Bab 24
Sepulangnya Aji di rumah ia
langsung di sambut Eyang lalu di susul papanya yang menunggu di meja makan. Suasana
tidak setegang dan sedingin sebelumnya. Sangat hangat bahkan saat Aji masih
akur dengan Wulan saja tak pernah seakur ini. Hidangan makan malam juga serba
boga bahari, kesukaan Aji. Kerang, kepiting, udang, cumi tersaji berlimpah.
"Ini hari yang berat, pasti kamu perlu
banyak tenaga buat ngadepin orang gak bener kayak Wulan... " ucap Eyang sambil
mengambilkan nasi dan lauk untuk Aji yang duduk sambil menatap mamanya yang
tampak masih sibuk menghidangkan ini itu. "Makan yang banyak le... Hari
ini sengaja masak banyak biar kamu seneng... " sambung Eyang.
Siwi hanya mengangguk menyetujui ucapan Eyang, lalu
kembali ke dapur untuk membuatkan kentang goreng dan jus permintaan Alice yang
tak mau turun. Ia hanya fokus belajar dan belajar, mau masuk UI targetnya.
"Makan, ga usah mikir berat soal
Wulan... Biar nanti papa bantu..." ucap Broto dengan baik seperti tak
terjadi masalah sebelumnya.
Aji hanya mengangguk lalu mulai makan. Aji
berusaha terlihat lahap dan menikmati makanannya, meskipun ia masih kepikiran
soal Nana dan Alif. Apa lagi sejak Wulan menyebut-nyebut dan menyangkut pautkan
masalah perselingkuhannya dengan Nana.
"Besok aku mau refreshing... Aku mau jalan-jalan... " ucap Aji setelah
menyantap makanannya.
"Oh iya! Gapapa... Nanti biar papa
yang urus semuanya... Maaf ya dulu papa maksa kamu buat nikah sama orang kayak
Wulan... Papa kira dia ini sudah jadi yang terbaik... Ck! Ga taunya malah
gini... Papa minta maaf ya... " ucap Broto dengan lembut sambil sesekali
menunduk.
"Tidak masalah Pa... Semua orang punya
kesalahan... " jawab Aji maklum.
"Untung belum punya anak... "
sambung Eyang yang kembali mengambilkan kepiting untuk Aji.
Aji hanya tersenyum getir sambil
mengangguk. Gambaran Nana dan Alif kembali terpatri di ingatannya. Ingatan saat
ia mengusir Nana dan menolak kehamilannya. Menolak darah dagingnya sendiri,
menuduhnya hasil dari orang lain, mengatai wanita yang sudah di gauli dan di
rusaknya itu sebagai pelacur. Aji tertawa sumbang teringat betapa bodohnya ia
waktu itu.
Siwi menatap putranya dengan sedih. Tiap
kali membahas anak, cucu atau keturunan tetap saja Siwi teringat pada Nana.
Teringat bagaimana Aji mengusir Nana dan keluarganya waktu itu. Kalau saja ia
lebih tegas dan kuat untuk memberontak waktu itu, mungkin tidak akan begini
ceritanya.
"Aku udah makannya, mau ke kamar.
Mandi, istirahat... " ucap Aji menyudahi makannya sambil mengelap tangan
dan berjalan ke kamar.
Flash
back~
Aji terus murung dan membatasi diri. Banyak
yang tak bisa di jelaskan pada Nana atau keluarganya yang benar-benar rakyat
biasa itu. Bram juga hanya polantas biasa, jabatannya juga tak kunjung berganti,
tidak naik, stag di situ-situ saja. Tidak ikut pendidikan atau berkawan dengan
para politikus, minimal organisatoris lah. Ya hanya polisi saja. Mentok-mentok
di undang SD-nya dulu untuk memberi penyuluhan pada para siswa-siswi soal
keselamatan berkendara atau jadi pembina pramuka, latihan baris berbaris.
Tak ada orang yang tepat untuk membicarakan
soal masalahnya. Aji tak mau lari, tak juga mau selak. Tapi kalau ia kekeh pada
Nana hidupnya bisa hancur. Kalau hanya ia mungkin Aji bisa tahan, tapi bagaimana
dengan keluarga Nana? Apa mungkin Aji setega itu menyengsarakan semuanya? Belum
lagi mamanya yang akan terus di hajar dan di perlakukan lebih buruk lagi.
Hanya kabur, lalu menolak Nana dan
mengusirnya kala itu sebagai pilihan paling tepat bagi Aji. Semua aman, semua
nyaman, semua tenang. Nana dengan keluarganya, Siwi aman dari kekerasan yang di
alaminya, dan Aji? Tentu saja menikahi wanita pilihan keluarganya.
Wulan, yang berpendidikan dan begitu
ambisius juga posesif. Aji merasa begitu berdosa pada Wulan, terutama Nana.
