Bab 11
Pagi-pagi sekali Nana sudah membawa roti goreng dan kue bolu buatannya ke tukang sayur untuk menitipkan dagangan. Nana juga sudah mulai menyiapkan dagangan cilok dan esnya di depan rumah. Setelah membangunkan Alif dan menyuapinya sarapan dengan sayur bayam buatannya, Nana kembali duduk membacakan buku sambil merendam cucian. Pak Janto juga sudah mulai menjahit dan memotong kain.
"Ma aku mau main dulu ya... "
pamit Alif sebelum pergi ke rumah temannya.
"Jangan main lama-lama ya... "
ucap Nana sambil masih mengurusi rumah.
"Oke..." jawab Alif lalu
melangkah pergi dengan riang.
Tidak ada apa pun yang di bawa Alif saat
pergi main. Tidak mainan, tidak juga uang meskipun hanya koin seribu atau lima
ratusan. Sandalnya juga hanya sandal jepit biasa, pakaiannya kekecilan karena
di beli sejak dia umur satu tahun dan masih saja di pakai. Hanya satu tempat
tujuan Alif bermain, yaitu ke rumah Doni.
Kondisi ekonomi keluarga Doni tak jauh beda
dengan keluarga Alif. Hanya saja Doni memiliki ayah dan ibu juga kakak
laki-laki yang sudah masuk SMP. Ibunya kerja sebagai buruh pabrik karak,
sementara ayahnya hanya buruh harian itupun serabutan. Hanya keluarga Doni yang
bisa dan tak masalah bila Alif main kesana.
Ada TV dan mainan milik Doni yang boleh di
mainkan Alif. Sayang Doni bukan seorang muslim jadi tidak bisa menemani Alif
TPA. Hampir tiap hari Alif main ke rumah Doni hanya untuk menonton TV, entah
apa yang di tonton Alif ikut saja tidak berkomentar. Kalaupun berkomentar ingin
menonton kartun juga tak bisa frontal.
"Kayaknya
nonton Tom Jerry bagus... " kira-kira seperti
itu cara Alif bila meminta di putarkan kartun di rumah Doni.
Atau saat meminta apa yang di makan Doni,
Alif akan menemukan dan membuat kalimatnya sendiri. "Doni aku mau coba dong dikit saja, aku belum pernah rasakan...
" seperti itu kurang lebihnya.
Beruntung Doni tidak pelit dan
senang-senang saja membagi secuil makanannya dengan Alif. Doni juga kerap
bermain ke rumah Alif sambil membawa mainannya yang sudah rusak tapi tetap saja
ia mainkan bersama Alif. Doni juga senang saat mendengar cerita yang di bacakan
Nana dan selalu berterimakasih bila Nana memberikan sebutir cilok untuknya juga
Alif.
"Alif papanya siapa sih? " tanya
Lila yang saat itu ikut bermain bersama di rumah Doni.
Alif hanya diam, seumur-umur baru ini dia
dengar ada yang menanyakan siapa papanya.
"Papanya Alif kan lagi jahit di
rumah... " saut Doni lalu meletakkan mainannya.
"Bukan! Kata bundaku itu bukan papanya Alif itu embahnya... " salak Lila tak setuju
dengan ucapan Doni.
Doni dan Alif hanya saling pandang, tak
selang lama Alif meletakkan mainannya. "Aku tanya mamaku dulu ya... "
ucap Alif.
"Tanya apa? " tanya Lila.
"Tanya papaku gitu loh... " jawab
Alif lalu memakai sandalnya dan berjalan pulang.
"Gara-gara kamu sih! Alif jadi
pulangkan!" kesal Doni pada Lila lalu cemberut dan langsung tak minat
bermain.
"Kan aku cuma tanya... Kata bundaku
kalo ga tau harus tanya... " ucap Lila membela diri.
●●●
Sepanjang jalan pulang Alif memikirkan
terus pertanyaan Lila. Apa benar yang selama ini ia panggil bapak bukan
papanya? Apa selama ini ia benar-benar tidak punya papa? Itu terus yang
terbersit di pikiran Alif.
"Iya Bu insyaallah bisa jadi nanti sore... Nasi goreng sama telur aja kan?
" tanya Nana memastikan pesanan dari tetangganya.
"Iya Mbak, dua lima bungkus
ya... Buat bagi-bagi di TPA nanti... " jawabnya.
Alif langsung berlari menghampiri mamanya
yang tengah berbincang di depan rumah lalu memeluk dengan erat.
"Kok mainnya cepet? Doni ga ada?
" tanya Nana lalu menggandeng Alif masuk.
"Ma aku punya papa tidak sih? "
tanya Alif sambil berjalan masuk.
●●●
"Udah mau tiga taun loh kita berusaha
punya anak... Eyang dah makin tua, sakit-sakitan juga sekarang. Mau di tunda
sampe kapan? " tanya Aji cukup ketus pada Wulan.
