0
Home  ›  Chapter  ›  My Baby Need A Daddy

Bab 12

Bab 12-1



Nana mundur sambil memegangi Alif agar berada di belakangnya saat melihat Aji yang bangun dari duduknya dan mendekatinya.

"Ga jadi pak esnya... " ucap Nana lalu pergi terburu-buru sambil menggandeng Alif.

"Kok tidak jadi kenapa Ma? " tanya Alif yang bingung dan terus berjalan mengikuti mamanya.

Itu anakku... Batin Aji saat melihat dan mendengar Alif yang memanggil Nana dengan sebutan mama.

Aji benar-benar tak menyangka ia akan kembali di pertemukan dengan Nana, yang lebih membuatnya tak percaya dan kembali merasa bersalah adalah ketika tau Nana tetap mempertahankan kehamilannya waktu itu hingga lahir bocah tadi.

Tapi nama besar keluarganya juga pengaruh eyangnya bagitu kuat. Rasanya begitu sulit lepas dari itu dan ya paling tidak bertanggung jawab minimal bocah tadi tau siapa papanya. Aji kebingungan dan malu sendiri dengan perbuatannya. Ia sudah benar-benar kelewatan apalagi saat melihat Nana yang lemah itu berani bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.

Mungkin kalau waktu itu aku tidak merusaknya, Nana akan bersinar di kampusnya.... Batin Aji penuh sesal.

●●●

Nana langsung menangis sambil memeluk Alif begitu cukup jauh dari pasar dan masuk kedalam gang sempit. Alif tampak bingung dengan mamanya yang menangis. Beberapa kali Alif bertanya tapi tak di jawab.

"Mama jangan nangis Ma... Aku nanti sedih... " ucap Alif yang ikut menangis saat melihat Nana menangis.

Alif berusaha menghapus air mata mamanya meskipun ia malah menangis lebih kencang karena mamanya menangis. "Mama diam jangan nangis terus! " ucap Alif sambil menghentakkan kakinya berkali-kali.

Nana hanya tersenyum sambil berusaha menenangkan dirinya, berusaha tenang agar anaknya berhenti menangis. "Iya... Cup... " ucap Nana lalu memeluk Alif.

Sepanjang jalan pulang Alif hanya diam sambil menggandeng mamanya. Tangannya membawa potongan pralon yang ia temukan di tempat sampah toko bangunan.

"Nanti kalo ada yang jahatin mamaku, aku pukul pakek ini! " ucap Alif setelah lama diam.

"Adek kenapa nangis waktu mama nangis? " tanya Nana memancing kecerewetan Alif lagi.

"Ya soalnya aku sayang sama Mama! " jawab Alif begitu sederhana. "Mama jangan nangis lagi ya... " sambung Alif sambil menatap Nana.

Nana hanya mengangguk sambil tersenyum. Tiap kali ia punya masalah dan merasa tersakiti bahkan remuk seperti sekarang. Alif selalu punya caranya sendiri untuk meringankan semuanya. Alif yang mau mengerti kondisinya yang jarang punya uang banyak, Alif yang tidak banyak jajan atau menuntut ini itu. Bahkan Alif juga mau belajar dengan benar di TPA meskipun tidak di awasi.

Masalahku memang besar, tapi Allah menyertaiku dan anakku... Batin Nana sambil menatap Alif.

"Ma, nanti aku kalo dah besar aku mau cari uang banyak biar bisa beli mobil kayak papanya Lila... Nanti kita naik mobil kemana-mana ya..." ucap Alif.

"Iya... " jawab Nana sambil tersenyum mendengar angan-angan anaknya. "Emang adek kalo besar mau jadi apa? " tanya Nana menanggapi.

"Tidak tau, aku maunya bekerja, punya uang buanyak sekali... Nanti bisa beli apa-apa... Rumahnya nanti besar... Nanti aku bisa main lari-lari sama Doni kalo rumahku besar... " jawab Alif senang.

"Besar seberapa? " tanya Nana kembali memancing Alif.

"Sebesar masjid... " jawab Alif yang membuat Nana tertawa terbahak-bahak.

Alif yang bingung apa yang di tertawakan mamanya hanya cengar-cengir lalu ikut tertawa.