Tapi Aji kembali berusaha mencari celah untuk tetap menafkahi Nana dan anaknya.
Meskipun dalam tekanan dan pengawasan sana-sini. Sampai akhirnya nomor ponsel
Nana yang selalu mengiriminya pesan tak pernah aktif.
Tak satupun pesan di kirim lagi, tak
satupun ada panggilan masuk dari Nana. Hanya pesan terakhir yang terdengar begitu putus asa
darinya. Satu pesan terakhir sebelum Nana hilang bersama bapaknya.
“...cintaku seperti
kencing di jalan, kau buru-buru keluar. Lepaskan semua yang sudah di tahan,
lalu pergi setelah puas tanpa mau mengingatku lagi...”
Tak ada kabar. Bahkan saat Aji berusaha
menanyakan soal aktivitas di atm Nana di bantu ajudan Wulan kala itu juga tak
membuahkan hasil. Tak ada pergerakan aktivitas perbankan di rekeningnya.
Nananya hilang, hilang bersama anak yang di mintanya untuk mati.
Tiap gadis muda selalu Aji harap itu Nana.
Tiap ibu hamil di bayangkannya itu Nana. Tiap bayi, balita, bocah di bayangkan
sebagai anaknya. Sampai Aji memilih salah satu panti asuhan dekat rumah om Bram
sebagai donatur disana. Berharap kalau Nana meneruskan kehamilannya waktu itu
dan membuang bayinya kesana.
Betapa teganya...
●●●
Tak banyak yang bisa Aji lakukan. Hanya
berusaha membahagiakan Wulan berharap dengan begitu perasaan bersalahnya
terobati. Ibarat tebus dosa. Apalagi mamanya juga sudah tidak di siksa lagi.
Sudah di perlakukan dengan baik seperti biasa.
Meskipun tetap saja sekeras apapun usaha
yang ia coba untuk menghilangkan rasa bersalahnya, sepertinya sia-sia. Apalagi
Aji dan Wulan tak kunjung di percaya untuk memiliki momongan membuat Aji makin
berfikir kalau ini karma.
Wulan yang makin sibuk dengan karir
politiknya juga sudah memintanya untuk tidak usah ikut terjun ke dunia politik.
Bukan hanya karena tak mau Aji capek dan membuat kualitas spermanya memburuk,
tapi juga menghindari adanya rumor dinasti politik. Jelas isu itu akan
menghancurkan apa yang sudah di bangun Wulan, jelas akan menghambat langkahnya.
Padahal Wulan sendiri juga tau kalau soal
pembuahan bukan hanya pada sperma atau tugas laki-laki saja, tapi juga tugasnya
sebagai perempuan juga penting dan memiliki andil yang tak kalah besarnya. Tapi
tetap saja Wulan tak mau mengurangi aktivitasnya, bahkan hasil pemeriksaan pun
harus kucing-kucingan dengan Aji agar tidak di lihat.
Flashback end ~
Siwi mengetuk pintu kamar Aji usai makan
malam. Perasaannya tak jenak melihat sikap putranya tadi saat makan malam
bersama. Apalagi keluarganya langsung tutup mata seolah tidak ada Nana dan
anaknya. Semua menganggapnya bagai debu di atas batu akik, tak penting tak
perlu di bahas, tak perlu di perhatikan.
"Mama boleh masuk? " tanya Siwi
setelah mengetuk pintu.
Aji membukakan pintu untuk mamanya lalu
kembali duduk di tempat tidurnya.
"Udah salat? " tanya Siwi
lembut yang tak di jawab Aji. "Kamu kepikiran Nana? " tanya Siwi lagi
yang kali ini di jawab dengan anggukan pelan oleh Aji.
"Wulan itu gila Ma, Mama kan tau
sendiri gimana dia. Gimana keluarganya, aku khawatir sama anakku, sama Nana
juga... Sama bapaknya, keluarganya... " ucap Aji pelan sambil berusaha
menahan tangisnya.
Siwi hanya mengangguk dengan lesu, Siwi
jelas sedih melihat putranya sedih begini. Pikiran Siwi juga jadi kacau. Ia
kembali mempertimbangkan kembali pikirannya untuk bertahan, terlebih saat ia
melihat bekas luka di kaki kiri Aji. Teringat jelas di benak Siwi saat nilai
rapot Aji anjlok saat SD karena sakit dan Broto tetap memarahinya dan mencambuk
kaki kecilnya kala itu hingga luka tak hanya dengan gesper, tapi ia juga
mencambuknya dengan pecut yang di belinya oleh-oleh dari Jogja.
Mau
berapa lama lagi aku liat anak-anak ku disakiti? Mau sampai kapan aku lihat
anakku tertekan? Batin Siwi lalu memeluk Aji yang
akhirnya menumpahkan air matanya. [Next]