Bab 14
Nana langsung menerima Alif
dari gendongan ustadz Arif lalu menyerahkan tas belanjanya yang berisi
bungkusan nasi goreng yang ia buat tadi.
"Mas, maaf boleh minta tolong ambilkan
tasnya Alif? Sepertinya hari ini ga sampai selesai dulu... " pinta Nana
yang langsung di turuti ustadz Arif.
Mamanya
Alif kayak ibuku... Batin ustadz Arif yang melihat
Nana berjalan menjauh dari masjid sambil menggendong Alif dan menenteng tas
milik Alif dengan pralonnya yang mencuat.
"Cup... Adek jangan nangis... "
ucap Nana menenangkan Alif. "Katanya mau jagain mama kok baru jatuh sudah
nangis? " goda Nana yang masih berusaha menghibur Alif.
Nana langsung berjalan pulang sementara
ustadz Arif berusaha mengkondisikan TPA lagi, meskipun sesekali tetap
memperhatikan Nana yang terus
berlalu.
●●●
Perasaan ustadz Arif makin merasa tak enak
hati saat membagikan bungkusan makanan yang di bawa Nana. Meskipun ia tau Nana
sendiri juga hanya menjalankan amanah. Ustadz Arif yang lumayan dekat dengan
Alif merasa cukup sedih karena Alif jadi tidak bisa ikut makan bersama
teman-teman yang lain.
Tapi saat akhir membagi ustadz Arif
mendapati kotak bekal makanan yang di bawa Nana. Kotak berwarna biru dengan
tutup berwarna hijau, bekas kemasan makanan siap saji Hokben yang beberapa waktu
lalu di bagikan oleh keluarga muridnya.
Beberapa ibu yang melihat ustadz
mengeluarkan dan membuka bekal yang tertinggal itu langsung saling bisik,
tampak asik apalagi barusan dapat bahan. Tuduhan-tuduhan tak jelas langsung
terhembus dan bersahut-sahutan, bagai berita pandemi yang di komentari
para pembuat cerita konspirasi.
"Nyoba mau ngegoda mas ustadz itu...
Pasti sengaja di bikinin khusus... "
"Kamu kasih uang lebihan ya jeng? "
"Yaudah lain kali gausah pesen sama
mamanya Alif... Kan dah tau kalo dia genit... "
Gunjingan demi gunjingan terus berlanjut
dengan seru di antara para ibu-ibu. Bahkan sesekali mereka menertawakan entah
apa yang mereka bicarakan hingga tertawa. Tapi yang jelas terdengar pembahasan
soal Nana adalah yang paling seru.
Flash
back~
"Kamu ini anak haram! Ibukmu itu cewek
gak bener! Bukannya ngurus kamu malah kelayapan ga jelas! Ya pantes aja bapakmu
mati gak kuat dia ngadepin kamu sama ibukmu! " omel Nenek sambil memandikan
Arif kecil yang pulang penuh lumpur setelah bermain bola di lapangan.
Yani neneknya terus mengguyur badannya
dengan air dingin yang baru di timbanya dari sumur tanpa henti. Tak peduli
seberapa kencang Arif menangis meminta ampun agar tidak di siram terus.
"Ampun... Sudah... Ampun... "
ucap Arif sambil menangis dan mengusap air yang mengenai wajahnya dengan tangan
kecilnya yang sudah keriput karena terlalu lama kena basah dan kedinginan.
Bibir Arif juga sudah membiru karena kedinginan,
tubuhnya juga sudah menggigil. Neneknya kembali menariknya masuk dan
mengeringkan tubuhnya lalu menyuruhnya memakai baju sendiri dan pergi
meninggalkan Arif sambil mengomel, kembali ke aktifitasnya memipili jagung
kering.
"Nek... Aku lapar... " ucap Arif
setelah pakai baju dan menyisir rambut sebisanya.
"Nanti tunggu ibumu balik! Kalo ga
balik ga ada makan buat kamu! " jawabnya ketus.
"Tapi itu ada makan di dapur... "
tunjuk Arif.
"Ibukmu itu ga kasih duit buat makan!
Enak banget kamu mau makan! Kamu ini ngerepotin terus! Kenapa ga kamu aja sih
yang mati? Kenapa harus anakku! " bentak neneknya sambil menunjuk-nunjuk
Arif lalu mencubitnya dan mendorongnya pergi.
Arif hanya menatap neneknya dengan mata
yang berkaca-kaca, perutnya lapar. Tapi yang lebih membuatnya sedih selain
karena tidak boleh makan dan di marahi adalah di maki soal mendiang ayahnya
yang meninggal karena pesawatnya jatuh saat akan berangkat ke Tiongkok menjadi
TKI. Sementara ibunya yang bekerja menjadi biduan terus saja pentas dari satu
tempat ke tempat lain, dari tempat nikahan satu ke yang lain.