Hanya masjid dekat rumah yang Alif anggap besar. Padahal itu masih terbilang kecil dan sempit. Bagaimana tidak parkiran saja tidak ada, tempat wudu hanya ada tiga kran air itupun airnya minta ke sumur warga. Shof salat hanya ada delapan itupun di bagi lima depan untuk jamaah laki-laki dan tiga di belakang untuk jamaah perempuan. Kalau solat Jum'at atau Ied selalu menutup jalan. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu tempat besar yang kerap di kunjungi Alif selain pasar.

"Kenapa gak pasar? " tanya Nana setelah usai tertawa.

"Aku ga suka pasar, kotor... Bauk... " jawab Alif yang kembali mengundang tawa Nana.

●●●

Aji hanya diam selama menyetir pulang. Begitu pula dengan Wulan yang hanya diam. Pikiran Aji melayang-layang pada Nana dan Alif yang tadi di temuinya. Anaknya benar-benar tumbuh dengan baik, menggemaskan dan tidak rewel sepertinya. Pasti banyak halangan yang sudah di hadapinya selama ini. Banyak... Pasti.

Bila Aji ingat lagi, saat mengusir Nana dan keluarganya juga hinaan tak lupa dengan fitnahannya yang begitu kejam pada Nana saja sudah begitu menyakitkan. Di tambah lagi Eyang dan keluarganya yang tampak merendahkan Nana dan keluarganya yang hanya di bayar uang. Itu pun tidak di ambilnya barang hanya selembar.

Nana terlihat lebih kurus dari sebelumnya, ya paling tidak terakhir bertemu dulu. Banyak hal di pikiran Aji, banyak hal yang ingin Aji tanyakan pada Nana. Aji ingin meminta maaf. Tapi sekarang setidaknya ia tau kalau Nana tidak pergi jauh-jauh ia sudah merasa puas dan senang. Masih ada potensi untuk bertemu Nana dan anaknya.

"Mas... " panggil Wulan memecah keheningan dalam mobil. "Tadi aku ketemu anak kecil namanya Alif... Gemesin banget, sayang ga sempat ku foto... " ucap Wulan.

"Dek, kalo aku punya anak selain dari kamu gimana? " tanya Aji tiba-tiba.

Wulan hanya diam tercekat mendengar ucapan Aji. Matanya terbelalak dan langsung berkaca-kaca. Apa maksud dari suaminya? Apa punya istri baru atau wanita simpanan?

"Coba saja kalau berani... " ucap Wulan. "Kamu harus ingat Mas, eyangmu... Bapakmu punya hutang politik ke keluargaku... Ke partainya ayahku... Jadi jangan coba-coba main api... " Wulan langsung memperingatkan dengan tegas.

Aji hanya mengangguk lalu diam. Hal ini yang selalu membuatnya tak berdaya. Menjadi boneka dan kehilangan jati dirinya, bahkan sampai mengorbankan wanita yang di cintainya juga buah cintanya. Kalau saja ia tidak di lahirkan di keluarga kraton tidak juga anak gubernur pasti ia tidak akan terseok-seok begini. Belum lagi jabatan istrinya sebagai anggota dewan daerah dengan karir politik yang mantap. Jelas membuatnya tak dapat berkutik.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

"Berhentilah berfikiran buruk kalau tidak mau berada dalam masalah! " ketus Wulan yang makin menegaskan segala kekuasaannya.

Aji hanya diam lalu mengangguk, tanpa ada bantahan atau apapun bentuk perlawanan yang terucap dari mulutnya.

Politik, kekuasaan, harta, jabatan... Huft... Semuanya seperti memakai pesugihan saja... Selalu memakan korban dan meminta tumbal... Batin Aji sambil menatap istrinya.

Tak satupun yang akan menyangka bila istrinya akan bertindak sekejam dan semengekang sekarang. Wajah yang cantik, tutur kata yang lembut dan ya... Begitu senang bila bersentuhan dengan anak-anak... Tak akan ada yang menyangka bila Wulan bisa mengobrak-abrik tatanan yang ada hanya dengan surat perintah.

Bahkan tak ada yang menyangka bila gedung pasar lama yang ada di pusat kota di bakar habis hanya karena pemkot menyediakan gedung baru tanpa ada pedagang yang mau pindah. Wulan menjadi dalang pembakaran gedung pasar itu dengan memerintahkan anak buahnya. Wulan sendiri begitu santai menatap para pedagang yang koncar-kancir menyelamatkan apa yang bisa di selamatkan sambil berusaha memadamkan api. Pemadam kebakaran juga sengaja di tahannya tunggu sampai satu jam baru di datangkan.

