Setelah berkeliling swalayan dan memilih susu ibu hamil untuk Nana dan beberap buah, Aji segera membayar dan mengirimnya ke kontrakannya dulu.
Aku bahagia bentar lagi jadi ayah... tapi aku belum
siap. Maaf ya Na... Sesal Aji dalam hati saat
meletakkan belanjaannya di teras depan.
Aji langsung pergi setelah meninggalkan
belanjaannya. Beberapa kali ia melihat Nana yang mengirim pesan dan menelfonnya
tanpa ada niatan untuk membalas. Bahkan Aji sampai memilih ganti hp dan nomor
baru untuk menghindari Nana.
Meskipun dalam hatinya ia merasa bersalah,
tapi Aji tetap tidak siap untuk menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab. Apa
lagi keluarganya sangat tidak setuju bila ia menikah dengan Nana. Jangankan
menikah berpacaran saja sudah banyak rintangan.
"Aku pulang..." ucap Aji saat memasuki
ruang tamu rumah orang tuanya.
"Loh tumben pulang..." sambut
eyang Tini menyambut Aji. "Gimana le
lancar kerjaanmu?" sambung Eyang sambil mencium pipi cucunya.
"Lancar Eyang..." jawab Aji
singkat.
"Gimana pacarmu kemarin? Masih
lanjut?" tanya Eyang kepo pada hubungan asmara cucunya .
Aji hanya diam bingung mau menjawab apa.
Belum ada kata putus di antara ia dan Nana. Selain itu ia masih mencintai Nana.
"Inget ya, Eyang ga suka. Ga Eyang restui. Kamu
ini anak nomer tiga le... Pacarmu itu anak sulung to? Ga cocok sama
kamu... Nanti jadi jilu[1], tiga belas... Ga Bagus... Ga bisa di kasih anak... Bikin sial...
" ucap Eyang yang jelas paling menentang hubungan Aji dan Nana sampai orang
tuanya ikut tak setuju.
Aji hanya tersenyum miris. Bahkan kalau
tidak karena Nana dan support darinya tak mungkin ia bisa membeli mobil
dan berpendapatan terjaga seperti sekarang. Tanpa Nana ia hanya guru bimbel,
tak mungkin ia berani mendaftar di kantor besar sekelas perusahaan BUMN. Tak
bisa punya anak katanya, lalu bayi di kandungan Nana? Bukankah menjawab
semuanya.
●●●
"Mas Aji..." gumam Nana saat
membuka belanjaan yang Aji tinggalkan di teras.
Air matanya kembali mengalir deras. Ia tau
Aji tak mungkin serius mengharapkannya menggugurkan kandungannya. Ia makin
yakin kalau Aji masih memikirkannya.
Tangannya perlahan kembali meraba perutnya.
"Kamu harus sehat... kamu harus lahir sehat... kita harus kuat... " ucap Nana sambil
menangis.
Nana kembali mengirim pesan pada Aji.
Banyak pesan dari yang panjang sampai yang singkat. Tak satupun yang di balas,
jangankan di balas bahkan tak satupun pesan di baca.
●●●
Aji membaca tiap pesan yang masuk. Hanya
saja memang ia sengaja mematikan tanda di baca dan online di whatsappnya.
Kepalanya bingung mencari cara agar bisa bertanggungjawab. Meskipun diakuinya
ini terlalu cepat, tapi ini bahkan jauh lebih cepat bagi Nana.
Terbayang bagaimana wajah sedih Nana yang
awalnya senang jadi kecewa waktu itu. Aji terlalu egois. Bahkan ia sampai
mengatakan apa yang seharusnya tak perlu ia katakan pada Nana. Toh jelas dan
sangat jelas sekali yang di perut Nana itu adalah buah cintanya.
"Sabar Na... Aku butuh waktu..."
gumam Aji menatap pesan demi pesan yang di kirim Nana.
Ah mungkin bila kita menikah lebih awal
sekarang aku masih tidur sambil memelukmu Na...
Batin Aji sambil menatap foto Nana yang siap berangkat sekolah dengan
seragamnya yang rapi lengkap dengan krudung coklat dan topi pramuka di
kepalanya.
"Maafkan aku yang terlalu pengecut ini
Na... Maaf aku hanya bisa mengencingimu... " gumam Aji menyesal.
●●●
"Baiklah karena ini kesalahanku...
Biar ini semua ku tanggung sendiri... " ucap Nana mantap meskipun ia tak
yakin.
Hampir tiap waktu teringat bagaimana
nyamannya saat bersama Aji. Dari bangun tidur hingga waktu tidur tiba. Melewati
tiap waktu bersama, susah senang bersama. Dari Aji yang hanya naik motor Honda Beat hingga
beralih ke Honda Jazz.
Tapi Nana masih berusaha mensyukuri kondisinya. Karena paling tidak ia tidak mengalami morning sickness. Atau setidaknya kondisi itu belum datang. [Next]
[1] Siji Telu, satu
tiga. Membentuk angka 13 yang di anggap angka sial dalam sebagian penganut
budaya Jawa.
0 comments