"Aji pamit berangkat
kerja dulu ya Ma... " ucap Aji sambil menyalimi ibunya.
"Iya hati-hati... Nanti kamu pulang kan?"
tanya Mama.
"Iya dong..." jawab Aji singkat
lalu memakai sepatunya dan pergi dengan mobilnya.
Masih teringat di pikirannya betapa
bahagianya Nana saat pertama kali ia datang dengan mobil hasil jeripayahnya.
Bahkan aroma pewangi mobilnyapun nana yang pilihkan. Terbersit di kepalanya
untuk mengunjungi kontrakan barang hanya sebentar.
Tapi betapa terkejutnya Aji saat melihat
rumah kontrakannya yang baru di tinggal beberapa hari sudah begitu kotor dan
gerbang yang tak di tutup. Sedikit terbersit di pikirannya untuk turun
berkunjung, tapi buru-buru ia urungkan niatannya. Toh buat apa ia turun kalau
nanti jadi ketemu Nana dan di paksa tanggung jawab.
Tak mau ambil resiko Aji memilih untuk
pergi kerja saja. Tapi saat Aji sampai kantor ia teringat soal biaya kontrakan.
Jadilah ia tetap mentransfer uang untuk Nana.
Seenggaknya gini caraku tanggung
jawab... Seenggaknya aku tetep bisa awasin Nana... Batin
Aji setelah mentransfer lima belas juta untuk Nana.
●●●
Semua saling diam bingung mulai bicara dari
mana pada pak Janto yang dari tadi diam menunggu ada yang angkat bicara. Nana
tertunduk tak berani mengangkat kepalanya sama sekali. Yuni dan Bram juga tak
sampai hati bila melihat wajah pak Janto dan harus memberitahu kabar buruk
begini.
"Jadi gini Mas..." ucap Bram
memulai pembicaraan pada pak Janto yang dari tadi diam. "Ini soal Nana.
Dia hamil duluan..." sambung Bram yang makin pelan berucap.
Pak Janto terperanjat kaget mendengar
ucapan iparnya. Nana langsung menangis sementara Yuni dan Bram hanya bisa diam.
"Ga mungkin! Nana itu anak baik!
Pintar! Ga pacaran! Gimana mungkin bisa hamil kalo dia ga ada pergaulan sama
yang aneh-aneh!" ucap pak Janto tak percaya.
"Maaf Pak... Nana minta maaf... "
ucap Nana duduk bersimpuh di lantai meminta maaf pada bapaknya.
"Na bilang sama bapak kalo itu ga
bener Na. Bilang kalo itu bohong! Kamu
ga mungkin hamil duluan kan?!!" ucap pak Janto yang tak percaya dan mulai
menangis kecewa.
Nana hanya menggeleng. "Itu bener
Pak... Nana hamil... Nana dah ngecewain Bapak... Nana gak pernah ke asrama...
Nana tinggal serumah bareng sama mas Aji pak..." ucap Nana jujur.
"Astaghfirullah Na... Kamu kenapa bisa
kayak gitu nak! Salah apa Bapak kok kamu bisa nekat gitu? Dosa apa bapakmu ini sampe kamu hamil
duluan... Ya Allah...." pak Janto benar-benar kehabisan kata-kata untuk
menggambarkan bagaimana sedihnya perasaannya.
Nana hanya menangis sambil berlutut meminta
maaf pada bapaknya menyesali semua perbuatan khilaf selama ini.
"Bapak ini cuma orang miskin, orang
bodoh, tapi bapak ini ga pernah ngajarin kamu bohong, ngajarin kamu kumpul kebo
gitu... Astaghfirullah Na... Kamu ini kerasukan apa?! Siapa yang ngajari kamu
sampe kelewatan gitu?! Astaghfirullah... " ucap pak Janto sambil mendorong
Nana menjauh darinya.
"Nana minta maaf Pak... Nana
khilaf..." ucap Nana memohon pada bapaknya.
"Dah dek pulang saja... Biar Nana ku
urus aja..." ucap pak Janto lalu bangun untuk mengantar sekaligus mengusir
iparnya.
Bram dan Yuni langsung angkat kaki meskipun
berat. Rasanya khawatir meninggalkan pak Janto dan Nana sendiri di rumah. Bukan
khawatir pada Nana tapi pada bapaknya kalau-kalau down atau terkena serangan jantung.
●●●
Aji yang sempat bertemu dengan teman Nana
saat makan siang tadi jadi teringat soal rumah kontrakan yang terbengkalai,
belum lagi laporan teman Nana perihal Nana yang sulit di hubungi. Makin
khawatir Aji di buatnya. Jadi sepulangnya bekerja Aji kembali mengecek keadaan
rumah kontrakannya dulu.
Ada beberapa makanan yang mulai basi di
atas meja makan, ada durian dan ponsel Nana yang mati di bawah lantai. Kondisi
dalam rumah tak kalah kacaunya dengan kondisi diluar. Rasa khawatir makin
menghantui Aji. Bagaimana kalau Nana bunuh diri, bagaimana kalau Nana di bunuh
atau di rampok, bagaimana kalau benar Nana aborsi dan tidak selamat?
Rasa khawatir dan pikiran-pikiran buruk
makin berseliweran mengganggu kepala Aji. Bahkan Aji sampai hampir menangis
mengingat bagaimana Nana dan rasa khawatir bila Nana kenapa-napa. Ada janin tak
bersalah yang sempat ia tolak keberadaannya.
Janin tak berdosa yang bahkan tak meminta
hadir dalam hubungan yang penuh dosa. Tak hanya itu Nana yang begitu belia
dimana harusnya ia bisa bersinar mengejar karir kini harus menahan sakit dan
malu seorang diri. Belum lagi keluarga Nana yang begitu keras, entah bagaimana
nanti Nana akan di marahi habis-habisan.
"Astaghfirullah... aku harus apa...
Nana..." gumam Aji sambil menggenggam ponsel milik Nana.
Tapi tak selang lama ada suara mobil yang
berhenti di depan rumah. Buru-buru Aji mencari tempat sembunyi sebelum ada yang
tau ia ada di dalam.
Mobil itu tak berhenti di rumah
kontrakannya. Hanya berhenti sejenak. Dari situ Aji mulai tersadar, ia hanya
perlu menunggu keluarga Nana datang dengan memonitor dari pemilik kontrakan.
Terlalu beresiko bila ia ada disana terlalu lama. Bisa-bisa ia tertangkap dan
di kira mencuri. Bila hanya mencuri ia masih tak masalah, tapi kalau di tangkap
keluarga Nana dan di paksa menikah?! Bisa habis dia.
Selain di coret dari KK[1] ia terancam tidak bisa menerima warisan dari keluarga dan eyangnya. Bisa kere Aji nanti. Aji tak mau hidup blangsakan lagi. Cukup ia bersimpati dan mengirimi uang untuk Nana. Tidak usah bertanggung jawab, toh pemberian nafkah sudah jadi bentuk tanggung jawab tak perlu menikah. Begitu pikir Aji yang langsung tancap gas pulang ke rumah. [Next]
[1] Kartu Keluarga
0 comments