Wulan sendiri begitu pemadam kebakaran datang malah asik bercinta dengan salah satu ajudannya saat Aji tengah dinas keluar negeri. Entah berapa ronde ia semalaman bercinta, rasanya memandang kebakaran itu membuatnya lebih bergelora. Demi kelancaran program kerja kakaknya yang saat itu menjabat sebagai bupati apapun ia lakukan.

Sekarang Aji di buat bingung, bagaimana caranya mengatakan pada Wulan kalau ia pernah menghamili Nana dan sampai lahir anaknya tadi.

●●●

Nana langsung sibuk memasak sementara Alif ikut membantunya dengan menghaluskan garam. Hanya agar Alif tidak ribut mengganggu saja. Sebelum dzuhur masakan Nana sudah jadi, tinggal menunggunya dingin dan siap di bungkus.

"Alif ayo solat... " ajak pak Janto pada Alif untuk ikut salat berjamaah di masjid.

"Oke bos! " jawab Alif ceria lalu mengikuti kakeknya.

Tapi tak selang lama setelah Alif dan kakeknya kemasjid, Bram dan Yuni datang. Ada ayam kremes dengan kremes yang cukup banyak, beras, dan uang untuk Alif juga keluarganya. Nana yang sengaja memasak lebih untuk anak dan bapaknya langsung menyuguhkan nasi gorengnya barusan, lalu membuatkan teh manis.

"Gak usah repot-repot Na, ini buat Alif sama kamu aja... " ucap tante Yuni.

Nana hanya tersenyum malu. Lalu membawa masuk nasi goreng yang tadi di suguhnya.

"Jualanmu lancar? " tanya Bram.

"Alhamdulillah Om, dikit-dikit... Ini tadi juga ada pesenan... " jawab Nana.

"Alif kapan mau TK? " tanya Yuni.

"Insyaallah taun depan kalo Alif mau tante... Tapi kayaknya nunggu umur empat aja... " jawab Nana. 

Nana mundur sambil memegangi Alif agar berada di belakangnya saat melihat Aji yang bangun dari duduknya dan mendekatinya.

"Ga jadi pak esnya... " ucap Nana lalu pergi terburu-buru sambil menggandeng Alif.

"Kok tidak jadi kenapa Ma? " tanya Alif yang bingung dan terus berjalan mengikuti mamanya.

Itu anakku... Batin Aji saat melihat dan mendengar Alif yang memanggil Nana dengan sebutan mama.

Aji benar-benar tak menyangka ia akan kembali di pertemukan dengan Nana, yang lebih membuatnya tak percaya dan kembali merasa bersalah adalah ketika tau Nana tetap mempertahankan kehamilannya waktu itu hingga lahir bocah tadi.

Tapi nama besar keluarganya juga pengaruh eyangnya bagitu kuat. Rasanya begitu sulit lepas dari itu dan ya paling tidak bertanggung jawab minimal bocah tadi tau siapa papanya. Aji kebingungan dan malu sendiri dengan perbuatannya. Ia sudah benar-benar kelewatan apalagi saat melihat Nana yang lemah itu berani bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri.

Mungkin kalau waktu itu aku tidak merusaknya, Nana akan bersinar di kampusnya.... Batin Aji penuh sesal.

●●●

Nana langsung menangis sambil memeluk Alif begitu cukup jauh dari pasar dan masuk kedalam gang sempit. Alif tampak bingung dengan mamanya yang menangis. Beberapa kali Alif bertanya tapi tak di jawab.

"Mama jangan nangis Ma... Aku nanti sedih... " ucap Alif yang ikut menangis saat melihat Nana menangis.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Alif berusaha menghapus air mata mamanya meskipun ia malah menangis lebih kencang karena mamanya menangis. "Mama diam jangan nangis terus! " ucap Alif sambil menghentakkan kakinya berkali-kali.

Nana hanya tersenyum sambil berusaha menenangkan dirinya, berusaha tenang agar anaknya berhenti menangis. "Iya... Cup... " ucap Nana lalu memeluk Alif.

