Sesampainya Aji dirumah tampak
Siwi yang kembali asik didapur. Rasanya Broto benar-benar memenuhi janjinya
untuk tidak lagi serumah dengan Eyangnya.
"Kok lama datengnya... " sambut
Siwi lalu memeluk erat putranya. "Mama kangen... " sambungnya.
"Mama lagi bikin apa? " tanya Aji
yang masih memeluk mamanya.
"Puding coklat, kesukaanmu. Tadi kamu
dari mana? "
"Abis ketemu anakku lah, ngajak
jalan-jalan ke mall dulu, makan... " jawab Aji senang. "Aku pengen
bawa anakku kesini... " sambung Aji. "Sekali saja ga masalah... Aku
pengen bawa dia main di sini... "
"Boleh, ajak Nana juga... " ucap
Siwi senang dengan harapan putranya.
Aji hanya mengangguk sambil tersenyum
senang mendengar ucapan ibunya yang mengizinkannya membawa Nana dan Alif
kerumah.
"Nanti biar mama bujuk papamu...
" ucap Siwi yang makin membuat Aji senang.
●●●
"Terima saja Dek, biarin mas Aji kalo
mau menafkahi Alif. Anggap saja itu caranya menebus dosanya... Nanti biar aku
usaha cari kerjaan yang hasilnya lebih banyak lagi... " bujuk Arif setelah
pergi.
"Kamu habis dari mana Mas? "
tanya Nana khawatir.
"Dari pondok, ngobrol-ngobrol... Maaf
aku marah... " jawab Arif lalu memeluk Nana dan mengecup keningnya.
"Setelah merenung kayaknya gak masalah kalo mas Aji mau menafkahi Alif,
kamu jangan terlalu kaku juga... Gimanapun mas Aji itu bapaknya Alif... "
sambung Arif membujuk Nana.
Nana hanya mengangguk patuh, ia tak mau ada
masalah lagi dengan Arif seperti semalam.
"Yaudah aku mau mandi... " ucap
Arif lalu melepaskan pelukannya dan berjalan ke kamar.
Di lepasnya baju yang ia kenakan. Tak ada
kaos yang biasa ia kenakan sebagai dobelan, ada beberapa bekas cakaran
dipunggung, ada bekas seperti ruam di dadanya. Nana hanya diam. Tak berani
menduga-duga meskipun ia jelas ingat setiap bercinta tak pernah mencakar atau
memberi tanda. Maklum Arif tak sepanas Aji bila diranjang.
"Kenapa liatin terus? " tanya
Arif deg-degan.
Nana hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Alif kemana? " tanya Arif.
"Tidur... " jawab Nana yang
langsung dihempaskan Arif hingga tertidur diranjang dan pasrah dibawahnya.
Arif langsung mencumbu Nana. Tapi sehebat
apapun yang Arif lakukan rasanya tak dapat benar-benar memuaskan Nana. Apalagi
ucapan Arif barusan soal Aji, membuat Nana kembali mengingat saat-saat panasnya
bersama Aji.
Dicumbunya tiap jengkal tubuh Nana, sungguh
Arif merasa bersalah saat ini. Bahkan tubuh istrinya lebih Indah, jauh
dibanding Zulia. Terlepas bagaimana masa lalunya. Ada rasa menyesal sudah
mencicipi tubuh wanita lain. Ada rasa khawatir juga yang muncul dalam benaknya.
Bagaimana bila Zulia hamil setelah tadi
yang dilalui bersama. Bagaimana bila rencananya gagal. Bagaimana bila...
Bagaimana bila... Pikiran buruk terus terlintas.
Semua akan baik-baik saja... Batin Arif
yang yakin tadi tidak keluar di dalam.
●●●
"Dari mana kamu nduk? " tanya
Abah yang sudah menunggu kedatangan Zulia dari tadi.
"Abis keluar ke angkringan bentar
doang! Abah kok kepo banget sih! " jawab Zulia yang langsung memasang nada
tinggi.
Abah hanya diam mendengar putrinya yang
jadi pemarah begini sejak tergila-gila pada Arif yang sudah jelas jadi suami
orang. Suara bantingan pintu terdengar, Zulia kembali mengurung diri di kamar.
Begitu terus sejak Abah tak setuju akan hubungannya.
Zulia menatap dirinya dicermin meja
riasnya. Dilepaskan krudung bergonya, dilihatnya leher dan dadanya. Aman, masih
aman. Dibukanya kaos panjang yang ia kenakan. Kembali ditatapnya tubuhnya yang
kini telanjang dada. Branya di lepas, sambil menatap punggung lalu kembali ke
dada. Ditatapnya perubahan pada kedua puting payudaranya.
Terasa bengkak, bahkan sensasi terhisapnya
masih terasa. Zulia kembali melepaskan celananya, lalu celana dalamnya.
Telanjanglah ia di depan cermin. Denyut kenikmatan itu masih membekas dibadan
juga ingatannya dengan sangat jelas, meskipun ia tak sampai puncaknya. Zulia
masih bisa membayangkan betapa nikmat permainan pertamanya tadi.
Zulia berjalan ke kamar mandi. Berniat
untuk sekedar membasuh organ intimnya, membersihkan sisa-sisa seperma yang
tertinggal. Antisipasi kalau-kalau ada yang masuk. Tapi begitu tangannya
menjamah organ intimnya Zulia malah lupa diri dan berlanjut memuaskan dirinya
dengan jemarinya sendiri. Di liriknya botol sabun cuci muka racikan dokter
miliknya yang berbentuk tabung. Di lumasinya dengan sabun sirih sebelum
diarahkannya untuk mengocok lubang surgawinya. Sial Zulia malah ketagihan.
Zulia tak peduli lagi atas niatnya untuk
mandi besar, tak ingat lagi betapa lelah raut wajahnya tadi. Bahkan ia
melupakan rasa bersalahnya pula. Tak hanya itu, pasca benar-benar mau untuk
bercinta tadi rasanya sudah tak ada lagi rasa kasihan pada Alif atau Nana atas
hubungan gelapnya ini. Zulia mau Arif benar-benar menjadi miliknya.
Zulia yang sebelumnya masih bisa berpikir
jernih dan sadar kini entah kalab kenapa. Ia tau kalau Arif tak punya apa-apa
bila tak ada Nana yang membantu bekerja meskipun di sambi kuliah, juga Aji yang
rutin mengirimi uang untuk Alif dan Nana. Tak ada masa depan jelas dan pasti
bersama Arif yang hanya "fokus mengabdi", meskipun memang tak ada
yang bisa memastikan masa depan. Tapi khusus Arif, bahkan tak ada harapan.
Zulia tak peduli, sungguh yang ia mau hanya
menyatu dengan Arif lagi…lagi…lagi…dan lagi. Terus tanpa henti, bagai candu.
Zulia bahkan tak ingat lagi untuk memikirkan bagaimana kalau ia hamil atas apa
yang dilakukan tadi. Masa bodo, persetan!
"Argh!!! " Zulia mengerang pelan menikmati
arus kenikmatannya dan botol sabun muka. [Next]
0 comments