Nana dan keluarganya hanya
bisa pulang dengan hampa. Harga dirinya makin tercabik dan terinjak-injak lebih
dalam lagi. Ia benar-benar di pandang sebagai wanita murahan dan pembohong.
Bahkan setelah semuanya. Setelah apa yang ia lalui, setelah janji-janji manis
Aji yang terucap tiap hari.
Tak selembarpun uang yang di berikan eyang
Tini di ambil oleh Nana ataupun keluarganya. Perlakuan Aji benar-benar kelewat
kurang ajar di tambah caranya mengelak dan keluarganya yang begitu sombong
membuatnya tak sudi menerima apapun darinya lagi.
Mau mengambil uang itu sama saja mengakui
dirinya sebagai wanita murahan bagi Nana. Nana paham dia sudah tak suci lagi,
bisa di bilang ia juga wanita yang rusak. Tapi ia rusak sampai kalap juga bukan
kemauannya sendiri. Aji memiliki pengaruh besar di baliknya. Mulai mengajaknya untuk
kontrak rumah dan tinggal bersama, lalu berkenalan dan menjemputnya ke rumah
dengan dalih ingin tinggal di asrama.
Aji yang mengajaknya memulai semua kegilaan
ini. Aji juga yang mulai minta untuk berkenalan dengan orang tua Nana begitu
pula dengan om dan tantenya. Siapa sangka Aji bisa jadi sesembrono ini dan
mencampakan Nana di tambah fitnah dan tuduhan-tuduhan keji yang menyertainya.
●●●
"Ya ampun Na! Kamu ketinggalan banyak
pelajaran, kemarin kemana aja sih?" tanya Kiki yang menyambutnya begitu
masuk kelas.
"Ah itu aku sakit, selain itu
kontrakanku sudah habis, jadi aku sibuk mengurus pindahan..." jawab Nana
lalu duduk di bangkunya.
Nana hanya bisa berkelit dan beralasan. Toh
sebentar lagi ia ujian. Ia hanya perlu sedikit lagi bersabar minimal sampai ia
dapat ijazah. Hanya itu, masalah nanti mau bagaimana urusan belakangan yang
penting ia punya ijazah dulu.
Nana melalui semuanya semampu dan
sebisanya. Pak Janto juga terus berusaha menguatkan dirinya dan menerima
keadaan. Mempunyai cucu tanpa mempunyai menantu. Bram dan Yuni juga ikut
mengusahakan kehidupan layak untuk Nana dan anaknya nanti.
Sempat terlintas di kepala Yuni untuk
mengasuh anak Nana nantinya sebagai anak adopsinya. Tapi baru ia berangan-angan
pada suaminya sudah langsung di tolak. Bukan karena Bram tidak mau mempunyai
anak adobsi atau benci pada bayinya Nana, tapi ia merasa sebaiknya biar Nana
yang mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri. Ini sebagai pembelajaran
untuk semua.
Terdengar tega memang. Tapi Nana sendiri
waktu mendengar ide Yuni juga menolak. Bukan tak mau di bantu. Tapi Nana merasa
tak enak hati bila orang lain harus menanggung hasil dari dosanya nanti. Toh ia
tetap ingin bertanggungjawab atas anaknya nantinya. Ia sudah bertekad untuk
melanjutkan kehamilannya juga termasuk membesarkan dan mendidik nantinya.
Aji sendiri masih menyempatkan diri untuk
memantau Nana, tapi sayangnya ia tak berani lebih jauh lagi dan meneruskannya
saat melihat Nana sudah pindah kembali ke rumah orang tuanya. Ingin rasanya Aji
meminta maaf pada Nana dan menanyakan kondisinya juga bayinya. Tapi ia terlalu
takut untuk datang dan bertemu Nana secara langsung.
Acara perpisahan waktu itu pula Nana masih
meraih nilai UN terbaik di sekolahnya, juga di dapuk untuk membacakan sambutan.
Nana berusaha sebaik mungkin menunjukkan prestasinya di depan bapaknya yang
datang waktu itu. Berulang-ulang Nana menyampaikan untuk menjauhi narkoba dan
pergaulan bebas, juga untuk selalu mengisi waktu dengan kegiatan positif
meskipun ia terdengar sangat munafik di depan.
Sedih dan malu juga merasa penuh tipu-tipu
dan dosa di rasakan Nana. Begitu banyak pil pahit yang akan Nana telan mulai
sekarang.
