Bab 48
"Aku mau nikah... Sama
Nana... " ucap Arif pada Zulia sambil menunggu waktu salat isya.
"Nana? " tanya Zulia terkejut tak
menyangka Arif akan menikah secepat itu.
Arif hanya mengangguk lalu tersenyum
canggung. "Akhirnya Nana nerima lamaranku setelah lama banget nunggu
jawabannya..." ucap Arif berusaha acuh pada reaksi Zulia.
Zulia ikut tersenyum mendengar cerita Arif.
Bila diminta jujur mungkin Zulia akan menangis sejadi-jadinya sekarang. Arif
yang akan ia kenalkan pada orang tuanya, Arif yang sudah lama menemaninya
bahkan membuatnya nyaman hingga memiki mimpi untuk menikah dan hidup bersama,
kini malah akan menikahi wanita lain. "Nana anak kyai mana? Dari pondok mana?
" tanya Zulia berusaha tenang.
Arif menggeleng. "Nana orang biasa,
bapaknya penjahit, bukan santriwati, sudah punya anak, tapi ga ada suaminya...
Anaknya dulu muridku, aku jadi kenal Nana... " Arif mulai bercerita panjang
lebar soal Nana dan proses pertemuannya dulu dengan hal-hal menyenangkan yang
terus di sebutkannya.
Zulia hanya diam mendengar tiap cerita Arif
yang terasa sangat menyesakkan. "Kamu ga pernah cerita apa-apa soal
Nana... " ucap Zulia sambil tersenyum canggung.
Gapapa... Tenang... Kuasai... Aku wanita
baik... Aku tidak boleh menangis... Aku ga boleh merebut Arif dari wanitanya...
Aku ga boleh merebut kebahagiaan wanita lain... Batin Zulia menguatkan hatinya
yang patah.
"Aku bilang, kamu yang mungkin kurang
ngeh... Aku sering bilang, Nana masak buat aku, aku mau pergi ke tempat Nana,
aku kencan sama dia... " ucap Arif lembut.
Zulia hanya mengangguk sambil menundukkan
pandangan. Matanya tertuju pada cemilan kiloan yang di suguhkan Arif padanya.
"Itu kemarin mau buat Nana, tapi Alif
ga suka... Pedas... " lanjut Arif yang melihat krupuk pedas kiloan
berbentuk bulat pipih di plastik.
"Alif? " tanya Zulia bingung.
"Anaknya Nana... " jawab Arif
singkat.
Zulia hanya diam sambil menatap Arif
sejenak lalu bangkit dan berjalan ke tempat wudhu. Diambilnya wudhu lalu
kembali duduk bersama Arif.
Seperti apa si Nana itu? Apa lebih cantik
dari aku? Sesexy apa ? Kenapa bisa aku kalah... Batin Zulia yang bingung akan
perasaannya dan penasaran dengan Nana.
●●●
Aji kelimpungan menemani adiknya di
kontrakan, yang jadi masalah bukan hanya karena Aji harus menemani adiknya itu
saja. Tapi juga Alice yang muntah-muntah dan ngidam yang aneh-aneh setiap
selesai muntah. Permintaannya pun lumayan sulit, mulai dari makanan yang kecut
sampai makanan khas daerah yang entah mengapa bisa terlintas di pikiran Alice
seperti ingin bebek betutu atau mie titi yang entah harus beli dimana.
Alice juga lemas bahkan untuk sekedar
bangun dari duduk saja tak kuat. Jadilah Aji yang mengurusnya. Belum lagi mood
Alice yang berubah-ubah. Makin membuat Aji pusing menghadapinya.
"Kamu tau ga, sekarang aku baru bisa
ngebayangin gimana di posisi Nana saat ini... " ucap Aji yang datang
sambil membawa pempek yang masih di bungkus dalam plastik bening ditenteng
dengan kresek bergaris hitam putih.
Alice hanya diam menatap Aji, terlalu lemas
untuk berkomentar.
"Dulu Nana ngidam apa? Makan sehat
engga? Ada yang dampingi enggak? Muntah-muntah sama ngidam enggak? " ucap
Aji melanjutkan ceritanya. "Aku ga bisa bayangin seberapa menderitanya Nana
dulu, sampe sekarang... Hamil, melahirkan, menyusui, mendidik, membesarkan
anak..." sambung Aji lalu duduk di lantai dekat Alice yang tiduran di
sofa.