Sepanjang jalan pulang Alif hanya diam sambil menggandeng mamanya. Tangannya membawa potongan pralon yang ia temukan di tempat sampah toko bangunan.

"Nanti kalo ada yang jahatin mamaku, aku pukul pakek ini! " ucap Alif setelah lama diam.

"Adek kenapa nangis waktu mama nangis? " tanya Nana memancing kecerewetan Alif lagi.

"Ya soalnya aku sayang sama Mama! " jawab Alif begitu sederhana. "Mama jangan nangis lagi ya... " sambung Alif sambil menatap Nana.

Nana hanya mengangguk sambil tersenyum. Tiap kali ia punya masalah dan merasa tersakiti bahkan remuk seperti sekarang. Alif selalu punya caranya sendiri untuk meringankan semuanya. Alif yang mau mengerti kondisinya yang jarang punya uang banyak, Alif yang tidak banyak jajan atau menuntut ini itu. Bahkan Alif juga mau belajar dengan benar di TPA meskipun tidak di awasi.

Masalahku memang besar, tapi Allah menyertaiku dan anakku... Batin Nana sambil menatap Alif.

"Ma, nanti aku kalo dah besar aku mau cari uang banyak biar bisa beli mobil kayak papanya Lila... Nanti kita naik mobil kemana-mana ya..." ucap Alif.

"Iya... " jawab Nana sambil tersenyum mendengar angan-angan anaknya. "Emang adek kalo besar mau jadi apa? " tanya Nana menanggapi.

"Tidak tau, aku maunya bekerja, punya uang buanyak sekali... Nanti bisa beli apa-apa... Rumahnya nanti besar... Nanti aku bisa main lari-lari sama Doni kalo rumahku besar... " jawab Alif senang.

"Besar seberapa? " tanya Nana kembali memancing Alif.

"Sebesar masjid... " jawab Alif yang membuat Nana tertawa terbahak-bahak.

Alif yang bingung apa yang di tertawakan mamanya hanya cengar-cengir lalu ikut tertawa.

Hanya masjid dekat rumah yang Alif anggap besar. Padahal itu masih terbilang kecil dan sempit. Bagaimana tidak parkiran saja tidak ada, tempat wudu hanya ada tiga kran air itupun airnya minta ke sumur warga. Shof salat hanya ada delapan itupun di bagi lima depan untuk jamaah laki-laki dan tiga di belakang untuk jamaah perempuan. Kalau solat Jum'at atau Ied selalu menutup jalan. Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu tempat besar yang kerap di kunjungi Alif selain pasar.

"Kenapa gak pasar? " tanya Nana setelah usai tertawa.

"Aku ga suka pasar, kotor... Bauk... " jawab Alif yang kembali mengundang tawa Nana.

●●●

Aji hanya diam selama menyetir pulang. Begitu pula dengan Wulan yang hanya diam. Pikiran Aji melayang-layang pada Nana dan Alif yang tadi di temuinya. Anaknya benar-benar tumbuh dengan baik, menggemaskan dan tidak rewel sepertinya. Pasti banyak halangan yang sudah di hadapinya selama ini. Banyak... Pasti.

Bila Aji ingat lagi, saat mengusir Nana dan keluarganya juga hinaan tak lupa dengan fitnahannya yang begitu kejam pada Nana saja sudah begitu menyakitkan. Di tambah lagi Eyang dan keluarganya yang tampak merendahkan Nana dan keluarganya yang hanya di bayar uang. Itu pun tidak di ambilnya barang hanya selembar.

Nana terlihat lebih kurus dari sebelumnya, ya paling tidak terakhir bertemu dulu. Banyak hal di pikiran Aji, banyak hal yang ingin Aji tanyakan pada Nana. Aji ingin meminta maaf. Tapi sekarang setidaknya ia tau kalau Nana tidak pergi jauh-jauh ia sudah merasa puas dan senang. Masih ada potensi untuk bertemu Nana dan anaknya.

"Mas... " panggil Wulan memecah keheningan dalam mobil. "Tadi aku ketemu anak kecil namanya Alif... Gemesin banget, sayang ga sempat ku foto... " ucap Wulan.

"Dek, kalo aku punya anak selain dari kamu gimana? " tanya Aji tiba-tiba.

