Bab 15
"Na! Berhenti! Aku juga punya hak sama
anak itu!" ucap Aji yang akhirnya bisa menahan langkah Nana hingga
terhenti di depan Indoapril.
Nana menatap tajam Aji yang bisa mengklaim
hak atas Alif setelah memfitnah dan berniat menggugurkannya.
"Na... Mari bicara sebentar... "
ucap Aji penuh sesal lalu berjongkok di depan Nana dengan wajah yang memelas.
"Dia kenapa Ma? " tanya Alif yang
menatap Aji penuh heran.
"Dia bodoh ayo pulang... " jawab
Nana dengan kesal lalu melanjutkan langkahnya.
Aji masih saja mengikutinya sambil
memanggil-manggil hingga jadi bahan tontonan.
"Heh Om pergi saja jangan ikut
aku sama mama!" teriak Alif mengusir Aji yang mengikutinya.
"Sudah abaikan saja..." ucap Nana
pada Alif sambil terus berjalan.
Aji terus mengikuti sampai ia berlari untuk
menghalau Nana langsung di depannya. Alif makin ciut dan tidak merasa aman,
begitu pula dengan Nana.
"Kita bicara sebentar... Hanya
sebentar... " paksa Aji lalu menarik Nana secara paksa ke sebuah warung
mie ayam yang masih sepi. "Pesan tiga mie ayam pakek baso sama es teh!
" ucap Aji yang langsung pesan.
Nana di paksa duduk Alif sudah ketakutan
dengan orang asing yang memaksa dan menarik-narik mamanya. Alif sudah ingin
menangis rasanya tapi ia berusaha menahannya karena ada mamanya yang terus menggendong dan
mendekapnya.
"Kamu dah buang aku sama Alif... Jadi
ga ada yang perlu di bicarakan... Toh kamu mau gugurin dia... Dia anakku!
" hardik Nana dengan tegas sebelum Aji memulai pembicaraan.
"A-aku minta maaf Na... " ucap
Aji penuh sesal dengan wajah tertunduk.
Nana langsung bangun dan langsung keluar
begitu saja bersama Alif menaiki angkutan yang baru saja berhenti.
"Itu tadi siapa sih Ma? " tanya
Alif yang tak di jawab Nana yang begitu sedih dan kembali terpukul mengingat
masa lalunya yang begitu berat.
"Adek, mama sayang sekali sama adek...
Alif jangan pernah ninggalin mama ya... Jadi anak baik ya... " ucap Nana
mewanti-wanti putranya. "Mama berusaha biar adek bisa sekolah, pinter,
soleh... Adek janji ya jangan tinggalin mama... " sambung Nana sambil mencium
kening dan pipi Alif lalu kembali mendekapnya.
"Iya adek kan sayang mama... "
jawab Alif sambil mengelus pipi Nana.
●●●
"Mas... Dari mana? Tumben bawa mie
ayam... " sambut Wulan yang baru menerima tamu.
"Bank... Ya aku beli pengen aja tadi
terus kepikiran kamu... Aku bungkus deh... " jawab Aji lalu mengecup pipi
Wulan dan sedikit membungkuk untuk menyapa tamunya sambil berjalan masuk.
Aji terus memikirkan soal putranya dan
akhirnya ia tau kalau namanya, Alif. Aji terus memikirkan soal Nana dan Alif
yang ia campakan. Bayangan indah saat masih tinggal bersama Nana kembali muncul
dan begitu lekat di pikirannya. Semua kembali terbayang secara jelas.
Ke khawatiran soal Nana dan Alif terus
menguak hingga rasanya begitu sesak. Ingin sekali Aji kali ini merasakan
pelukan Alif, menggendongnya lalu jalan-jalan bersama sambil menggandeng Nana.
Hangat dan harmonis... Nyaman. Nana selalu memberinya rasa nyaman.
Rasa itu tumbuh makin kuat. Rindu yang muncul
dan menyayat secara perlahan, merambat naik dan terus membuncah. Ingin memeluk
Nana, mendekapnya. Bermain dengan Alif putranya, membayar semua keterlambatan
dan menebus kesalahannya.
Membesarkan putranya dengan kehangatan dan
penuh cinta. Memberikan nafkah dan fasilitas yang layak, setidaknya tak perlu
berpanas-panas dan mengejar angkutan umum.