●●●
Pak Janto tentu tak mau bila putrinya di
kucilkan masyarakat tempatnya tinggal saat ini tentunya. Oleh sebab itu pak
Janto memutuskan untuk menjual rumahnya dan membeli rumah yang lebih kecil lagi
dari rumahnya sebelumnya.
Lingkungan barunya cukup kumuh dan lebih
sempit dari sebelumnya. Beruntung tempatnya di pinggir jalan. Jadi masih
lumayan strategis untuk usaha. Hanya ada dua kamar, ruang tamu yang bergabung
dengan ruang tengah, dapur dan kamar mandinya juga jadi satu, tempat menjemur
di atas juga hanya cukup untuk dua kali langkahnya. Sempit sekali. Terasnya
juga hanya cukup untuk memarkirkan satu buah motor. Pagar? Tentu saja nyaris
tak ada. Terlalu ngepres ke jalan kalau di buat. Itu juga terhalang selokan.
Mesin jahit dan mesin obras di masukkan ke
ruang tamu, TV juga, beberapa perabotan di jual sebelum pindah. Hanya tinggal
membawa lemari, kasur juga tempat tidur, dan peralatan dapur yang tak seberapa.
Semua serba minimalis dan di cukup-cukupkan.
Setelah memasang spanduk bertuliskan
"JANTO TAYLOR" dan sedikit promosi pada tetangga terutama ibu-ibu dan
menitipkan selebaran yang di tempel di gerobak tukang sayur. Pak Janto tinggal
tunggu pelanggan datang dengan kain-kain siap jahitnya.
Nana yang masih memiliki uang di jadikan
sedikit modal untuk memulai usaha. Hanya berjualan cilok dan es jus di rumah,
kadang juga berjualan lauk bila ada modal lebih dan ia tak kelelahan. Nana
benar-benar banting tulang untuk menghidupi bayinya nanti.
Tak sedikit juga yang tanya dan mengira
kalau ia dan bapaknya adalah suami istri. Tapi Nana selalu menjawab dengan
senyum kalau itu bapaknya dan ia juga bapak dari anaknya sudah berpisah.
Beberapa tetangga barunya terutama ibu-ibu merasa tak tenang dengan status Nana
yang di kira menjanda itu. Tapi begitu tau Nana benar-benar menjaga diri dan
tidak tampak pria yang menggoda ibu-ibu itu sedikit mengurangi kecurigaan dan
kewas-wasannya.
●●●
"Ji... Ini Wulan... " ucap Eyang mengenalkan
seorang gadis pada Aji.
Aji hanya diam menatap gadis bernama Wulan
itu dengan senyum getirnya. Raut mukanya sedikit judes, berbeda dengan Nana
meskipun gadis di depannya ini tersenyum dan berusaha terlihat ramah. Aji
mengulurkan tangan untuk menyaliminya, bahkan tangan Nana lebih lembut dari
tangannya ketika Aji mulai menjabatnya.
"Wulan ini bakal jadi calon bojomu le... Jadi Eyang harap kalian bisa akrab... " ucap Eyang lagi.
Wulan hanya menunduk tersipu mendengar
ucapan Eyang, sementara Aji hanya bisa tersenyum getir. Pikirannya masih
terpaku pada Nana dan calon buah hatinya. Apa lagi sekarang Aji tau kalau Nana
tak tinggal di kontrakannya jangankan di sana di rumah orang tuanya saja sudah
di tinggali orang lain.
Hanya rumah Bram yang masih sama, itupun
Aji kelewat tak berani untuk datang bertanya dimana Nana. Nomor telfonnya juga
sudah ganti, sudah tidak ada pesan yang masuk lagi dari Nana. Entah kapan Nana mengganti nomornya, akun
sosmednya juga lama tak aktif lagi.
Kalau
saja aku sedikit berani pasti sekarang Nana ada disini sama aku... Pasti kita
lagi nunggu anak lahir... Batin Aji lalu
menundukkan wajahnya.
"Mas ada apa? Kenapa murung? "
tanya Wulan yang dari tadi memperhatikannya.
"Ah tidak apa-apa Na... Eh...
Maksudku... Em... Siapa namamu? " Aji gugup.
"Wulan... " jawab Wulan sambil
tersenyum. "Mas punya pacar? " tanya Wulan memulai pembicaraan.
Aji hanya diam lalu tersenyum miris sebelum
mulai menggeleng ragu.
Nana aku minta maaf... Batin Aji sedih. [Next]
0 comments