"Di hujat, di marahi... Jangan lupa...
Dapet stempel cewek murah... " ucap Alice pelan sambil tersenyum.
Aji hanya menganggukkan kepalanya pelan
setuju dengan Alice, mungkin luka fisik bisa sembuh bisa pulih. Tapi stempel
masyarakat dan sanksi sosial? Apa mudah hilang? Bahkan atas kesalahan yang ia
perbuat dengan Nana juga berimbas pada Alif yang sama sekali tidak tahu apapun.
"Kenapa gitu ya? " tanya Alice
sambil mulai mengunyah sepotong pempeknya..
"Apanya? "
"Ya gitu... Aku hamil ga sendiri, ga
tiba-tiba. I mean aku ga hamil gara-gara ada orang bodoh onani dikolam renang
terus spermanya nyasar masuk ke aku... Aku juga bukan jenis amuba yang membelah
diri buat berkembang biak... " Aji tersenyum geli mendengar adiknya yang
mulai tersulut emosi. "Aku hamil, Nana hamil. Itu pasti ada peler nakal yang
ngehamilin. Ga mungkin enggak. Jelas ada partnernya, ada cowoknya. Kenapa
kesannya cewek doang yang salah? Kenapa cuma cewek yang di marahi tidak bisa
jaga diri dan sebagainya? Kenapa bukan cowoknya? Maksudku kayak yaudah kita
sama-sama di salahin... " sambung Alice lalu mulai melanjutkan makanya.
"Ya kan bisa di aborsi..."
celetuk Aji. "Lagian masih embrio, mumpung belum jadi janin... "
sambung Aji yang masih saja ingin jalan pintas.
"Kalo aborsi apa ada jaminan aman?
Fisikku? Mental ku? Kalo kamu liat anakmu dari Nana apa kamu tega bunuh anak
kayak dia? Macan yang buas saja ga memakan anaknya, kalo kamu mikir gitu
mungkin kamu setan mas. Sama kayak eyang... " jawab Alice.
Aji hanya diam lalu memandangi wajah Alif
dengan mata yang berbinar tampak ceria dalam kekurangannya. Anak yang tak pernah
benar-benar diinginkan itu tumbuh dengan baik dan pintar, bisa menjaga ibunya.
Mata Aji mulai berkaca-kaca ketika
mengingat Alif dan Nana yang saling menguatkan dan saling menjaga. Bahkan bila
Aji ingat Alif yang nyaris selalu berusaha menyerang dan mengusirnya
benar-benar membuat Aji merasa berdosa punya niat menghapusnya dan merampas hak
hidupnya.
"Lagian yang nentuin bakal bunting
kagak kan laki-laki, kalo lakinya ga pakek pengaman nekat keluar di dalem ya
gini. Kalo ada pengaman cewek kayak balon itu, kalo cowok ga mau pakek bisa di
pakek cewek pasti aku pakek tapi ini ga bisa... " ucap Alice lagi.
"Mas pengen ayam kremes... " pinta Alice.
●●●
Alif tidak mau makan, pertama kalinya Alif
menolak membuka mulut untuk makan. Alif hanya diam sambil bersandar di tembok.
Di ajak belajar juga tidak mau, bahkan di tawari beli mie ayam juga masih tidak
mau.
"Aku tidak suka ustadz.... " ucap
Alif menyampaikan keberatannya pada Nana. "Aku tidak suka mama menikah...
" larang Alif.
"Kenapa tidak suka? " tanya Nana.
"Tidak suka ya tidak suka!! Aku tidak
tau kenapa! " jawab Alif yang bingung harus memberikan alasan bagaimana
untuk menunjukkan kalau ia tidak setuju. "Kan aku sudah bilang mama tidak
usah menikah, neyel terus! "
sambung Alif yang makin meninggikan nada bicaranya agar tidak terlihat sedih
dan menahan tangis.
"Terus maunya adek apa? Masa mama ga
boleh nikah? Kasian dong mama sendirian terus... " bujuk pak Janto.
