0
Home  ›  Chapter  ›  My Baby Need A Daddy

Bab 24

 

Bab 24-1

Sepulangnya Aji di rumah ia langsung di sambut Eyang lalu di susul papanya yang menunggu di meja makan. Suasana tidak setegang dan sedingin sebelumnya. Sangat hangat bahkan saat Aji masih akur dengan Wulan saja tak pernah seakur ini. Hidangan makan malam juga serba boga bahari, kesukaan Aji. Kerang, kepiting, udang, cumi tersaji berlimpah.

"Ini hari yang berat, pasti kamu perlu banyak tenaga buat ngadepin orang gak bener kayak Wulan... " ucap Eyang sambil mengambilkan nasi dan lauk untuk Aji yang duduk sambil menatap mamanya yang tampak masih sibuk menghidangkan ini itu. "Makan yang banyak le... Hari ini sengaja masak banyak biar kamu seneng... " sambung Eyang.

Siwi hanya mengangguk menyetujui ucapan Eyang, lalu kembali ke dapur untuk membuatkan kentang goreng dan jus permintaan Alice yang tak mau turun. Ia hanya fokus belajar dan belajar, mau masuk UI targetnya.

"Makan, ga usah mikir berat soal Wulan... Biar nanti papa bantu..." ucap Broto dengan baik seperti tak terjadi masalah sebelumnya.

Aji hanya mengangguk lalu mulai makan. Aji berusaha terlihat lahap dan menikmati makanannya, meskipun ia masih kepikiran soal Nana dan Alif. Apa lagi sejak Wulan menyebut-nyebut dan menyangkut pautkan masalah perselingkuhannya dengan Nana.

"Besok aku mau refreshing... Aku mau jalan-jalan... " ucap Aji setelah menyantap makanannya.

"Oh iya! Gapapa... Nanti biar papa yang urus semuanya... Maaf ya dulu papa maksa kamu buat nikah sama orang kayak Wulan... Papa kira dia ini sudah jadi yang terbaik... Ck! Ga taunya malah gini... Papa minta maaf ya... " ucap Broto dengan lembut sambil sesekali menunduk.

"Tidak masalah Pa... Semua orang punya kesalahan... " jawab Aji maklum.

"Untung belum punya anak... " sambung Eyang yang kembali mengambilkan kepiting untuk Aji.

Aji hanya tersenyum getir sambil mengangguk. Gambaran Nana dan Alif kembali terpatri di ingatannya. Ingatan saat ia mengusir Nana dan menolak kehamilannya. Menolak darah dagingnya sendiri, menuduhnya hasil dari orang lain, mengatai wanita yang sudah di gauli dan di rusaknya itu sebagai pelacur. Aji tertawa sumbang teringat betapa bodohnya ia waktu itu.

Siwi menatap putranya dengan sedih. Tiap kali membahas anak, cucu atau keturunan tetap saja Siwi teringat pada Nana. Teringat bagaimana Aji mengusir Nana dan keluarganya waktu itu. Kalau saja ia lebih tegas dan kuat untuk memberontak waktu itu, mungkin tidak akan begini ceritanya.

Baca juga 29. Vol. 3 : Chapter 12

"Aku udah makannya, mau ke kamar. Mandi, istirahat... " ucap Aji menyudahi makannya sambil mengelap tangan dan berjalan ke kamar.

Flash back~

Aji terus murung dan membatasi diri. Banyak yang tak bisa di jelaskan pada Nana atau keluarganya yang benar-benar rakyat biasa itu. Bram juga hanya polantas biasa, jabatannya juga tak kunjung berganti, tidak naik, stag di situ-situ saja. Tidak ikut pendidikan atau berkawan dengan para politikus, minimal organisatoris lah. Ya hanya polisi saja. Mentok-mentok di undang SD-nya dulu untuk memberi penyuluhan pada para siswa-siswi soal keselamatan berkendara atau jadi pembina pramuka, latihan baris berbaris.

Tak ada orang yang tepat untuk membicarakan soal masalahnya. Aji tak mau lari, tak juga mau selak. Tapi kalau ia kekeh pada Nana hidupnya bisa hancur. Kalau hanya ia mungkin Aji bisa tahan, tapi bagaimana dengan keluarga Nana? Apa mungkin Aji setega itu menyengsarakan semuanya? Belum lagi mamanya yang akan terus di hajar dan di perlakukan lebih buruk lagi.

Hanya kabur, lalu menolak Nana dan mengusirnya kala itu sebagai pilihan paling tepat bagi Aji. Semua aman, semua nyaman, semua tenang. Nana dengan keluarganya, Siwi aman dari kekerasan yang di alaminya, dan Aji? Tentu saja menikahi wanita pilihan keluarganya.

