Bab 39
"Mama mana? " tanya Aji berbarengan dengan Broto yang akhirnya sampai di rumah sakit.
Alice hanya diam lalu melirik pintu di
sampingnya. "Di dal... "
PLAK!!! Broto menampar pipi Alice cukup kencang hingga Alice tersungkur di
lantai tanpa sempat menyelesaikan ucapannya.
"Anak nakal! " sinis Broto lalu
melihat kondisi istrinya dari kaca pintu. "Urus adekmu ini, bawa pulang!
" perintah Broto pada Aji.
Alice yang jatuh tersungkur hanya bisa
menahan tangis sambil menggeleng pelan, menolak perintah papanya yang begitu
keras. "Jangan! " ucap Alice sambil memegangi kaki Broto. "Papa
jangan ketemu mamaku, gausah! " Alice berusaha menahan.
Broto terdiam menatap putri kesayangannya
yang berubah jadi begitu membangkang.
"Papa suka mukul mama, kasar,
tempramen, papa sama Eyang ga pernah baik ke mama. Mamaku cuma di jadikan pembantu, bahkan
pembantu hidup lebih layak dari pada mama. Setiap anak-anak membangkang mama di
pukul, di cambuk, di maki, di marahi. Mamaku bukan samsak hidup. Papa sama Eyang ga pernah
memperlakukan mama, kakakku, aku layaknya manusia. Kita cuma di jadikan boneka,
di jadikan jaminan, menikah demi masa depan yang lebih baik? Rasanya
kakak-kakakku cuma menikah untuk jaminan kelancaran apapun itu ambisimu. Mama
ga layak buat papa... " ucap Alice sambil menatap Broto dengan tajam,
meskipun air matanya berurai.
Broto menatap Alice dengan penuh amarah,
tangannya siap menampar Alice lagi kalau saja Aji tak segera menahannya.
"Alice benar... Buat apa papa perlu mama? Buat apa mama perlu pulang kalau
cuma mau di siksa! " ucap Aji yang langsung pasang badan menutupi pintu
masuk sekaligus melindungi Alice yang bersembunyi di belakangnya.
"Jadi sekarang semua pembangkang ya?!
" kesal Broto sambil berusaha menahan emosi saat melihat seorang suster
lewat.
Ketiganya diam menunggu sampai suster itu
menjauh. "Aku itu berharap waktu pergi sama mama, papa bisa sadar kalo
mama penting, aku mau papa ngerti seberapa berharganya mama. Biar Eyang juga bisa
menghargai mama. Biar mama bahagia, seneng bisa berlibur dari hukuman seumur
hidup buat nikah sama orang kayak papa, ngurus tua bangka kayak eyang! "
ucap Alice yang langsung membuka pembicaraan.
"Kamu ini masih anak-anak! Paham apa
kamu soal urusan orang-orang tua?! " ucap Broto tak terima dengan ucapan
Alice.
"Papa yang ga pernah bisa ngertiin
orang lain. Papa maksa semua kakakku buat jadi boneka, termasuk aku. Papa sama Eyang itu ga
manusiawi lagi asal papa sadar! Kak Nana aku paham betapa sakitnya dia waktu
dulu papa sama Eyang nolak dia nyuruh dia gugurin anaknya. Udah gila papa sama Eyang, emang
bagusnya papa sama eyang terus, ngurus tua bangka itu. Cerai saja sekalian sama
mama... "
"Alice..." suara lembut Siwi
terdengar. "Mas jangan pukul Alice, jangan pukul anak-anak... Aku saja...
" ucap Siwi dengan suara yang lemas sambil memegangi tiang infusnya.
"Dek..." Broto berkaca-kaca
melihat istrinya yang penuh luka.
"Alice minta mama papa cerai salah Nak... " ucap
Siwi. "Mama nikah itu karena ibadah... Tapi apa yang di lakukan papa juga
ga benar. Anak-anak perlu kita dengarkan juga Mas... " lerai Siwi
lalu berjalan masuk di dampingi Aji dan Alice yang langsung mengabaikan Broto
begitu saja.
●●●
"Aku kayak nabi Isa ya, cuma punya
mama... " ucap Alif pelan mengomentari cerita yang di bacakan Nana.
Nana hanya tersenyum mendengar komentar
Alif. "Adek kan punya bapak... " ucap Nana.
"Tapi kata orang-orang bapak bukan
papaku, harusnya kan mama sama papa bukan bapak. Kalo bapak sama ibu gitu
sebutnya kata temanku... " jelas Alif lalu membenarkan selimutnya.
Nana menghela nafas mendengar ucapan
anaknya yang kian hari kian kritis dalam memberikan pertanyaan. Ingin rasanya
ia memberi tahu kalau Aji yang di panggil om-om aneh tiap hari oleh Alif adalah
papanya.
Tapi Nana tak mau kalau niatnya mengenalkan
Alif pada Aji hanya akan menimbulkan masalah baru untuknya. "Adek... Kalo
mama menikah boleh tidak? " tanya Nana.