"Kan ada aku! Ada bapak... Hiks... Aku
kan sudah bilang aku maunya mama tidak menikah... Aku tidak suka! " jawab
Alif sambil menampik tangan orang-orang yang ingin menyentuhnya.
Pak Janto hanya bisa diam melihat cucunya
yang marah-marah begini, padahal biasanya Alif senang dengan orang baru.
Apalagi Alif juga cukup dekat dengan ustadz Arif yang akan di nikahi Nana ini.
"Adek kok marah-marah siapa yang
ajarin? " tanya pak Janto heran.
"Aku sendiri, pikiranku... "
jawab Alif sambil menyeka air matanya yang mulai jatuh.
Semuanya diam tak bisa bicara atau
mengomentari apapun setelah Alif menjawab. Mungkin Alif selama ini anak baik,
kalem, penurut, tapi kadang orang-orang lupa kalau Alif juga seorang manusia
dan anak-anak yang dibentuk oleh lingkungannya.
"Adek kenapa sih kok nyebelin? "
tanya Nana yang mulai habis kesabaran melihat Alif membantah dan marah-marah atas apa yang sudah
ia putuskan.
"Aku tidak nyebelin aku anak baik!
" jawab Alif jelas tak mau kalah.
"Kamu ini nyebelin! Mama ga pernah
sebenci ini ke kamu! Kenapa sih kamu harus ada? Kapan mama bisa bahagia? Punya
suami sendiri, ga harus bekerja! Capek mama ngurus kamu! Kamu liat mama seneng
apa mati? Kenapa sih kamu ga bisa bikin mama seneng sekali aja seumur hidup
mama... Kenapa sih?! " maki Nana yang benar-benar hilang kendali.
Alif membelalakkan matanya tak menyangka
mamanya akan memarahinya dan membentaknya juga dengan limpahan kesalahan yang
tak jelas apa. Bahkan tanpa sadar Alif sampai menahan nafas agar tidak menangis
hingga usai Nana marah ia masih saja menahan nafasnya hingga tersengal berusaha
menangis.
"Istighfar kamu Na, ga pantas kamu
bilang gitu ke Alif... " ucap pak Janto sambil memeluk Alif dan berusaha
membuatnya merasa lebih baik.
●●●
Zulia menangis dalam diam dikamarnya tak
sampai hati ia kalau harus menceritakan kalau Arif akan menikahi wanita lain. Sesak
sekali rasanya. Bahkan setelah ia merasa menang dari Sarah dalam mendekati
Arif, ternyata ia merasakan hal yang sama juga.
Tak hanya itu ingatannya akan sikap yang di
tunjukkan Arif padanya selama ini hingga ia nyaman benar-benar membuatnya makin
sesak. Menemaninya makan siang, membeli cat, mengurus pajak, pergi ke kampus,
ke perpustakaan, ke pondok. Semuanya benar-benar terasa Indah dan rasa dalam hatinyapun
begitu nyata.
Tulus tanpa maksud lain, nyata senyata air
yang menyegarkan. Jantungnya terus bersebar tiap bertemu Arif, hatinya pun
berbunga-bunga tiap mendapat segala perhatian dari Arif. Tapi itu dulu sebelum
fakta menyedihkan itu muncul.
Mau tidak mau ia harus merelakan Arif
dengan wanita pilihannya. Meskipun seorang pria diperbolehkan memiliki empat
istri, tapi bagi Zulia menjadi madu haram hukumnya. Tak ada satupun wanita yang
mau di madu, bila ia jujur.
Zulia terus merutuki kesalahannya. Bahkan
beberapa minggu lalu ketika Arif mengecup keningnya sudah membuatnya yakin
kalau Arif akan jadi suaminya salah. Nyatanya Arif begitu mudah mendaratkan
kecupan dari bibirnya. Bahkan teringat tadi setelah isya dan masjid sepi Arif
kembali mengecup keningnya sambil meminta maaf sudah mematahkan hatinya.
Ah sial, Arif ini terlalu hangat untuk di
tinggali, tapi terlalu dingin untuk dipadamkan.
"Harusnya aku paham! Harusnya aku
lebih peka! Kenapa jadi gini sih ya Allah!!! " adu Zulia dalam doanya sebelum tidur
pada Allah. [Next]