Wulan, yang berpendidikan dan begitu ambisius juga posesif. Aji merasa begitu berdosa pada Wulan, terutama Nana. Tapi Aji kembali berusaha mencari celah untuk tetap menafkahi Nana dan anaknya. Meskipun dalam tekanan dan pengawasan sana-sini. Sampai akhirnya nomor ponsel Nana yang selalu mengiriminya pesan tak pernah aktif.

Tak satupun pesan di kirim lagi, tak satupun ada panggilan masuk dari Nana. Hanya pesan terakhir yang terdengar begitu putus asa darinya. Satu pesan terakhir sebelum Nana hilang bersama bapaknya.

...cintaku seperti kencing di jalan, kau buru-buru keluar. Lepaskan semua yang sudah di tahan, lalu pergi setelah puas tanpa mau mengingatku lagi...

Tak ada kabar. Bahkan saat Aji berusaha menanyakan soal aktivitas di atm Nana di bantu ajudan Wulan kala itu juga tak membuahkan hasil. Tak ada pergerakan aktivitas perbankan di rekeningnya. Nananya hilang, hilang bersama anak yang di mintanya untuk mati.

Tiap gadis muda selalu Aji harap itu Nana. Tiap ibu hamil di bayangkannya itu Nana. Tiap bayi, balita, bocah di bayangkan sebagai anaknya. Sampai Aji memilih salah satu panti asuhan dekat rumah om Bram sebagai donatur disana. Berharap kalau Nana meneruskan kehamilannya waktu itu dan membuang bayinya kesana.

Baca juga 28. Vol.3 : Chapter 11

Betapa teganya...

●●●

Tak banyak yang bisa Aji lakukan. Hanya berusaha membahagiakan Wulan berharap dengan begitu perasaan bersalahnya terobati. Ibarat tebus dosa. Apalagi mamanya juga sudah tidak di siksa lagi. Sudah di perlakukan dengan baik seperti biasa.

Meskipun tetap saja sekeras apapun usaha yang ia coba untuk menghilangkan rasa bersalahnya, sepertinya sia-sia. Apalagi Aji dan Wulan tak kunjung di percaya untuk memiliki momongan membuat Aji makin berfikir kalau ini karma.

Wulan yang makin sibuk dengan karir politiknya juga sudah memintanya untuk tidak usah ikut terjun ke dunia politik. Bukan hanya karena tak mau Aji capek dan membuat kualitas spermanya memburuk, tapi juga menghindari adanya rumor dinasti politik. Jelas isu itu akan menghancurkan apa yang sudah di bangun Wulan, jelas akan menghambat langkahnya.

Padahal Wulan sendiri juga tau kalau soal pembuahan bukan hanya pada sperma atau tugas laki-laki saja, tapi juga tugasnya sebagai perempuan juga penting dan memiliki andil yang tak kalah besarnya. Tapi tetap saja Wulan tak mau mengurangi aktivitasnya, bahkan hasil pemeriksaan pun harus kucing-kucingan dengan Aji agar tidak di lihat.

Flashback end ~

Siwi mengetuk pintu kamar Aji usai makan malam. Perasaannya tak jenak melihat sikap putranya tadi saat makan malam bersama. Apalagi keluarganya langsung tutup mata seolah tidak ada Nana dan anaknya. Semua menganggapnya bagai debu di atas batu akik, tak penting tak perlu di bahas, tak perlu di perhatikan.

"Mama boleh masuk? " tanya Siwi setelah mengetuk pintu.

Aji membukakan pintu untuk mamanya lalu kembali duduk di tempat tidurnya.

"Udah salat? " tanya Siwi lembut yang tak di jawab Aji. "Kamu kepikiran Nana? " tanya Siwi lagi yang kali ini di jawab dengan anggukan pelan oleh Aji.

"Wulan itu gila Ma, Mama kan tau sendiri gimana dia. Gimana keluarganya, aku khawatir sama anakku, sama Nana juga... Sama bapaknya, keluarganya... " ucap Aji pelan sambil berusaha menahan tangisnya.

Siwi hanya mengangguk dengan lesu, Siwi jelas sedih melihat putranya sedih begini. Pikiran Siwi juga jadi kacau. Ia kembali mempertimbangkan kembali pikirannya untuk bertahan, terlebih saat ia melihat bekas luka di kaki kiri Aji. Teringat jelas di benak Siwi saat nilai rapot Aji anjlok saat SD karena sakit dan Broto tetap memarahinya dan mencambuk kaki kecilnya kala itu hingga luka tak hanya dengan gesper, tapi ia juga mencambuknya dengan pecut yang di belinya oleh-oleh dari Jogja.

Mau berapa lama lagi aku liat anak-anak ku disakiti? Mau sampai kapan aku lihat anakku tertekan? Batin Siwi lalu memeluk Aji yang akhirnya menumpahkan air matanya. [Next]

Bab 24-2


64
Posting Komentar
Search
Menu
Theme
Share