Wulan hanya diam tercekat mendengar ucapan Aji. Matanya terbelalak dan langsung berkaca-kaca. Apa maksud dari suaminya? Apa punya istri baru atau wanita simpanan?

"Coba saja kalau berani... " ucap Wulan. "Kamu harus ingat Mas, eyangmu... Bapakmu punya hutang politik ke keluargaku... Ke partainya ayahku... Jadi jangan coba-coba main api... " Wulan langsung memperingatkan dengan tegas.

Aji hanya mengangguk lalu diam. Hal ini yang selalu membuatnya tak berdaya. Menjadi boneka dan kehilangan jati dirinya, bahkan sampai mengorbankan wanita yang di cintainya juga buah cintanya. Kalau saja ia tidak di lahirkan di keluarga kraton tidak juga anak gubernur pasti ia tidak akan terseok-seok begini. Belum lagi jabatan istrinya sebagai anggota dewan daerah dengan karir politik yang mantap. Jelas membuatnya tak dapat berkutik.

"Berhentilah berfikiran buruk kalau tidak mau berada dalam masalah! " ketus Wulan yang makin menegaskan segala kekuasaannya.

Aji hanya diam lalu mengangguk, tanpa ada bantahan atau apapun bentuk perlawanan yang terucap dari mulutnya.

Politik, kekuasaan, harta, jabatan... Huft... Semuanya seperti memakai pesugihan saja... Selalu memakan korban dan meminta tumbal... Batin Aji sambil menatap istrinya.

Tak satupun yang akan menyangka bila istrinya akan bertindak sekejam dan semengekang sekarang. Wajah yang cantik, tutur kata yang lembut dan ya... Begitu senang bila bersentuhan dengan anak-anak... Tak akan ada yang menyangka bila Wulan bisa mengobrak-abrik tatanan yang ada hanya dengan surat perintah.

Bahkan tak ada yang menyangka bila gedung pasar lama yang ada di pusat kota di bakar habis hanya karena pemkot menyediakan gedung baru tanpa ada pedagang yang mau pindah. Wulan menjadi dalang pembakaran gedung pasar itu dengan memerintahkan anak buahnya. Wulan sendiri begitu santai menatap para pedagang yang koncar-kancir menyelamatkan apa yang bisa di selamatkan sambil berusaha memadamkan api. Pemadam kebakaran juga sengaja di tahannya tunggu sampai satu jam baru di datangkan.

Wulan sendiri begitu pemadam kebakaran datang malah asik bercinta dengan salah satu ajudannya saat Aji tengah dinas keluar negeri. Entah berapa ronde ia semalaman bercinta, rasanya memandang kebakaran itu membuatnya lebih bergelora. Demi kelancaran program kerja kakaknya yang saat itu menjabat sebagai bupati apapun ia lakukan.

Sekarang Aji di buat bingung, bagaimana caranya mengatakan pada Wulan kalau ia pernah menghamili Nana dan sampai lahir anaknya tadi.

●●●

Nana langsung sibuk memasak sementara Alif ikut membantunya dengan menghaluskan garam. Hanya agar Alif tidak ribut mengganggu saja. Sebelum dzuhur masakan Nana sudah jadi, tinggal menunggunya dingin dan siap di bungkus.

"Alif ayo solat... " ajak pak Janto pada Alif untuk ikut salat berjamaah di masjid.

"Oke bos! " jawab Alif ceria lalu mengikuti kakeknya.

Tapi tak selang lama setelah Alif dan kakeknya kemasjid, Bram dan Yuni datang. Ada ayam kremes dengan kremes yang cukup banyak, beras, dan uang untuk Alif juga keluarganya. Nana yang sengaja memasak lebih untuk anak dan bapaknya langsung menyuguhkan nasi gorengnya barusan, lalu membuatkan teh manis.

"Gak usah repot-repot Na, ini buat Alif sama kamu aja... " ucap tante Yuni.

Nana hanya tersenyum malu. Lalu membawa masuk nasi goreng yang tadi di suguhnya.

"Jualanmu lancar? " tanya Bram.

"Alhamdulillah Om, dikit-dikit... Ini tadi juga ada pesenan... " jawab Nana.

"Alif kapan mau TK? " tanya Yuni.

"Insyaallah taun depan kalo Alif mau tante... Tapi kayaknya nunggu umur empat aja... " jawab Nana.

[Next]

Bab 12-2


64
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share