"Menikah itu apa? " tanya Alif
bingung.
"Ya kayak sama ustadz nanti sama mama,
biar ustadz jadi papanya adek gitu... " jawab Nana yang kebingungan
menjelaskan apa itu menikah pada Alif.
"Tidak boleh, kan sudah ada bapak, ada
aku juga, nanti rumahku jadi sempit... " jawab Alif.
"Kalo sama om-om aneh?" tanya Nana
yang mulai berniat mengenalkan Aji.
"Iyuh! Dia ganggu terus aku tidak suka...
" jawab Alif sambil menggelengkan kepalanya.
Nana hanya tersenyum mendengar jawaban
Alif. Memang sulit mencari cara yang terbaik mengenalkan Alif dengan ayah
biologisnya. Bahkan anak yang di besarkan dengan kedua orang tua lengkap saja
belum tentu dekat dengan kedua orangtuanya, apalagi Alif dengan kondisinya yang
begini.
"Kalo ternyata papanya adek yang
beneran itu om-om aneh gimana?" tanya Nana lagi.
Alif langsung menggeleng cepat, alisnya
mengkerut kedua tangannya menutupi telinganya. "Tidak mau ya tidak mau!
" tolak Alif lalu memunggungi Nana. Nana hanya tersenyum lalu ikut tiduran
sambil memeluk Alif.
"Mama jangan bilang gitu terus aku
tidak suka! " ucap Alif sambil berteriak menyembunyikan tangisnya.
Nana hanya diam sambil memeluk Alif yang
masih saja memunggunginya. Rasanya mengenalkan Aji akan terasa lebih sulit dari
yang Nana bayangkan. "Adek kenapa tidak suka sama om-om aneh?" tanya
Nana hati-hati.
"Dia ganggu terus, terus dia aneh
juga... Aku tidak suka... " jawab Alif sesenggukan sambil menyeka air
matanya sendiri.
"Assalamu'alaikum... " terdengar
suara Yuni dan Bram.
"Wa'alaikumsalam... " jawab Nana
yang langsung keluar sementara Alif masih diam berusaha diam sambil menyeka air
matanya terus.
Di luar pak Janto sudah menyambut sedari
tadi. Nana langsung menyalimi om dan tantenya lalu ke dapur membuatkan teh.
Usai Nana membuatkan teh dan duduk bersama om tantenya, Alif baru keluar kamar.
"Alif habis bangun tidur ya?"
tanya Yuni ramah lalu memeluk Alif.
Alif hanya mengangguk lesu dan pasrah saja
saat di peluk atau di pangku.
"Sudah makan belum Nak? " tanya
Yuni lagi yang hanya di angguki Alif. "Lagi sakit apa ngambek ini? "
tanya Yuni lagi sambil mencium pipi Alif dengan gemas.
"Aku tadi sakit, tapi ini aku marah...
" jawab Alif menjelaskan perasaannya.
Bram yang ikut menyemak percakapan dengan
Alif langsung tertawa mendengar jawaban Alif. "Anak kecil kok marah-marah
kenapa?" tanyanya ikut penasaran.
"Mama nakal, masak bilang kalo om aneh
papaku terus aku ya tidak suka... " jelas Alif dengan ekspresi marahnya
yang malah menggemaskan.
Suasana yang tadinya ceria dan berusaha
membuat Alif kembali ceria menjadi hening. Semua menatap Nana penuh tanya dan
menyudutkan.
"Na, nanti di obrolin... Kamu fokus
aja sama ujianmu... " ucap Bram sambil menahan emosinya. Bagaimana tidak
emosi, setelah semua yang di lakukan Aji dan keluarganya pada Nana bisa-bisanya
Nana malah berniat mengenalkan Alif pada Aji.
"Adek mau main di dalam mobil ga?
" tanya Yuni pada Alif sambil menggendongnya keluar rumah karena paham
akan situasi yang memanas.
Pak Janto, Bram dan Nana langsung diam,
hening sampai Alif di rasa sudah cukup jauh.
"Na, bapak paham kamu maunya gimana...
Kita boleh memaafkan tapi bukan berarti melupakan apa yang sudah di lakukan Aji
dan keluarganya ke kita..." ucap pak Janto dengan mata yang berkaca-kaca.
"Bapakmu benar Na, Alif perlu tau
siapa bapaknya tapi ga usah di paksakan... Om kira om sudah cukup yakin buat
kasih kepercayaan ke kamu... " ucap Bram yang mulai mengungkapkan kekecewaannya
pada Nana.
Nana hanya diam tertunduk. Bila terus di minta mengingat masalalu jelas ia tak ingin kembali dengan Aji. Tapi bila Nana ingat bagaimana manis dan indahnya saat menjalin kasih dengan Aji, tak dapat ia pungkiri juga kalau ia rindu ingin kembali. [Next]