa-apa... Tidak apa-apa...
" potong Wulan yang di angguki Aji lalu menundukkan kepalanya sedikit dan
kembali masuk ke dalam melanjutkan pembicaraan.
Aji langsung parkir begitu melihat ada
ruang kosong, lalu kembali turun melihat bempernya uang jadi penyok. Tapi
baginya itu tak masalah sekarang yang terpenting ada tempat untuk berdiskusi.
Aji dan Wulan langsung berjalan masuk menuju tempat karaoke. Sebelum
benar-benar memulai diskusi.
●●●
Nana langsung sibuk menjahit kain sesuai
pola yang sudah di potongnya. Kali ini Nana benar-benar berusaha maksimal untuk
mengerjakan jahitannya serapi dan sebaik mungkin untuk Wulan. Bahkan Alif
sampai di asuh Arif seharian. Tapi itu bukan masalah, toh malah jadi kesempatan
bagi Arif agar lebih dekat dengan Alif.
"Mama... Sudah belum jahitnya? "
tanya Alif begitu sampai rumah bersama Arif.
"Sedikit lagi ya... " jawab Nana.
Alif langsung cemberut lalu memeluk Nana
dari belakang sambil menyembunyikan wajahnya. Sementara Arif hanya diam duduk
menatap interaksi Alif dan Nana.
Apa
aku bisa mengayomi mereka? Apa aku mampu? Batin
Arif. "Mama Alif... Dua bulan lagi aku pindah tempat buat pengabdian...
" ucap Arif.
Nana langsung menghentikan pekerjaannya
untuk menatap Arif. "Loh cepat sekali Mas?! Lalu bagaimana? " tanya
Nana dengan suara yang makin pelan dan sedikit sedih.
Apa
dia cuma main-main? Apa dia gitu ke setiap tempat baru? Apa aku salah ga nerima
mas Aji lagi kemarin? Batin Nana yang langsung
su'udzon.
"Aku mau kamu ikut aku, jujur Na...
Aku cuma pengen kamu mendampingi aku. Tapi rasanya aku terlalu egois kalau
seperti itu... Jadi aku mau memberikan kebebasan buat kamu, pendidikanmu juga
karirmu. Aku takut kamu merasa terkekang dan tidak bahagia sama aku... "
jelas Arif dengan sedih.
Nana hanya bisa diam sambil menghela nafas
panjang.
"Na... Aku takut kalo kamu lebih pilih
mantanmu, aku ga semewah dia. Tapi aku juga ga larang kamu buat berhubungan
baik dengan dia, kenalin Alif ke dia... " sambung Arif.
Nana hanya mengangguk pelan lalu
menundukkan pandangannya.
Apa
dia benar-benar jodohku? Apa ini nyata? Bahkan pendosa sepertiku bisa dapat
pria sebaik Arif... Apa aku mimpi? Batin Nana tak
yakin.
"Mas, biar aku berfikir dulu... "
ucap Nana yang di angguki Arif dengan senyum.
Apa
kalau aku kuliah nanti bisa adil? Apa gunanya kuliah kalau nanti suami dan
anakku ga terurus? Kalau aku jadi wanita karir tapi lupa diri apa bagusnya? Aku
mau jadi ibu dan istri yang baik, mencari ridho suami dan Allah lalu masuk
surga. Tapi kalau aku tidak kuliah, bekerja, menjadi wanita karir... Aku akan
di buang lagi, aku hanya sampah masyarakat, aku cuma jadi beban buat mas Arif. Batin Nana bingung. [Next]