"Kan kita lagi usaha Mas, lagian aku
loh baru sembuh... " ucap Wulan berusaha menahan diri agar lebih sabar
pada Aji yang makin ketus padanya. "Dulu juga Mas bilang ga bakal
nuntut... " lirih Wulan lalu menatap keluar jendela.
"Kamu ini kok bisa bermasalah sama
rahim segitu parahnya sih? Kalo sampe taun ini ga punya anak aku dah ga tahan
lagi sama kamu... " ucap Aji lalu memarkirkan mobilnya di pasar.
"Aku bisa kasih anak, mungkin kamunya
aja yang mandul! " kesal Wulan lalu turun untuk berbelanja.
Di pikir-pikir kembali Wulan memang sakit
hati dengan ancaman Aji untuk meninggalkannya, tapi di sisi lain ia juga yang
salah. Buat apa dia sampai masuk pergaulan bebas hingga kumpul kebo dengan Charles,
mantan bulenya. Mungkin kalau ia tetap yakin dan mau bersama Charles, minimal
sampai melahirkan ia tak akan seperti ini. Tak mungkin ia jadi sulit punya anak
sampai rahimnya bermasalah.
"Aku kok mandul... " gumam Aji
menertawai Wulan yang berjalan masuk pasar sendirian.
Wulan terus berjalan masuk lalu berhenti di
salah satu kios sayur. Tampak seorang anak kecil yang diam sambil memegangi
kaos ibunya dari tadi. Mata kecilnya melihat kesana kemari, terlihat begitu
menahan diri untuk minta beli permen atau mainan.
Pelan-pelan Wulan mendekatinya lalu
mencolek pipinya dengan gemas. Anak itu langsung menyembunyikan wajahnya di
balik tubuh ibunya. "Hihi pemalu ya... " ucap Wulan sambil tersenyum
ramah.
Si ibu hanya tersenyum meliat Wulan.
"Adek pengen jajan apa? Ambil satu aja ya... " ucap si ibu yang
akhirnya membolehkan anaknya untuk jajan.
"Adek atau anaknya mbak? " tanya
Wulan.
"Anak... " jawabnya lalu mencium
si anak.
"Masih muda dah punya anak ya... Nikah
muda? " tanya Wulan yang hanya di jawab dengan senyuman.
"Aku mau jajan dua Ma... " bisik
anak itu yang di jawab dengan gelengan oleh ibunya.
"Kamu mau apa? Ambil tante yang
bayar... " ucap Wulan yang hanya mendapat tatapan dari si anak dan ibunya.
"Tidak usah... " tolak si ibu.
"Adek ambil satu... Kalo ga kita nanti jajan es aja gimana? " tawar
si ibu yang di angguki putra kecilnya.
"Adek namanya siapa? " tanya
Wulan.
"Alif..." jawabnya lalu kembali
bersembunyi malu-malu kucing tapi tetap mengulurkan tangannya. Karena sadar
wanita yang mengajaknya berkenalan tak menjabat tangannya,Alif kembali menatapnya.
"Ei kalo kenalan itu harus salim dong..." ucap Alif mengingatkan yang
malah mengundang tawa.
Bocah
gemesin amat... Coba anakku kayak gitu... Batin
Wulan sambil menjabat tangan kecil Alif.
"Ayo pulang... Duluan mbak... "
pamit si ibu lalu berjalan keluar bersama putra kecilnya yang baru saja
berkenalan.
Dengan tas belanjaan yang penuh dengan
sayur dan bahan-bahan masak, si ibu yang belum sempat berkenalan dengan Wulan
tadi berjalan keluar sambil menggandeng anaknya dan tampak begitu sangat
melindunginya.
Pasti
suaminya sayang sekali... Orang penyayang pasti banyak yang sayang... Batin Wulan yang memperhatikan Alif yang terus berjalan sambil bercerita
atau bertanya pada ibunya dengan ceria.
●●●
Aji duduk mengantri membeli dawet tanpa
menyadari kehadiran Nana dan Alif. Begitupun Nana dan Alif yang tidak begitu
peduli dengan pengunjung pasar lainnya.
"Es dawetnya komplit... " ucap
Alif memesan.
"Satu aja... " ucap Nana
menyambung ucapan Alif.
Aji yang merasa tak asing dengan suara Nana
dan gemas dengan suara Alif barusan, langsung tercengang. Tak menyangka dapat
bertemu Nana dan Alif di pasar seperti ini.
"Nana... " panggil Aji lirih.
Nana hanya menoleh lalu membelalakkan
matanya saat bertemu Aji. Ia begitu terkejut, kesal, marah, kecewa, sedih,
rindu jadi satu. Matanya langsung berkaca-kaca. Ingin rasanya ia lari kalau
saja belum memesan.
"Na... " panggil Aji lagi.
Sungguh Aji begitu rindu tapi ia juga begitu malu dan tak berani mengakuinya.
[Next]