Bab 33
Alice langsung megemasi
bajunya, memasukkan semua barang-barangnya kedalam koper, membawa semua barang
yang ia perlukan. Air matanya sudah berderai mengalir sejak melihat eyangnya
akan memaksakan kehendak padanya juga. Perasaan Alice jelas langsung hancur
begitu melihat pria muda yang tengah bertamu tadi. Ia tak menyangka kalau ia
akan bernasip sama seperti kakak-kakaknya.
Tapi dari semuanya yang paling membuat hati
Alice hancur adalah saat ia sudah mempertemukan Joe dan Eyang, dimana tanggapan
yang di berikanpun begitu hangat dan ramah. Ternyata ia tetap berindikasi akan
di jodohkan.
"Alice..." panggil Siwi yang
masuk ke dalam kamar Alice yang tak di kunci itu.
"Ah! Mama jangan ngehalangin aku! Aku
mau pergi!" ucap Alice yang langsung marah dan menghardik Siwi.
Siwi langsung mengunci pintu kamar Alice
setelah meletakkan piring mie goreng yang ia bawa. "Tidak, tidak
apa-apa... Pergilah Nak..." ucap Siwi yang ikut membantu Alice berkemas. "Cepat
makan, biar mama yang rapikan... " sambung Siwi sambil menata koper Alice.
Alice terdiam melongo melihat apa yang di
lakukan ibunya itu. Alice kembali menangis sambil memeluk ibunya yang tak ia
sangka-sangka malah membantunya.
"Sudah jangan nangis, makan dulu
sana... Nanti mama bantuin kamu buat keluarin barang-barang..." ucap Siwi
sambil memeluk Alice dan menyeka air matanya.
"Ma, tapi kalo aku pergi mama bakal di
marahin..." ucap Alice sambil berusaha menghentikan tangisnya.
Siwi hanya menggeleng pelan, perlahan
tangannya mengelus pipi Alice. "Adek..." panggil Siwi lembut pada
Putri bungsunya. "Mama ga pernah bisa memberikan kebahagiaan buat semua
anak-anak mama... Mama tau apa yang kamu lakukan ini bakal menimbulkan masalah,
tapi kalo kamu bahagia, happy, ga
tertekan... Mama... Kita pasti bisa lalui semuanya sama-sama..." ucap Siwi
menenangkan Alice lalu memeluknya erat. "Hmm... Anak mama dah
besar..." Siwi menepuk-nepuk punggung Alice dengan lembut.
Alice hanya diam tak bisa berkata apa-apa
lagi. Setelah mendengar ucapan ibunya perasaan Alice makin tak karuan. Bila
pergi sudah pasti ibunya akan jadi sasaran pukul ayahnya, minimal akan di maki
oleh Eyangnya. Tapi kalau ia tidak segera pergi, kesempatannya untuk lari
tak mungkin datang dua kali. Ini kesempatan emas, hanya satu kali. Ah tidak
juga... Kesempatan itu mungkin bisa datang dua kali, tapi kepercayaan dan orang
yang akan ia tuju pasti sudah tak sama.
"Ma, kalo mama bantu aku nanti mama
bakal di marahin papa... " ucap Alice sambil mengaduk-aduk mienya.
"Yaudah kalo gitu mama ikut pergi dari
sini..." jawab Siwi santai.
"Ma! Aku serius... "
"Mama juga serius..." potong Siwi
lalu menatap wajah putrinya itu. "Mama capek, mama mau pergi... Kamu
gapapa kan?" tanya Siwi.
Alice menggeleng, kepalanya tertunduk
bingung harus bagaimana. Alice paham betul bagaimana mamanya. Bagaimana wanita
yang di panggilnya mama itu, betapa bergantungnya ia pada suaminya. Wanita
lemah yang tak pernah terjun ke lapangan kerja untuk banting tulang. Hanya tau
kamar, dapur, sumur seperti wejangan orang tuanya. Tak pernah membangkang tak
pernah melawan.
Alice berpikir keras agar ibunya tidak kena
marah, tidak terkena masalah. Pikirannya sudah kacau dan begitu kalut, tapi
tetap di santapnya makan siang yang sudah tersaji di kamarnya. Beberapa kali
Alice menghela nafas lalu menyelesaikan makan siangnya.
"Sudah untuk kali ini mama ga usah
belain aku... Ga usah tamengin aku... Biar aku saja... Mama mikir aja gimana
mama kedepannya nanti kalo emang mau pergi dari sini... " ucap Alice lalu
menghela nafas. "Aku ini Alice! I can take care of myself! "
sambung Alice sesumbar seperti biasa.
Siwi hanya diam lalu tersenyum lembut.
"Tapi kamu anak mama, harusnya mama yang ngurus kamu... " ucap Siwi.
"Eyang! Eyang!" teriak Alice.
"Mama keluar... Biar semuanya soal aku, aku yang urus..." tegas Alice
dengan suaranya yang pelan namun cukup serius. "Eyang! Mama ganggu! "
tetiak Alice lagi.
Siwi kembali menghela nafasnya lalu
merapikan bekas peralatan makan siang Alice sambil berjalan keluar.
"Kamu ini ga usah ganggu cucuku...
Biarin aja dia mau apa! Susah sekali ya pahamnya? Goblok banget!" omel Eyang begitu berpapasan
dengan Siwi di tangga.
Siwi hanya menundukkan kepala sambil
mengangguk pelan tak berani menjawab.
Huft...
Mama... Aku ga tega ninggalin mama sendirian, baru di gituin eyang aja dah ga
bisa lawan apa lagi mau minggat... Batin Alice
khawatir.
"...aku
mau ikutan kemah Jumat sampe Minggu, minggu depan aku berangkat harus ada yg
jagain mama!..." Alice mengirim pesan pada
kakak-kakaknya di grup.
"...iya,
besok aku pulang... " balas Aji sebelum kedua
kakaknya membalas di grup.
●●●
Nana mulai menghitung hari dan memperketat
persiapannya untuk ujian tengah
semesternya. Rasanya hampir semua mahasiswa baru bersaing
untuk melanjutkan langkahnya. Melangkah menuju karir dan cita-cita
masing-masing.
Nana benar-benar harus bekerja ekstra keras
untuk bersaing dengan mereka yang baru lulus, mereka yang terus di gembleng, di
biayai, dan yang jelas tanpa menganggur sepertinya. Harus mengurus Alif dan
mengajarinya membaca, mencari nafkah, membantu bapaknya, juga belajar untuk
mempersiapkan diri sebelum ujian. Itupun masih di ganggu Aji yang membuatnya
tak bisa tenang.
"Na... Aku mau tinggal di rumah orang
tuaku lagi beberapa hari kedepan... Alice mau kemah... Kamu jagain Alif ya...
" pamit Aji yang berdiri di depan rumah pak Janto pada Nana yang tengah
menyapu meskipun Nana tak memperhatikannya.
"Urusannya apa sama aku, mau pergi ya
pergi aja!" ketus Nana lalu menatap tajam wajah Aji.
Aji hanya tersenyum lalu mengangguk.
"Na, kalo ada apa-apa, butuh aku langsung bilang aja ya..." ucap Aji
sebelum Nana membanting pintu didepannya.
Apa
kamu beneran serius Mas waktu bilang mau kembali? Apa kamu bisa melawan kemauan
eyang? Batin Nana sambil menatap Aji yang berjalan
menjauh dari rumahnya melalui sela-sela pintu. [Next]