Bab 19
Wulan melihat motor dan jaket yang terparkir di
depan rumah Nana merasa tidak asing. Buru-buru ia menepuk pundak Hari agar
menepi. Menunggu hingga motor itu dan entah siapapun yang bertamu itu pergi
dulu.
"Tunggu tidak ada orang baru kita
kesana... " ucap Wulan sambil mengamati. "Benar itu rumahnya? "
tanya Wulan memastikan.
"Iya itu rumahnya... " jawab Hari
yakin lalu menunjukkan foto Nana yang menggendong Alif saat di kejar Aji dan
foto Nana saat pulang mengaji bersama Alif terakhir kali.
"Astaga!" pekik Wulan teringat
wajah Nana dan Alif yang sudah pernah bertemu dengannya dulu. "Dia anaknya
mas Aji?!" Wulan tak percaya dengan apa yang di lihatnya.
Wulan kembali melihat ke depan, mengamati
rumah Nana dengan tangannya yang bergetar menggenggam ponsel milik Hari.
Hari hanya diam, melihat bosnya yang kalut
begini. Ini kali pertamanya melihat Wulan bergetar saat menghadapi masalah.
Sudah jelas kalau ini sangat mengena bagi Wulan dan bisa di bilang cukup besar
kalau sampai seperti ini.
"Pergi kamu! " usir pak Janto
dengan kesal sambil melempari Aji dengan apa yang ada. "Kamu tidak ada hak
apapun atas anakku juga cucuku! Pergi kamu! Tidak usah kamu datang lagi
berusaha merebut cucuku! "
Amarah pria paruh baya itu begitu terasa,
antara marah, sedih dan kecewa. Suaranya bergetar menahan tangisnya, tangannya
terus memukulkan sapu yang tadi sempat tergantung setelah menyiram Aji dengan
air.
"Saya minta maaf Pak... " ucap
Aji sambil berusaha melindungi diri dari pukulan sapu itu.
"Tidak perlu! Kamu pergi saja,
pergilah seperti saat kamu mengusir kami, tidak usah kamu datang lagi seperti
keinginanmu untuk kabur dan memaksa anakku untuk menggugurkan bayinya! "
bentak pak Janto sambil mendorong Aji.
"Astaghfirullah... Pak... Sabar...
Istighfar... " ucap Arif yang berusaha meredam amarah pak Janto juga
meredam keributan agar tidak jadi tontonan atau omongan warga.
"Katamu anakku lonte, katamu bayinya belum tentu anakmu bisa jadi anak orang lain.
Buat apa kamu datang? " ucap pak Janto kesal sambil membanting sapu di
tangannya. "Kamu buang anakku, kamu hina, kamu fitnah di depan keluargamu
juga keluarga kami. Kamu coba bayar Nana seperti pelacur, nenekmu kasih uang
buat gugurin cucuku. Dia bukan anakmu! Alif anaknya Nana! " bentak pak
Janto menyudahi semuanya lalu masuk dan membanting pintunya di depan Arif juga
Aji yang tertunduk.
Pria
ini bapak biologisnya Alif... Batin Arif miris dan
kesal menatap Aji.
"Mas sebaiknya pulang saja... Tidak
usah kesini lagi, tidak usah ganggu Nana atau Alif dulu... " ucap Arif
mengusir Aji sambil menghela nafas.
Aji langsung memakai jaket dan helemnya
lalu tancap gas pergi meninggalkan Arif tanpa peduli apa yang ia katakan
sebelumnya. Antara kesal, malu, dan menyesal juga sedih tak bisa bertemu Nana
dan Alif berkecamuk dalam hati Aji.
Ia hanya ingin memperbaiki semuanya.
Menafkahi Nana juga Alif, memberikan kehidupan yang layak. Bahkan bila perlu
menikahi Nana. Meskipun itu juga tidak akan mengembalikan semua seperti semula.
"Kita langsung pulang saja, besok kita
kesini lagi... " perintah Wulan pada Hari setelah melihat semua yang
terjadi di rumah pak Janto barusan.
Wulan merasa apa yang ia dengar dan lihat
sudah lebih dari cukup untuk menguatkan dirinya untuk memutuskan bagaimana
hubungannya nanti.
"Kamu gapapa? " tanya Hari saat
melihat Wulan menitihkan air matanya.
"Sekarang semuanya sudah jelas... Mau
bagaimana lagi... Menurutmu apa aku gapapa ?" jawab Wulan dengan
mengembalikan pertanyaan Hari.
Hari hanya mengangguk lalu memberikan
selembar tisu.
"Aku kecewa..." ucap Wulan menerima
tisu dari Hari.
"Sudah... Tidak apa-apa... " Hari
menggenggam tangan Wulan.
●●●
Arif masih diam di depan rumah pak Janto,
terduduk di teras. Pikirannya kalut, ia tak menyangka kalau Nana hamil di luar
nikah. Wanita sebaik Nana yang bisa begitu sabar dan terlihat begitu bersahaja
kenapa bisa hamil duluan?