Flash
back off~
Ustadz Arif memejamkan matanya erat-erat,
ia hanya diam lalu kembali memasukkan kotak bekal yang ia temukan ke
dalam tas yang Nana tadi.
Ustadz Arif yang melihat sebungkus nasi
goreng jatah Alif hanya bisa menghela nafas. Terbayang bagaimana lahapnya Alif
saat makan tanpa berceceran. Alif tak pernah pula menyisakan/membuang
makanannya.
Kadang saat makanan yang di bagi di rasa
enak dan kemasannya bagus, seperti kardus atau styrofoam Alif pasti tidak memakannya dan langsung menyimpan di
tas. Alif selalu bilang oleh-oleh buat mamanya. Mungkin karena itu pula ustadz
Arif secara tak sengaja menjadikan Alif sebagai murid kesayangannya.
●●●
Setelah adzan maghrib pak Janto sudah mulai
berangkat, tapi kali ini sedikit berbeda dari biasanya. Pak Janto tak menjemput
Alif atau mengajak Alif. Hingga usai salat juga Alif tak datang menyusul.
"Pak Janto... Ini saya titip tas punya
mama Alif... " ucap ustadz Arif yang sudah menunggu dari tadi.
"Oh iya Mas, terimakasih... "
jawab pak Janto menerima lalu berjalan pulang.
Sebenarnya ustadz Arif ingin mengobrol soal
Nana tapi melihat masih banyak jamaah wanita dan suasana yang tidak kondusif,
ia memilih untuk mengurungkan niatnya.
Sepertinya
aku perlu pulang sebentar... Batin ustadz Arif yang
merindukan ibu dan rumahnya.
●●●
Nana mulai sibuk dengan persiapannya ujian
masuk perguruan tinggi. Hingga tak banyak yang bisa ia kerjakan di rumah. Hanya
jualan es dan cilok saja yang masih ia kerjakan sambil sesekali membantu
memotong kain.
Alif masih asik dengan kegiatannya bermain dengan
Doni, mendengarkan dongeng, belajar bergitung bersama Doni yang mulai di
belikan poster berhitung dan hewan-hewan. Sesekali Alif bersama Doni bermain di
rumah Lila tapi selalu di usir tiap ingin ikut menonton video kartun atau masuk
rumah Lila. Alasannya juga tidak jelas baik bagi Alif maupun Doni. Pokoknya
mereka berdua tidak boleh bermain dengan Lila.
Nana juga mulai memikirkan sekolah untuk
anaknya. Dari mencari brosur soal biaya sekolah sampai mencari tempat yang
cocok untuk Alif. Tentu saja Bram dan Yuni membantunya. Bahkan Bram sudah
menawarkan agar Alif sekolah di dekat rumahnya saja.
"Adek mau ikut mama tidak? "
tanya Nana yang bersiap ke bank.
"Mau! " jawab Alif semangat.
"Mau kemana ini Ma?
"Ke bank... Tapi antri adek mau?
" tanya Nana.
Alif langsung diam memikirkan tawaran
mamanya. "Nanti beli es ya tapi... " tawarnya yang langsung membuat
Nana cemberut. "Hihihi bercanda... " ralat Alif yang langsung
mengurungkan niatnya meminta jajan.
Alif tampak rapi dengan kemeja dan celana
jeansnya. Nana juga berpakaian sedikit rapi dari biasanya kali ini. Kali ini
Nana tidak jalan kaki, ia memilih naik angkutan umum karena tempatnya sedikit
lebih jauh.
Sebenarnya Alif tidak suka bepergian dengan
angkutan umum dan berdempetan begini. Tapi karena ia jarang pergi jauh Alif
tetap senang dan tidak rewel, hanya saja ya tetap cerewet.
Setelah Nana mengambil antrian dan mengisi form untuk menabung ia duduk menunggu
antrian bersama Alif. Alif tak secerewet sebelumnya karena fokus menonton acara
Nat Geo yang di putar tanpa suara di bank. Sesekali Alif memanggil Nana sambil
menunjuk yang di tontonnya lalu kembali diam asik menonton.
"Gemes... " ucap seorang ibu muda
sambil mencolek pipi Alif.
Alif langsung menoleh kaget lalu memeluk
mamanya. Sementara Nana hanya tersenyum canggung melihat ibu muda yang gemas
dengan Alif.
●●●
Antrian kali ini benar-benar panjang dan
rasanya lebih lama daripada sebelumnya, Nana sudah deg-degan bila ia telat
membayar biaya untuk tes perguruan tingginya. Tapi beruntung Nana membayarkannya
tepat waktu dan masih sempat menabung juga. Sampai saat ia beranjak bersama
Alif yang di beri air mineral oleh teller
bank. Nana berpapasan dengan Aji yang hendak masuk.
Bugh! Alif tak sengaja menabrak Aji hingga menumpahkan minumannya ke
celana dan sepatu Aji.
"Aw! Maaf ya... " ucap Alif lalu
sedikit mundur dan mengelap sedikit basah di celana dan sepatu Aji.
[Next]