Aji terus membayangkan betapa indah hidupnya
bila bisa kembali bersama Nana. Menikahinya dan bertanggung jawab atas semua.
Mungkin sekarang akan ada masakan yang di buat dengan penuh cinta. Ada tutur
kata yang lembut, halus dan menyejukkan sekaligus menyemangatinya tiap down. Ada tangan lembut yang mengusap
wajah lesunya tiap pulang kerja lalu mengecup keningnya meskipun sambil
berjinjit itupun Aji masih menunduk, lalu ada paha yang duduk bersimpuh sambil
bersandar agar ia nyaman berbantalkan paha sambil mencurahkan meruwetan harinya
dengan tangan yang selalu mengelus rambutnya.
"Mas... " panggil Wulan
memecahkan lamunan Aji dengan angan dan penyesalannya. "Makan yuk...
Mienya dah aku siapin... " ajaknya dengan senyum manis yang menghiasi
paras ayunya.
"Iya... " jawab Aji lalu bangun
beranjak dari tempatnya berangan-angan.
"Mas, ternyata ku hitung lagi kamu ini
kere sekali ya... Masak penghasilanmu cuma dua lima juta... Ga ada
seperempatnya dari penghasilan bunga depositoku... " ucap Wulan yang
selalu mengajak membahas soal harta, kalau tidak ya soal jabatan dan partai.
Inilah yang membuat Aji ilfil dan kesal tapi terus coba ia tahan
demi Eyang dan keluarganya. Hal inilah yang membuat Aji merasa Nana yang
terbaik dan seharusnya menjadi pendamping hidupnya.
"Aku bercanda... " ucap Wulan
berusaha mencairkan suasana lalu mengecup bibir Aji yang dari tadi diam
membisu.
●●●
"Bapak... " panggil Alif yang
berjalan pulang dari masjid setelah solat dzuhur bersama pak Janto.
Pak Janto langsung menatapnya dan
memperlambat langkah.
"Tadi aku sama mama di kejar orang
aneh... Dia tarik mama sama aku terus ikutin terus..." ucap Alif mulai
menceritakan apa yang tadi ia alami. "Aku takut sekali terus di gendong
mama, mama juga takut terus di paksa duduk gitu terus tadi aku sama mama kabur..."
sambung Alif lagi dengan wajahnya yang serius.
"Orang aneh? Cowok apa cewek?"
tanya pak Janto yang khawatir dengan cerita Alif barusan.
Apa
jangan-jangan ketemu si Aji lagi? Batin pak Janto
penuh
tanya.
"Tadi harusnya aku bawa senjataku biar
dia pergi... Tadi aku dah bilang jangan ikut ! Pergi sana! Dia ngeyel malah
ikut terus... " Alif terus bercerita sampai di rumah.
"Na tadi kamu ketemu siapa? "
tanya pak Janto begitu masuk rumah dan mendapati Nana yang tengah memasak.
"Anu Pak... Tadi ketemu sama
mas Aji... " ucap Nana yang membuat pak Janto terperanjat.
Susah payah ia kabur dan pindah rumah demi
pergi jauh dari Aji dan keluarganya. Bagaimana bisa sekarang Nana dan Alif yang
dulu di buang dan di usir-usir bertemu kembali.
"Kamu pindah saja sama Alif ke rumah
om sama tantemu... Kamu kuliah saja di sana... Alif juga biar sekolah di
sana... Biar bapak yang di sini... Biar kamu ga di ganggu si Borokokok itu lagi... " ucap pak
Janto serius dengan berbisik agar Alif tidak mendengarnya.
Nana terdiam penuh pertimbangan. Mulai dari
usaha kecilnya yang sudah jalan, tetangga sekitar yang tak tau siapa Nana
sebenarnya. Teman-teman Alif nantinya, TPA dan lainnya begitu Nana pikirkan.
Belum lagi pak Janto yang makin tua, jelas Nana tak tega meninggalkannya
sendiri.
"Terus bapak gimana? " tanya
Nana.
"Gampang... Nanti kamarnya yang ada
bisa bapak sewain biar ada temen... Kalo ga ya sendiri gapapa... Yang penting
kamu ga ketemu sama dia lagi... " jawab pak Janto.
"Biar Nana pikir dulu pak... " [Next]