Apa mungkin dia terjerat pergaulan bebas?
Apa mungkin dulu dia nakal? Tapi kalau memang begitu tak mungkin Nana bisa
sabar menghadapi semuanya. Tak mungkin Nana bisa tahan diri untuk tidak mengumpat
tiap kali di hujat.
Tapi yang paling tidak mungkin lagi, kalau
benar Nana seburuk yang ada di pikiran Arif. Tak mungkin Nana mau hamil dan
membesarkan Alif seorang diri di usainya yang begitu belia. Tak mungkin pula ia
masih mau berusaha untuk kuliah kalau memang Nana itu wanita nakal.
Tapi bisa jadi semuanya mungkin dan
sekarang Nana sedang melakukan taubatan nasuha. Nana tengah menebus
dosa-dosanya, siapa yang tau pasti?
Batin Arif makin bergejolak, kebingungan
dengan Nana dan keluarganya. Juga pria barusan. Semua tampak rumit dan
semrawut.
Car!
Bugh! Suara gelas pecah disertai suara jatuh dari
dalam rumah. Arif langsung tersadar dari lamunannya yang memikirkan semua hal barusan.
Segera Arif masuk dan mendapati pak Janto yang jatuh dan tampak begitu
kesakitan.
Tanpa pikir panjang lagi, Arif langsung
menelfon ambulans agar pak Janto dapat penanganannya dengan baik dan benar.
Terutama kalau sampai pak Janto terkena penyakit fatal seperti jantung dan
stroke.
●●●
Arif terus menemani pak Janto setelah
mengurus administrasi dan membayar biaya pengobatan dengan semua uang yang ia
punya. Alhamdulillah tak ada masalah serius, hanya tekanan darah yang terlalu
tinggi saja. Tak ada masalah serius, jadi Arif bisa bernafas lega karena pak
Janto tidak kenapa-napa.
"Maaf ya jadi merepotkan mas Ustadz... "
ucap pak Janto pada Arif setelah lama bangun dan hanya diam menatap
langit-langit rumah sakit.
"Alhamdulillah Bapak sudah sadar...
" Arif merasa sangat lega melihat pak Janto.
Pak Janto tersenyum lembut. "Habis
berapa administrasinya? Nanti biar saya ganti kalo dah di rumah... " ucap
pak Janto lalu duduk bersandar di bantu Arif.
"Mohon maaf sebelumnya Pak, saya mau
tanya... Mungkin ini sedikit lancang... "
"Silahkan... " potong pak Janto
langsung to the poin.
"Pria tadi siapa? " tanya Arif
yang akhirnya menyampaikan pertanyaan atas rasa penasarannya beberapa waktu.
"Itu bapaknya Alif, dulu pacaran sama
Nana... Nana di ajak tinggal serumah bilangnya kalo asrama... " pak Janto
mulai menceritakan soal Aji pada Arif sedetail yang ia bisa dan ia mampu
ceritakan sambil berurai air mata.
Arif diam mendengarkan semua dengan
perasaan iba dan prihatin pada Nana dan keluarganya terutama Alif. Ia
benar-benar tak menyangka wanita muda itu begitu sudah banyak memakan pil pahit
dan merasakan kerasnya hidup. Kalau sebelumnya Arif merasa kalau ia dan ibunya
sudah jadi orang paling nelangsa, sekarang ia tarik kembali ucapan dan pikiran
itu.
Kesaktiannya selama ini yang berusaha
memecahkan kerasnya karang kehidupan masih belum seberapa dengan Nana. Apalagi
Alif. Arif merasa sangat malu sekarang. Betapa gigihnya wanita itu, bahkan
dalam kerasnya hidup ia masih tak meninggalkan sisi welas asihnya sebagai
wanita dan ibu.
"Mas Ustadz jangan cerita sama
siapa-siapa ya... Kasian Nana... " ucap pak Janto sambil menjabat tangan
Arif dan menepuk-nepuk lembut punggung tangannya.
"Iya Pak... " ucap Arif
menyanggupi. "Oh iya saya mau kabari Nana dulu biar kesini... " ucap
Arif yang di angguki pak Janto.
Arif segera keluar dari ruang UGD untuk
menghubungi Nana. Perasaannya jadi campur aduk dan berkecamuk memikirkan
bagaimana Nana dan Alif. Juga Aji yang terus mengganggu. Khawatir, mungkin
hanya itu yang ada di kepala Arif.
"...halo assalamu'alaikum... "
ucap Arif saat telfonnya di angkat.
"...wa'alaikumsalam,
maaf ini siapa ya?..." jawab Nana.
"...ini ustadz Arif, ini pak Janto di
rumah sakit. Bisa kesini ? Nanti alamatnya saya
share loc... "
"...astaghfirullah hal azim... I-iya mas, makasih ya, saya langsung berangkat... " Nana langsung menutup teleponnya, sementara Arif langsung mengirim lokasinya. [Next]